Selasa, 23 Februari 2010

~Diary Seorang Gadis Muda~

Senin,11 November 2008
Pagi ini, aku melihat juniorku, Ayya, begitu khawatir dengan keadaan Daniel yang tiba-tiba pingsan saat sedang bertugas sebagai pemimpin upacara minggu ini. Sesekali Daniel mengerang kesakitan. Pusing, katanya. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Dengan sabar, Ayya mengipasinya. Tapi Daniel malah kedinginan. Bau parfum Ayya semerbak menghiasi ruangan pengap itu.
Aku terharu melihat drama kecil yang nyata di UKS yang pengap pagi ini. Aku terharu. Bukan! Lebih tepatnya, aku iri! Saat melihat mereka, aku jadi ingat dengan seseorang yang kini ada di hatiku. Rama. Lelaki itulah yang mencuri hati ini. Aku iri pada Ayya dan Daniel, karena aku dan Rama tak akan pernah dapat seperti itu. Sakit rasanya harus mengenang ini. Karena masa lalu yang indah itu tak akan pernah terulang lagi. Mustahil! Impossible!
Aliran sungai kecil mengalir di wajahku. Gambaran masa lalu yang teramat manis itu kembali terlintas di memoriku. Masih jelas dalam ingatanku. Dialah cinta pertamaku dan aku juga ingin dialah yang menjadi cinta terakhirku. Tapi lagi-lagi, sakit mengingat kenangan manis itu.
Semenjak dia memutuskan untuk tidak akan berpacaran, aku hanya dapat terdiam dalam kesedihan. Rasa sayangku yang begitu besar perlu ditumpahkan. Walalu kini dia menjadi sahabatku, tapi sulit rasanya menganggap dia sahabatku. Meskipun aku tidak berpacaran dengannya, tapi kami sudah seperti orang yang pacaran. Dia ada untukku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti aku. Bahkan dia rela melakukan apapun demi aku. Begitu juga sebaliknya.
Tapi semenjak dia menjadi wakil ketua salah satu organisasi di sekolah, dia bukan seperti Rama yang aku kenal dulu. Dia selalu sibuk. Dia tak pernah punya waktu untukku. Dia tak lagi pengertian. Dia tak lagi selalu ada di sampingku. Dia jarang mendengarkan seluruh curahan hatiku. Itu semua karena dia terlalu sibuk.

Selasa, 12 November 2008
Pagi ini, kepalaku sakit sekali. Tenggorokanku sakit sekali. Kepalaku penuh pikiran. Masalah OMagz yang belum kunjung selesai. Tugas sekolah yang masih menumpuk. Belum lagi beban perasaan yang aku rasakan sekarang. Kepalaku serasa akan pecah. Perutku masih kosong. Kebiasaanku yang membenci sarapan memang tak pernah sembuh. Lapar. Tapi tak ingin makan. Ngantuk. Semalam aku tak tidur. Insomnia. Tadi pagi sempat jatuh di gerbang sekolah. Seperti ada yang menyandung.
Kepalaku sakit. Badanku panas. Akhirnya ku putuskan untuk ke UKS. UKS masih tutup. 07.45 Mungkin terlalu pagi. Aku berjalan ke XI IA 5. Mencari coordinator UKS untuk meminta kunci. Tapi kuncinya dibawa oleh Rama. Aku berjalan menuju XI IA 7. Memanggil Rama. Tapi kepalaku semakin sakit. Sakitnya tak tertahan. Aku benar-benar sudah tidak kuat. Tiba-tiba badanku lemas. Kakiku lemas. Mataku berkunang-kunang. Rama berjalan ke arahku untuk memberikan kunci UKS. Tapi aku sudah sangat lemas. Dan… Aku tak tahu apa yang terjadi. Semua gelap.

Ku lihat ada kakak kandungku ada di ujung lorong terang ini. Tangannya melambai padaku. Seperti memanggil dan mengajakku pergi.
“Ayo, Dhek… ikut kakak.” ajaknya. “Ke tempat yang tenang.”
“Nanti dulu ya, kak. Nanti kalau ada waktu luang, aku nyusul kakak. Paling liburan semester 3 ini, aku nyusul. Gimana?” jawabku.
“Oke. Aku tunggu ya, Dhek. Dagh…..” Tiba-tiba kakakku menghilang. Aku baru sadar! Dia kakakku yang setahun lalu meninggal. Kak Vino. Kecelakaan maut merenggut jiwanya.

