Rabu, 19 Mei 2010

Perbedaan Itu Menyatukan

Seorang gadis merias wajahnya di depan cermin. Ia merapikan jilbab yang terpasang manis di kepalanya. Ia tersenyum manis menatap kembarannya yang ada di cermin. Tak lama, ia menyambar tas selempang yang selalu menemaninya sejak SMA. Dengan kemeja putih polos dan rok span hitam panjangnya, ia berjalan riang menuju kampus barunya yang tak begitu jauh dari kostnya. Di tangannya yang putih terdapat sebuah Al-Qur’an usang yang selalu ia bawa kemana-mana. Di tengah perjalanannya menuju kampus, ia mampir di sebuah masjid tua dekat kost-annya dan meninggalkan Al-Qur’an kesayangannya di sana. Kemarin saat ia menunaikan shalat maghrib, ia tak melihat ada Al-Qur’an di sana. Untuk itu, ia memutuskan untuk memberikan Al-Qur’annya di masjid tua itu. Agar Al-Qur’an itu bisa berguna bagi jamaah masjid.

Suasana kampus barunya itu mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa baru yang berpakaian putih-hitam polos. Yap, masa orientasi atau yang lebih dikenal dengan ospek. Dia mulai melangkah menuju kumpulan teman-teman barunya yang ia kenal saat registrasi penerimaan maru dulu.

Tak lama, acara ospek pun dimulai. Semua acara ia jalani dengan tenang hingga hari terakhir ospek. Hufh… melelahkan juga. Tapi walaupun begitu, ia tetap merasa senang. Apapun yang terjadi selama ospek sama sekali tidak membuatnya bosan ataupun kesal, karena kegembiraannya diterima di jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu universitas favorit di Jakarta mengalahkan semua kekesalan hatinya atas keusilan kakak-kakak tingkatnya.

Yap, ini saatnya menimba ilmu. Hari-hari pertama ia kuliah dilewati dengan semangat yang menyamai semangat prajurit yang akan maju ke medan perang. Semua terasa menyenangkan dan sesuai dengan hatinya.

Suatu hari, ketika ia sedang berkumpul dengan teman-temannya di taman, ia melihat seorang cowok keturunan China berpenampilan rapi yang sangat jarang ia lihat ada di kampusnya. Tapi ia sangat mengenal cowok itu. Ia kerap melihatnya di layar kaca. Yap, cowok itu seorang artis yang mulai redup kariernya. Tian.

“Eh, Tian itu kuliah di sini juga ya?” tanyanya pada teman-temannya.

“Lho? Kamu nggak tau? Hallo, Cinta, loe kemana aja sih?” jawab Nina, salah satu teman dekatnya.

“Hehe… aku kan jarang liat infotainment. Lagipula, mana aku tau kalo ada artis yang kuliah di kampus kita.” Kata Cinta, gadis asal Solo yang dibesarkan di Singapura.

“Iya deh, miss kutu buku. Hem… denger-denger, dia udah di semester akhir. Tapi tugas akhirnya belum dilulusin juga sama dosen, Cuma gara-gara mata kuliah Sinematografi dan Fotografi. Duh, parah banget, mata kuliah itu kan nggak begitu susah. Katanya sih, foto-foto hasil jepretannya nggak memenuhi standar periklanan. Kasihan banget. tapi kalo menurut gue sih, itu gara-gara dosennya aja yang sentiment sama dia. secara Tian itu kan artis, otomatis banyak cewek-cewek yang ngejar-ngejar dia. nah, katanya dosen yang belum juga ngelulusin dia itu Pak Anton. Loe semua tau kan, di umurnya yang ke-45, dia belum juga nikah? Menurut gue sih gitu.” Cerita Nina yang anak Jakarta asli itu panjang lebar.

“Ih, jahat banget tuh! Masa’ Cuma gara-gara iri aja sampe kayak gitu.” Timpal Desy dengan logat asli Bandungnya.

Cinta terdiam melamun mendengarkan ocehan kawan-kawannya. Ia terus memandangi Tian yang duduk di seberang taman. Tian tampak termenung sedih. Tapi tak lama, teman-teman Cinta mengajak Cinta pergi ke perpustakaan.