Terang. Perlahan ku buka kelopak mataku. Berat. Wajah-wajah itu mengelilingiku. Wajah-wajah itu ekspresinya aneh! Lega, tepatnya. Wajah sahabat-sahabatku itu tersenyum. Ada Fitri, Nia, Laksmi, Rose, Arif, Tyo, Tara dan Rio. Tapi rasanya, ada yang kurang. Ya, kurang Rama! Dia tak ada. Kemana dia?
“Aku kenapa?” tanyaku. Mereka saling berpandangan. “Ini di mana?”
“Ini di UKS. Kamu tadi pingsan di depan pintu kelasku. Kamu nggak apa-apa kan, Ika?” jawab Rio.
“Ouw… aku nggak apa-apa. Cuma sakit kepala dikit kok. Teman-teman, makasih ya.”
“Iya… Iya… “ jawab mereka. Tiba-tiba kepalaku sakit lagi.
“Rama mana?” tanyaku dia antara sakit kepalaku. Sahabat-sahabatku hanya saling berpandangan.
“Maaf, Ka. Dia tadi bilang kalau mau ada rapat di sekolah.” Jawab Yoyo. Kepalaku makin sakit. Badanku lemas lagi. Hatiku sakit. Gelap… Pingsan lagi.

Aku kembali membuka mata. Terang. Di jari tanganku, ada alat berkabel yang tersambung dengan monitor. Di hidungku ada selang yang tersambung dengan alat oksigen. Di sampingku ada seorang wanita berjilbab yang cantik berpakaian putih. Bukan malaikat kan? Aku belum mati kan? Tak lama, ada seorang laki-laki berjas dokter masuk ke ruangan ini. Dia memeriksaku. Alhamdulillah… Aku belum mati. Aku yakin, ini di Rumah Sakit. Tak seberapa lama, kedua orang itu beranjak pergi dari ruangan yang berdinding gorden hijau ini. Fitri, Nia, Rose, Laksmi dan Rio memasuki ruangan ini. Wajah mereka khawatir.
“Gimana, Ka? Are you feel better?” tanya Rose. Aku hanya tersenyum.
“Ka, tadi kami udah telepon ayah bundamu. Katanya, beliau belum bisa pulang sekarang. Kerjaan di Jakarta masih banyak.” ucap Fitri. Lagi-lagi hanya tersenyum. Kecewa. Ayah dan Bundaku memang kerja di Jakarta sebagai kepala bagian di Bea Cukai Soekarno Hatta.
“Oh iya, Rio. Barusan dokter ambil darahmu untuk di tes. Hasil tesnya kira-kira setengah jam lagi.” jelas Laksmi.
“Ikka, yang dirasain sekarang apa? Aku khawatir banget sama kamu.” Tanya Yoyo, panggilan favoritku untuk Rio.
“Aku udah sehat kok, Yoyo. Aku nggak ngerasain apa-apa. Yoyo, aku mau pulang. Aku nggak mau di RS.” ucapku.
“Tunggu bentar ya, Ka. Nunggu hasil check up. Bentar lagi keluar kok.” bujuknya. Akhirnya aku mengalah.
Setengah jam kemudian, Yoyo datang dengan wajah yang aneh. Dia berjalan mendekati bed ku. Lalu duduk di kursi di sebelah bed. Dia baru saja mengambil hasil tes.
“Gimana hasil tesnya, Yo?” tanyaku antusias. Yoyo hanya diam. “Yoyo, gimana hasilnya? Aku sakit apa? Aku nggak sakit kan? Udah lah, ayo bawa aku pulang.” Yoyo hanya diam. Tangannya meraih tanganku. Dia menggenggam erat tanganku.
“Ikka, kamu harus di sini dulu. Kamu belum boleh pulang.” jawab Yoyo dengan lirih. Suaranya seperti menahan tangis. Genggamannya makin erat.
“Kenapa aku nggak boleh pulang? Aku baik-baik aja kok.” protesku. “Aku nggak sakit kok.”
“Tapi kamu belum boleh pulang. Kata dokter, kamu harus dirawat di sini dulu.”
“Emangnya aku sakit apa?”
“Kamu nggak sakit kok.”
“Kalo aku nggak sakit, kenapa aku masih di sini? Yoyo, aku mohon kamu jujur sama aku. Aku sakit ya, Yo? Aku sakit apa? Jujur, Yo. Please…” tanyaku memohon. Rio terdiam. Seperti orang bimbang. Bingung. “Yo, jujur sama aku.”
Genggamannya makin erat. “Ikka, kamu di diagnosis sakit…….”
“Sakit apa?”
“Sakit….. Kanker otak stadium akhir.” Jawabnya dengan sangat hati-hati. Jawaban Yoyo tadi membuatku seperti tersambar petir. Aku sangat shock. Aku menangis. Yoyo memelukku untuk menenangkan. “Sabar ya, Ikka. Aku yakin kamu kuat kok.”
“Ini mimpi kan, Yo?” tanyaku.
“Ini bukan mimpi, Ka. Kamu harus kuat ya. Aku yakin, kamu bisa sembuh. Aku yakin itu, Ka. Aku sayang kamu. Semua sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Semua nggak mau kehilangan kamu.” Dia berusaha menenangkanku.
“Aku nggak mau mati muda, Yo. Aku masih ingin membahagiakan semua orang. Aku masih ingin sama sahabat-sahabatku. Aku masih ingin sama Rama. Aku masih ingin sama kamu. Aku takut, Rio.” Rio mendekapku makin erat. Seperti mendekap anak kecil yang ketakutan.
“Ikka, percaya sama aku. Kamu pasti sembuh.”
“Yo, yang lain juga udah tau?”
“Belum. Tadi mereka lagi ke Masjid RS saat aku masuk sini. Jadi aku belum sempet ketemu mereka.”
“Rio, please. Aku mohon, jangan kasih tau mereka tentang penyakitku ini ya. Aku nggak mau mereka sedih.”
“Aku janji, Ka. Aku yakin, kamu lagi shock banget. Lagi sedih banget. Apalagi di saat gini, Rama nggak ada di samping kamu. Aku yakin, hatimu nggak karuan. Tapi tenang ya, Ka. Walaupun semua orang pergi dari kamu, aku akan selalu di samping kamu. Aku akan tetep jadi sahabat kamu. Aku sayang kamu, Ka. Aku nggak mau kehilangan sahabat kayak kamu.”
“Aku percaya sama kamu, Rio… aku juga mohon kamu juga jangan kasih tau Rama dan Ayah Bunda ku tentang ini semua. Aku ingin cuma kamu yang tau tentang ini.” Yoyo tersenyum mengiyakan. Dia kembali menggenggam erat tanganku. “Yoyo, aku sayang kamu, Sahabatku.” Dia hanya tersenyum manis. Senyumnya menenangkan hati. Dia mencium keningku. Aku tersenyum padanya, sahabat yang sangat kucintai.
Tuhan, perpanjanglah usiaku. Aku tak ingin pergi dari Rio. Aku tak ingin pergi tinggalkan sahabat-sahabatku. Aku tak ingin tinggalkan Rama. Aku tak ingin pergi dari Ayah Bunda. Aku tak ingin mereka bersedih karena kepergianku.