----

Hari ini Cinta mendapat tugas untuk menjaga basecamp klub fotografi kampusnya. Karena keasyikan mengedit foto-foto hasil jepretannya, ia tidak menyadari bahwa hari sudah menjelang malam. Tak lama, adzan maghrib berkumandang. Dia memutuskan untuk segera menunaikan shalat maghrib di mushola basecamp. Setelah menunaikan ibadahnya, ia memutuskan untuk segera pulang ke kost-annya. Sebelum pulang, tak lupa ia mematikan listrik dan mengunci pintu basecamp, karena memang sudah peraturan bagi yang bertugas menjaga tiap harinya untuk mengunci basecamp pada malam hari.
Ia menyempatkan diri untuk membeli es teh di kantin untuk diminumnya di kost. Lalu ia berjalan pulang. Saat ia sedang mencari handphone-nya di tas, tanpa sengaja ia menabrak seseorang. Karena kaget, seketika es teh yang dibawanya terjatuh dan plastiknya pecah. Es tehnya berhamburan dan mengenai dua buah buku yang dijilid spiral dan sebuah CD-R.

“Yah… jatuh. “ ucap Cinta refleks. Ia segera memandang orang yang ditabraknya dengan wajah yang sok polos. Ternyata yang ditabraknya dalah Tian. “Maaf, kak. Nggak sengaja.”

Tian hanya memandangi barang-barang miliknya yang rusak karena air itu. Dengan wajah kesal, ia segera berhambur pergi meninggalkan Cinta begitu saja, tanpa ba-bi-bu. Cinta heran dengan sikap kakak tingkatnya itu. Dia memungut benda-benda yang rusak karena air itu. Di sampul buku itu tertulis, 'Tugas Akhir Christian untuk 1 September'.

“Ups… kayaknya aku ngerusakin sesuatu yang penting buat besok nih.” Ucapnya pelan. Lalu ia membawa benda-benda itu ke kost-nya.

Sesampainya di kost, ia segera membersihkan CD-R itu dan mencoba membukanya di laptop kesayangannya. Masih bisa dibuka! Ia segera mengecek isinya. Ternyata isinya adalah soft-copy tugas akhir milik Tian. Lalu ia mengkopinya dan memindahkan data itu ke CD-R yang baru. Ia sempat melihat data itu dan mengedit beberapa foto yang menurutnya agak ganjal. Lalu, tanpa pikir panjang, ia segera menyalakan printer-nya dan mencetak TA milik Tian itu dua kali. Setelah itu, ia pergi ke fotokopian dan menjilidnya menjadi sama persis dengan yang ia rusak. Ia merasa harus bertanggung jawab atas rusaknya barang-barang milik Tian itu.

----

Keesokan harinya, ia sengaja berangkat pagi-pagi supaya ia bisa meletakkan dua buku dan satu CD-R di ruangan tempat Tian hari ini akan melangsungkan presentasi TA-nya. Setelah meletakkan barang-barang itu di ruangan, ia segera pergi. Beruntung tadi Tian belum sampai di ruangan itu. sebenarnya hari ini, ia tidak punya jadwal kuliah. Tapi hari ini, ia akan berada di spa tempatnya bekerja sebagai salah satu pemijat refleksi selama seharian penuh. Ia segera melangkahkan kaki dengan semangat menuju tempat spa yang membantu biaya hidupnya di kota besar.

----

“Anda niat mau lulus tidak sih? Ide macam apa ini? Budget sebesar ini, mana ada yang mau bayar? Siapa yang bakal pakai jasa perusahaan advertising Anda? Masih untung, foto-foto yang Anda tawarkan lumayan bagus.” Ucap Pak Anton dengan keras. Di hadapan dewan dosen yang mendengar presentasi, Tian berdiri sambil menunduk.

Tak lama, Tian keluar dari ruangan itu. Huh, kesal rasanya berulang kali TA-nya ditolak. Ia merasa heran dengan gadis yang menabraknya semalam. Ngapain dia pake acara ganti TA gue? Sok cari perhatian? Huh, nyebelin! Batinnya kesal. Lalu, ia memutuskan untuk pergi ke spa untuk pijat refleksi.

Sesampainya di spa, ia segera memesan tempat untuk refleksi. Tak lama, ia sudah duduk di kursi malas dan kakinya direndam dengan air hangat agar bisa lebih relaks. Ia memejamkan matanya dengan tenang. Lebih baik kayak gini, batinnya. Sesaat kemudian, ia mulai merasakan kakinya dipijat pelan. Rasa relaks semakin merasuk dalam dirinya. Rasanya, semua beban di pikirannya perlahan hilang entah kemana. Tian membuka matanya. Ia melihat seorang gadis dengan jilbab putih duduk di depan kursi malasnya dan memijat kakinya dengan tangan berlapiskan sarung tangan lateks. Kayaknya cewek ini nggak asing, batinnya. Tak lama, gadis itu menegakkan kepalanya dan melihat ke kostumernya itu. Tian dan gadis itu sama-sama terkejut.

“Kamu.” Ucap Cinta pelan.