Kamis, 20 November 2008
Berbagai tes telah kujalani. Tapi lagi-lagi, kujalani hanya dengan ditemani oleh Yoyo. Satu-satunya orang yang mengetahui ini semua. Tes demi tes terus ku jalani. Tapi semua tes itu tetap memvonis aku mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Mau tahu apa keinginanku yang sangat ku inginkan saat ini? Aku ingin Ayah Bunda ku ada di sampingku untuk mendampingiku menjalani serangkaian tes kesehatan. Walaupun semua biaya ditanggung oleh mereka, itu tidak cukup untukku. Aku ingin mereka ada di sini.
Tapi aku tetap bersyukur pada Tuhan. Karena aku masih diberi seorang sahabat sejati yang benar-benar sayang padaku. Sahabat yang setia menemaniku.
Walaupun kata dokter usiaku sudah tak lama lagi, aku telah bertekad untuk memanfaatkan sisa hidupku yang singkat ini. Hidupku yang singkat tidak boleh sia-sia. aku tidak boleh berputus asa. Karena aku yakin, Tuhan punya maksud atas semua ini. Aku harus bisa lalui ini semua. Aku harus buat orang yang ku sayang bahagia. Aku tak ingin mereka bersedih saat aku pergi nanti.
Kata dokter, aku harus kemoterapi. Tapi aku menolaknya mentah-mentah. Karena aku tak ingin kehilangan rambutku. Walaupun aku berjilbab, aku tetap tak ingin rambutku habis.
Seminggu aku di RS, tak sekalipun Rama menjengukku. Ada rapat, katanya. Aku jadi teringat dengan drama kecil yang nyata di UKS dua minggu yang lalu. Ayya setia menemani Daniel yang sakit. Yang ku rasa saat itu adalah sepi. Sedih. Rindu. Sekolah. Ayah. Bunda. Rama. Sahabat-sahabatku. Aku hanya dapat menangis.

Rabu, 10 Desember 2008
Hari ini, hari terakhir tes semester 3. Rasanya lega. Sekarang tinggal menunggu pengumuman remidi. Hari-hari selama tes aku lalui dengan berat. Karena selain bahan tes yang banyak, tapi juga karena badanku down lagi. Saat tes aku kambuh. Untung kambuhnya di rumah. Jadi tidak merepotkan Yoyo lagi. Tapi hari ini, rasanya kepalaku sakit sekali. Badanku juga lemas. Badanku panas semua. Hari ini aku ke sekolah diantar Pak Min, tetanggaku. Karena tadi pagi kepalaku sakit. Tapi Pak Min tidak bisa menjemputku. Aku bingung. Bagaimana caraku pulang?
Hari ini Yoyo ada rapat OSIS. Maklum, dia wakil ketua OSIS. Sahabat-sahabatku sudah menghilang sejak bel pulang berbunyi.
Aku berjalan mengelilingi sekolah dengan kepala yang sangat sakit. Untuk mencari tebengan pulang. Saat aku tiba di UKS, aku bertemu dengan Rama. Hm… apa Rama mau ya? Pikirku.
“Em.. sorry, Ram. Setelah ini ada acara nggak?”tanyaku pelan.
“Nggak ada kok. Kenapa, Ka?”jawabnya.
“Um… bisa antar aku pulang? Kepalaku sakit banget. Kebetulan tadi aku diantar Pak Min. Tapi beliau nggak bisa jemput aku. Bisa nggak?” aku bertanya padanya dengan pelan. Karena kepalaku sudah sakit sekali. Badanku pun hampir terhuyung. Saking lemasnya. Hampir pingsan lagi. Tapi tiba-tiba dia beranjak pergi. Lho? “Ram, gimana? Bisa nggak?”
Rama berbalik. “Maaf, Ka. Aku nggak bisa.” Dia hanya tersenyum tanpa beban padaku. Lalu beranjak pergi lagi.
Hatiku seperti sebuah kaca yang dilempari batu-batu besar. Hancur seketika. Saat aku hampir pingsan di depan dia pun, dia sama sekali tak mempedulikan aku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku berjalan menuju bangku yang tak jauh dari situ. Di bangku itu, aku menunduk. Menangis.
Hawa siang ini, menambah temperature tubuhku makin meningkat. Badanku benar-benar panas. Bahkan, air mataku juga panas. Kemudian aku berjalan menuju gerbang sekolah. Aku sempat melihat Rama berjalan mendekat. Tapi aku tak peduli. Buat apa peduli dengan orang yang tak pedulikan aku?
Satu langkah. Lemas sekali. Seakan kepalaku mau pecah. Seakan ada pemanggang yang memanggangku. Kakiku lemas. Dunia serasa berputar…
Dua langkah. Sakit sekali. Sudah sangat lemas. Aku seperti dijatuhi beban ber ton-ton. Kepalaku pusing dan sakit.
Langkah ketiga, aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku hanya merasakan sepeti terbang melayang. Satu lagi, aku juga merasakan ada tangan yang memegangku. Aku tak tahu itu siapa.