“Ngapain loe di sini?” Tanya Tian.

“Kerja lah. Emang mau ngapain lagi?”

“Anak kayak loe ini kerja di sini? Bukannya hampir semua mahasiswa di kampus tuh anak orang kaya ya?”

“Kamu pikir, semua mahasiswa di kampus elite itu anak orang kaya ya? Sempit banget pikiran kamu. Dulu, aku emang dari keluarga kaya. Tapi sekarang usaha keluargaku bankrut. Aku masih beruntung bisa kuliah di sana, aku dapet beasiswa buat kuliah di sana. Sekarang buat hidup aja, aku mengandalkan gajiku di sini sebagai pemijat refleksi, penulis cerpen di Koran harian dan fotografer freelance. Untung dulu, waktu keluargaku jatuh miskin, mereka nggak memaksa aku buat ngejual kamera dan laptopku. Kalo nggak, sekarang aku mau ngelanjutin cari uang dengan apa?”

“Gue pikir loe anak orang kaya. Sama belagunya kayak yang lain sih.”

“Belagu? Dari mana?”

“Loe lupa kejadian semalem?” Tanya Tian. Cinta terdiam. Cinta nggak boleh marah. Sabar, Cinta. Kalau kamu ikhlas bantu dia, jangan marah. Batin Cinta. Cinta hanya menggelengkan kepalanya.

“Maaf ya.” Tian hanya menghela nafas.

“Nggak apa-apa. By the way, thanks loe udah ganti semua bahan presentasi gue. Tapi tetep aja, nggak lulus. Eh, sorry, gue mau tanya, loe ngedit semua foto-foto yang ada di materi presentasi gue itu ya?” Tanya Tian.

Cinta hanya menganggukkan kepala sambil terus memijat telapak kaki Tian. Tian hanya terdiam mengetahui jawaban gadis itu. dia seperti memikirkan sesuatu. Dia mengakui bahwa foto-foto hasil editan gadis itu memang bagus. Padahal foto aslinya biasa saja.

“Tian.” Ucap Tian memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangan. Cinta hanya terus memijat kaki Tian, tanpa memandang Tian.

“Udah kenal. Kamu kan artis. Siapa sih yang nggak tau kamu? Aku Cinta.” Balas Cinta sambil terus memijat. Tian hanya terdiam dan menarik tangannya yang tak terbalas.

“Oke lah. Hasil editan loe bagus.”

“Makasih. Kenapa tiba-tiba ngomong gitu? Mau minta diajarin ya?”
Tian terdiam mendengar jawaban gadis itu. Gila ni cewek, kok tau sih? Batinnya.

“Yah… kalo loe mau. Entar gue bayar kok. Kan lumayan bisa bantu keuangan loe.”
Cinta terhenti. Lalu menegakkan kepalanya lagi. Menatap cowok di depannya itu.

“Serius?” Tian mengangguk. Cinta berpikir sejenak. “Oke lah.” Tian tersenyum. Lalu dia kembali bersandar di kursi malasnya. Dan Cinta melanjutkan pekerjaannya.

----

“Bu, biar Cinta di Jakarta dulu ya. Cinta pengen ngerasain sekolah di Indonesia. Dari SD sampe SMA, Cinta sekolah di Singapura terus. Ibu di Solo tenang aja. Cinta bisa jaga diri kok. Dulu waktu kita masih berkecukupan dan tinggal di Singapura, Cinta dimanja dengan kemewahan. Sekarang Cinta pengen coba hidup prihatin, Bu. Nggak apa-apa kan? Biar Cinta juga ikut ngerasain manis pahitnya kehidupan, Bu. Cinta janji, Cinta bakal tetep ambil beasiswa di Singapura itu. tapi nggak saat-saat ini, Bu. Cinta lagi bantu kakak tingkat Cinta ngerjain TA-nya. Biarin Cinta kuliah di sini dulu ya, Bu.” Bujuk Cinta pada Ibunya yang ada di seberang telepon.

“Ya udah, kalau Cinta mau kayak begitu. Ibu percaya sama Cinta kok. Sudah dulu ya, Cinta. Jaga diri baik-baik. Ibu sayang Cinta.”

“Cinta sayang Ibu. Ibu tenang aja ya. Cinta insyaallah bisa jaga diri kok.”

“Assalamu’alaikum.” Pamit Ibu.

“Wa’alaikumsalam.” Cinta meletakkan ponselnya di meja belajarnya dan menghembuskan napas panjang.