Aku membuka mataku. Terang. Baunya aku sangat kenal. Ya, lagi-lagi, rumah sakit. Ada Yoyo yang tengah duduk dan terlelap di kursi sebelah bed ku. Kepalaku masih sakit. Aku membelai rambut sahabatku itu. Tak lama, Yoyo terbangun.
“Yoyo, kenapa aku di sini lagi? Aku nggak mau di sini, Yo. Bawa aku pulang.” mohonku. Yoyo hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia tak harus mengatakan sesuatu. Karena dia yakin bahwa aku tahu persis dengan apa yang akan dia katakan. “Yoyo, tadi yang bawa aku ke sini kamu ya?”
“Bukan, Ka. Tadi aku masih rapat. Tiba-tiba ponselku bunyi. Rama menelepon aku. Dia bilang kamu di rumah sakit. Aku panik. Aku minta ijin sama Yoga untuk pulang duluan. Terus aku langsung ke sini.” Jelas Yoyo.
“Lha terus, sekarang Rama mana?” tanyaku.
“Dia udah pulang, Ka. Katanya ada acara keluarga.”
“Yo, kenapa sih, di saat aku butuh dia, dia nggak pernah ada buatku? Kenapa? Padahal saat ini aku ingin dia ada di sampingku. Sebagai sandaranku. Untuk mendengarkan semua keluhanku. Semua rasa sakitku. Aku ingin mengeluhkan semua rasa sakitku padanya. Aku ingin dia temani aku sampai akhir hayatku. Sampai tarikan nafas yang terakhir. Aku ingin dia ada di sini, Yo.” Aku kembali menangis. Yoyo mengenggam tanganku erat.
“Tenang ya, Ka. Aku yakin, dia punya alasan untuk semua ini.”
“Yo, aku sedih. Aku sekarang bener-bener ngerasa sendiri. Ayah Bundaku nggak peduli sama anaknya. Padahal aku anak mereka satu-satunya setelah Kak Adi meninggal dulu. Rama, dia sibuk sama dunianya sendiri. Sahabatku, nggak tahu kemana. Tapi aku masih bersyukur, kerana kamu masih setia menemani aku.” Ucapku. “Yoyo, apa ini semua tanda bahwa Rama nggak pernah menyayangi aku ya? Tadi baru sadar tentang hal itu. Saat aku hampir pingsan di depannya, dia masih menolak untuk mengantarku pulang. Ini berarti dia sudah tak peduli padaku lagi. Apa mungkin mulai saat ini aku harus ngelupain dia ya?”
“Ikka, kamu nggak boleh ngomong gitu. Pasti dia punya alasan untuk itu semua. Aku yakin, Ka. Jadi please, jangan bilang gitu lagi ya.” Ucapnya.
“Yoyo, kalo misalnya setelah hari ini aku nggak ada, aku mohon, tolong bilang sama dia tentang perasaanku ke dia ya. Aku ingin dia tahu ini semua. Aku ingin…”
“Ikka! Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi! Kamu pasti sembuh. Aku yakin kok. Percaya sama aku.” Yoyo memotong ucapanku dengan keras. “Please, jangan ngomong kayak gitu lagi ya. Inget kan sama janji kita dulu. Kita bersahabat sejak di dalam kandungan bunda kita. Selamanya kita akan terus bersahabat. Duka ku, duka mu juga. Suka ku, suka mu juga. Kita akan selalu bersama sampai di ujung usia. Kamu udah seperti adikku. Tanpamu, aku juga nggak bisa apa-apa. Karena kita satu.”
“Maafin aku, Yo. Tapi aku udah nggak kuat menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuhku. Menggerogoti nyawaku. Menggerogoti memori di otak secara perlahan.” Aku menangis.
“Ikka, kamu pasti kuat melawan penyakit ini. Kalaupun ingatanmu pelan-pelan berkurang, karena penyakit ini, aku akan setia mengingatkanmu. Aku janji itu, Ka.”
“Rio, kalau besok aku tak lagi membuka mataku, aku ingin kamu bilang sama Ayah Bunda, kalo aku sayang banget sama mereka.” Ucapku tanpa mempedulikannya. “Rio, aku bisa minta kertas? Aku mau nulis surat.”
Yoyo mengambilkan secarik kertas dan sebuah bolpen dari tasnya. Aku menerima kertas itu. Aku menuliskan beberapa kalimat pada kertas tersebut. Ku lipat kertas itu dan kuberikan pada Yoyo. “Yo, tolong berikan pada Rama kalo aku pergi nanti.” Yoyo menerima surat itu dalam diamnya.
“Ikka, aku nggak mau kehilangan kamu.”kata Yoyo.
“Rio, aku sayang kamu. Kamu selalu setia menemani aku selama aku sakit. Kamu nggak pernah marah waktu aku buat kamu sedih. Kamu selalu punya waktu untukku saat kamu lagi sibuk. Kamu selalu temenin aku, hibur aku saat aku sedih, selalu bisa buat aku ketawa, selalu buat aku tenang. Kamu udah baik banget sama aku. Makasih atas segala yang telah kamu berikan padaku. Makasih banget. Aku nggak tau harus bayar ini dengan apa. Saat ini, kamu adalah harta paling berharga yang aku punya. Kamu adalah sahabat sejatiku. Makasih ya. Aku juga minta maaf kalo aku punya salah sama kamu. Aku sadar, aku sering banget ngerepotin kamu. Maaf ya.”
“Buatku sekarang, yang penting kamu sembuh. Aku nggak mau sahabat terbaikku pergi. Aku ingin, saat aku sukses nanti, kamu adalah orang pertama yang akan ku beri tahu. Aku sayang kamu, Ikka.”
“Aku juga sayang kamu, sahabatku.” Kamar rawat inap itu sepi. “Rio, aku udah capek banget sama semua ini. Aku ingin istirahat.” Rio membantuku membenarkan posisi tidurku. Dia menyelimutiku. Lalu duduk di kursinya lagi. Rio mengenggam tanganku.
“Ikka, cepet sembuh ya.” Ucapnya singkat lalu mencium tanganku.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku baru menyadari betapa sayangnya aku pada sahabatku itu. “Rio, aku sayang kamu.” Aku tersenyum padanya.
“Aku juga sayang kamu.’ Balasnya sambil tersenyum manis padaku. Tak lama, aku terlelap.