----

Semenjak perbincangan mereka di spa, mereka kerap bersama-sama. Cinta mengajari Tian tentang fotografi dan cara mengedit foto. Mereka kerap hunting foto bersama-sama. Setelah itu, mereka akan belajar mengedit foto di rumah Tian. Mereka akan hunting dan belajar edit foto saat Cinta dan Tian sama-sama punya waktu luang. Kadang mereka bisa hunting hingga seharian penuh. Dan yang pasti, Cinta tidak akan lupa shalat. Walaupun Tian adalah seorang Nasrani yang taat, ia tetap menghargai Cinta saat gadis itu melaksanakan shalat.

“Nama kamu sebenernya siapa sih?” Tanya Cinta pada Tian saat mereka sedang belajar edit foto di rumah tian.

“Christian.”

“Cuma itu?”

“Iya. Emang segitu aja. Emang kenapa?”

“Nggak apa-apa. Aku Cuma heran aja, simple banget sih.”

“Lho? Ada masalah? Bukannya itu malah jelas banget ya? Simple. Tapi itu udah nunjukin identitas gue sebagai nasrani.” Jelas Tian. Cinta hanya manggut-manggut mendengar penjelasan cowok itu.

“Lumayan lah. Mempermudah kamu waktu ngisi LJK. Hehe…” ucap Cinta sambil tersenyum. Tian terkekeh pelan.

“Aneh-aneh aja loe!”

“Coba kamu selesaiin dulu tuh editannya. Boleh nggak aku nyalain televisi?” Tian mengangguk. Cinta melangkah ke arah tivi yang ada di sisi lain ruang tengah. Tak lama mulai terdengar suara presenter acara gossip. Tian terdiam mengetahui Cinta menonton acara gossip.

“Pinter-pinter tontonannya infotainment. Kayaknya dapet beasiswa, tapi tetep aja tontonannya kayak begituan. Haha…” canda Tian sambil menatap Cinta.

“Biarin. Kan biar nggak ketinggalan berita.” Jawab Cinta singkat tanpa berpaling pada Tian. Melihat reaksi Cinta, Tian segera kembali pada layar laptopnya.

“Setelah setahun vakum dari dunia hiburan, kini Tian, pemain film itu kembali dengan kabar perceraian kedua orang tuanya.” Kata presenter gossip itu. Cinta segera memandang ke arah Tian. Tian hanya memandang kosong ke tivi. Cinta segera mematikan tivi. Ternyata ini yang buat Tian murung di taman waktu itu, batin Cinta.

“Acara tivi sekarang nggak ada yang bagus.” Cinta segera kembali ke samping Tian. Ia memandang Tian yang pandangannya masih kosong. Tiba-tiba ponsel Tian berbunyi. Cinta mengambilkannya dan memberikan pada Tian. Cinta sempat melirik ke layarnya. Mami. Tian menerima ponsel itu lalu memencet tombol reject. “Lho? Kok dimatiin?”

“Paling ngomongin masalah pernikahan gue. Mami aja nggak bisa jaga penikahannya sama papi tiri gue, pake acara mau ngurus pernikahan gue. ” Jawab Tian. Cinta terkejut lalu terdiam.

“Lho? Kakak ini udah punya tunangan?”

“Dijodohin. “

“Seharusnya nikah itu ibadah kan?”

“Ngebahagian orang tua juga ibadah kan? Lagipula dijodohin atau enggak, sama aja buat gue. Toh semua cewek sama aja kan? Yang penting istri gue harus lebih mencintai Tuhan gue dibandingin gue.”

“Keturunan China juga?”

“Nggak. Orang jawa, kayak loe. Tapi dia nasrani. Lagipula gue suka orang Jawa.”

“Kenapa suka orang Jawa?”

“Soalnya menurut gue, orang Jawa itu natural. Alami. Anggun. Cantik. Sopan.” Jelas Tian sambil menatap Cinta dalam-dalam. Perlahan, Cinta memalingkan wajahnya dari Tian. Suasana jadi agak canggung. Cinta berusaha mengalihkan pikirannya dengan membuka bahan presentasi Tian kemarin. Tian kembali menatap layar laptopnya.

“Pantesan aja, ini kemarin juga nggak dilulusin. Liat budgetnya. Ini kemahalan. Mana ada yang mau bayar? Mana ada yang mau pake jasa advertising kamu kalo harganya selangit gini?” ucap Cinta tiba-tiba sambil membuka buku itu.

“Liat dulu konsep iklannya. Kalau kayak gitu, budgetnya gimana?”

“Bagus sih. Simpel. Tapi bener-bener bisa jelas produknya. Pesan dalam iklannya bisa kena sih. Tapi tetep aja, budget segini, mana ada yang mau bayar?”