Ruangan ini luas. Tanpa batas. Warnanya terang. Putih. Tapi ada satu titik yang berwarna hitam di depanku. Aku berjalan ke arah titik itu. Semakin dekat, ku lihat ada seorang lelaki berbaju putih. Lelaki itu tersenyum padaku. Wajahnya kabur. Aku kembali mendekat. Aku kenal lelaki itu. Kak Adi.
“Dhek, ayo ikut kakak. Ini udah waktunya kamu bayar omongan kamu waktu itu. Kakak udah lama nunggu kamu di sana. Ayo ikut.” Ajak kakakku itu. Tangannya meraih tanganku.
“Kak, tunggu. Aku mau pamitan sama Ayah Bunda, Yoyo, Rama dan sahabat-sahabatku yang lain dulu. Boleh kan?” tanyaku. “O iya, nanti kalo kakak jemput aku, jangan lupa bawa bunga mawar putih yang wangi kesukaanku ya.”
“Ya udah, tapi jangan lama-lama ya.”

Kamis, 15 Desember 2008
Perlahan aku membuka mataku. Aku melihat ada Ayah, Bunda, Rama dan Yoyo. Aku nggak mimpi kan? Ayah, Bunda dan Rama ada di sini kan? Aku nggak mimpi kan? Wajah cemas mereka menyertai pandangan mereka padaku.
“Ikka, udah bangun, sayang? Sayang, jangan pernah pergi tinggalin Bunda ya. Bunda nggak mau kehilangan anak lagi. Cukup kakak yang pergi. Bunda sayang sama kamu.” Ucap Bunda dengan derai air mata. “Bunda khawatir bangat.”
“Ikka, maafin Ayah dan Bunda yang nggak pernah ada di samping kamu waktu kamu jalani pengobatan. Maafin kami.” Ucap Ayah.
“Ayah, Bunda, nggak perlu sedih lagi ya. Aku udah sehat kok. Aku udah nggak ngerasain apa-apa. Yang kurasain, badanku ringan. Ayah, Bunda, jangan sedih lagi ya. Aku minta maaf kalo aku punya salah sama Ayah, sama Bunda juga. Makasih atas semua yang telah Ayah Bunda kasih ke aku. Aku sayang sama kalian.” Balasku.
“Ikka, kamu pasti kuat. Percaya sama aku.” Ucap Yoyo.
“Rio, aku bosen deh, denger ucapan kamu itu. Aku udah sembuh kok. Udah nggak usah khawatir lagi. Rio, makasih ya atas segalanya. Maafin aku kalo aku sering ngerepotin kamu. Maaf ya.” Ucapku lirih sambil tersenyum padanya.
“Ikka, maafin aku ya. Aku nggak pernah ada di samping kamu waktu kamu butuh aku. Aku tau aku salah sama kamu. Tapi aku mohon maafin aku.” Wajah Rama penuh kesedihan. “Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Rama, demi Allah, aku nggak pernah marah sama kamu. Aku malah mau berterima kasih sama kamu. Karena kamu yang mengajarikan aku tentang berkasih sayang dengan seseorang yang akan selalu di hati. Makasih ya. Aku yang harusnya minta maaf. Karena aku dulu sering ngerepotin kamu. Makasih ya, atas segala yang telah kamu berikan padaku. Ini tanggal berapa?” kataku lirih.
“Tanggal 15 Desember.” Jawabnya.
“Inget nggak, Ram? Hari ini tepat setahun, kita berjanji sesuatu. kita pernah berjanji untuk selalu saling menyayangi satu sama lain. Untuk selalu membantu ketika ada yang membutuhkan, selalu mendengarkan tiap keluhan dan curahan hati salah satu di antara kita. Inget nggak, Ram?”
“Aku nggak pernah lupa sama masa itu. Karena saat itu adalah salah satu dari banyak peristiwa di hidupku yang sangat berharga untukku. Saat itu, pertama kalinya aku mencintai seseorang karena Allah. Aku menyayangi seseorang dengan landasan agama yang kuat.”
“Aku nggak akan pernah lupain semua kenangan kita. Karena kenangan kita adalah bagian dari sejarah hidupku. Aku nggak akan pernah ngelupain kamu sampai di ujung usiaku. Sampai hembusan dan tarikan nafas terakhir. Karena kamu adalah bagian dari sejarah hidupku.” Ucapku. Aku terdiam. Rasa sakit di kepalaku sudah menjalar di sekujur tubuhku. Aku dapat merasakan, kakiku sudah mati rasa. aku masih ingin bicara. Tapi sulit sekali. “Ram, aku cuma mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Harapanku untuk menjadikan cinta pertama dan terakhirku telah terwujud. Aku udah nggak kuat lagi.” Susuah sekali untuk bicara. Seperti ada yang mencekik.
“Aku juga sayang kamu, Ka. Tapi aku nggak mau kamu pergi sekarang. Aku masih ingin sama kamu, Ka. Aku sayang kamu, Ka.” ucapnya. Aku hanya terdiam. Yang kurasakan hanya seperti ada yang menarik darahku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Ayah, Bunda, Rio, Rama, aku sayang banget sama kalian. Bun, ada kak Adi datang bawa bunga mawar putih. Bunganya bagus banget.” Ucapku lirih. “La illaha illah.” Badanku serasa ringan. Aku seperti terbang. Terbang ke langit. Terbang ke langit ke tujuh. Bertemu kak Adi yang sudah menungguku di sana. Yang ku tahu, suasana kamar inap itu menjadi hening. Tenang. Harum. Penuh kesedihan. Suara tangis. Ayah dan Bunda menangis. Rio menangis. Rama menangis.
Aku meninggal tepat pada tanggal 15 Desember 2008 pukul 17.55. Tepat setahun kejadian yang nggak akan ku lupakan. Saat Rama mengutarakan isi hatinya padaku. Saat Rama mengutarakan bahwa dia mencintaiku. Saat aku meninggal, ruang inapku berbau bunga mawar yang harum selama kurang lebih lima menit. Aku hanya ingin orang yang kucintai bahagia.

Rama menutup buku karangan Rio yang menceritakan sepenggal dari kisah hidup Ikka. Gadis usia 16 tahun yang menderita kanker otak stadium akhir. Ini memang diary Ikka, tapi di akhir cerita, Rio membumbuinya dengan suasana di kamar inap itu. Suatu kisah yang tak akan pernah dilupakan oleh Rama. Air matanya mengalir membentuk aliran sungai kecil di wajahnya saat mengenang kejadian yang terjadi di usianya yang ke 16. kejadian yang tak akan terlupakan. Walau terjadi 4 tahun lalu.
“Gimana, Ram? Udah baca? Bagus nggak? Bestseller lho!” Tanya Rio pada Rama pada bedah buku itu. Rio tersenyum. Dia mengajak Rama untuk duduk di kursi taman gedung itu.
“Bagus. Sama persis dengan cerita aslinya. Bikin aku kembali ke masa lalu yang tak juga membuatku berpaling.” Jawab Rama.
“Ya ialah, Ram. Ini kan isi diary Ikka yang dia tulis dengan sepenuh hati. Aku udah nggak tau harus berterima kasih dengan cara apa kepada Ikka. Tanpa Ikka, aku bukan apa-apa. Buku ini nggak akan sukses kayak gini. Dia bener-bener sahabat sejatiku. Selama menulis buku itu, aku belajar banyak hal tentang kehidupan. Tentang bagaimana mencintai seseorang dengan tulus. Tentang bagaimana berharganya sebuah persahabatan. Tentang arti hidup sebenarnya. Tentang berharganya hidup. Dan tentang kerinduan seorang anak pada orang tuanya. Aku udah bener-bener nggak tau gimana caranya harus mengucapkan terima kasih kepadanya.” Jelas Rio. Rama hanya terdiam. Air matanya perlahan menganak sungai.
“Buatku, Ikka bener-bener orang yang sangat istimewa. Dialah gadis yang pertama ku cintai. Dan aku selalu berharap dia jadi yang terakhir. Aku selalu berharap dia yang jadi ibu untuk anak-anakku. Karena kebaikan dan kelembutan hatinya, aku nggak pernah bisa berpaling darinya hingga kini. Setelah 4 tahun kematiannya.”
“Yah, aku tahu itu, Ram. Aku cuma ingin kamu tau, bahwa Ikka nggak akan bahagia kalo kamu masih kayak gini. Belum ikhlas menerima kepergiaannya.” Rama mengambil secarik kertas dari dompetnya. Dia membuka dan membacanya.

Buat Rama,
Terima kasih atas segalanya ya.
Aku nggak akan pernah ngelupain semua kenangan manis dan pahit yang telah kita lewati bersama. Aku nggak akan pernah ngelupain saat kamu bilang, kamu sayang sama aku dulu. Karena itu adalah saat terindah yang pernah kualami. Dan aku juga nggak akan ngelupain senyum kamu saat itu. Karena senyum itu adalah senyum termanis yang penah ku lihat.
Rama, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa selama ini aku mengidap penyakit kanker Otak stadium akhir. Dan penyakit ini hanya dapat membuatku rapuh. Perlahan tapi pasti, penyakit ini akan membunuhku. Dan penyakit inilah yang akan membawaku terbang ke langit dengan membawa segenap cintaku padamu. Aku hanya inginkan satu permintaan darimu. Jangan pernah tangisi kepergianku. Aku nggak mau kamu bersedih. Aku nggak inginkan itu. Maafkan aku harus pergi. Maafkan aku harus mengingkari janji kita untuk selalu bersama. Jika aku diberi waktu walaupun hanya sebentar, aku ingin habiskan waktu itu bersama orang-orang yang kusayangi. Terutama kamu. Cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Mungkin saat kertas ini sampai di tangan kamu, aku udah nggak ada. Maafkan aku atas segala kesalahanku. Aku hanya ingin kamu tahu, walaupun ragaku mati, tapi jiwaku akan selalu ada di hatimu. Aku akan selalu mencintaimu. Dan aku akan membawa cinta ini sampai aku mati.
Aku sangat mencintaimu…
Salam manis penuh cinta,
Ikka

Rama meneteskan air matanya di atas nama Ikka. Rio merangkul sahabatnya itu. “Rama, walaupun dia telah pergi, yakinlah bahwa dia akan selalu di hatimu selamanya, sampai akhir hayatmu. Sama seperti kamu di hatinya. Kamu ada di hatinya sampai di akhir hayatnya.”
“Makasih ya, Yo, kamu udah selalu nasihatin aku. Aku mau, kamu simpan surat ini. Aku nggak mau hanyut dalam kesedihan lagi.” Pinta Rama. Rama menyerahkan surat itu pada Rio. Rio hanya menerimanya dan menyelipkan dalam bukunya. “Yo, kayaknya, acaranya bedah buku mu udah mau dimulai deh. Masuk yuk!” Rama berdiri dan diikuti oleh Rio. Mereka berjalan menuju pintu masuk gedung itu.
Tapi buku Rio jatuh tanpa disadarinya. Tertinggal di taman. Sendiri. Angin bertiup sedikit kencang. Buku itu terbuka oleh angin. Surat Ikka keluar dengan perlahan. Terbawa oleh angin sedikit jauh dari tempat itu.
Seseorang berjalan di taman itu dan memungutnya. Surat dan buku itu. Dia melihat keduanya sambil tersenyum manis. Lalu dia menghilang. Bagaikan angin. Cepat. Melesat. Terbang. Pergi ke nirwana. Melayang di antara awan. Ikka.

~selesai~
15 Desember 2008, 23.43 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan berkomentar, :)