“Kalau mau hasil yang terbaik, pakai bahan yang terbaik juga. Gue miris liat periklanan sekarang. Nggak bermutu. Propertinya murahan. Editingnya biasa banget. Pesannya nggak nyampe. Nggak sesuai sama moral bangsa kita. Buat gue, sependek-pendeknya iklan yang bakal gue buat harus tetep bisa promosi tentang negeri kita. Iklan yang bakal gue buat harus nunjukin begitu banyaknya perbedaan yang ada di negeri kita. Dengan begitu, kita bisa sadar, kalau kita itu negara yang kaya, negara yang punya banyak kebudayaan yang harus dijaga, negari yang multikultur. Supaya kita sadar, kita harus saling menghormati walaupun agama, suku dan pandangan kita berbeda-beda. Liat tuh iklan-iklan sekarang. Mana ada yang peduli sama promosi tentang potensi negeri ini. Mereka Cuma peduli sama profit yang mereka dapat dari penjualan produk. Menurut gue, konsep gue itu kayak peribahasa ‘Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui’, selain promosi produk mereka, itu juga promosi tentang kebudayaan kita. Lebih efisien kan? emang agak mahal, tapi itu semua budget buat properti terbaik, lokasi terbaik, editor terbaik dan yang pasti buat konseptor yang terbaik juga.” Jelas Tian panjang lebar.

Cinta terdiam mendengarkan penjelasan Tian. “Tapi tiap klien perusahaan iklan pengen konsep iklan yang murah dan bagus. Kalo konsep ini, bagus tapi muahal.”

“Lho? Tapi gue jamin hasilnya pasti bagus. Lagipula gue buat konsep ini Cuma buat tugas akhir. Kalaupun nantinya bakal dipakai iklan beneran, ini Cuma buat klien-klien yang peduli sama kebudayaan bangsa kita. Klien-klien yang punya hati dan sadar kalau bangsa kita ini kaya akan kebudayaan tapi kita nggak bisa jaga dengan baik.”

“Hm… oke-oke. Aku kalah. Aku akuin, konsepnya bagus. Indonesia banget.” Tian kembali menatap ke layar laptopnya dan mulai mengedit lagi. Diam-diam, Cinta kagum dengan jawaban Tian. Itu bukan jawaban yang pas buat orang yang mendapat IPK 2,1 seperti Tian. Jawabannya simpel, gampang dimengerti, penjelasan yang pintar. Itu jawaban orang pintar. Harusnya Tian mendapat IPK di atas 3,0. Mungkin ini semua karena kesibukan Tian sebagai artis.

----

Hari-hari selanjutnya dilalui Cinta dan Tian bersama-sama. Mereka kerap mengobrol dan bercanda di kantin, belajar bersama di perpustakaan, dan ngobrol di taman. Hingga tanpa mereka sadari, perlahan tapi pasti, perasaan lain tumbuh di hati mereka. Sayang.

“Akhir-akhir ini, aku jarang liat kamu ngumpul sama temen-temen kamu lagi.” Ucap Tian yang sekarang berubah menjadi aku-kamu saat mereka sedang makan bakso di pinggir jalan.

“Aku sebel sama mereka. Masa’ temenan sama aku Cuma karena pengen nyalin tugas-tugasku aja. Duh, males banget deh.” Jawab Cinta.

“Huh, berarti nggak ada yang tulus mencintai kamu dong. Hehe... tapi tenang, Tuhan dan aku masih cinta kamu kok. Hahaha... “ canda Tian.

“Oh, gitu ya?” jawab Cinta sinis. Tiba-tiba ada semut yang berjalan di atas mangkok baksonya. Tian mendekatkan tangannya pada semut itu dan memungutnya. “Jangan dibunuh! Nanti juga bakal pergi sendiri kok kalau yang manis-manis udah ilang.”

“Wah, dia nggak pergi-pergi kalau kamu tetap di sini dong.”

“Halah... gombal!”

Tian terdiam. Tapi tak lama, ia membuka mulutnya lagi. “Cin, kenapa kita nggak bersatu aja? Kita bakal saling melengkapi lho! Aku laki-laki, kamu perempuan. Aku yatim, kamu piatu. Aku ganteng, kamu cantik.”

“Aku Islam, kamu Kristen.” Potong Cinta.

“Yups, bener banget!” Tian kembali terdiam. Lalu kembali berbicara. “Hem... kamu pindah agama aja, biar kita bisa bersama-sama.”

“Kamu yakin masih mau sama aku? Kamu bisa jamin, aku nggak akan mengkhianati kamu? Kalau sama Tuhanku aja, aku bisa berkhianat, gimana aku bisa setia sama kamu?”jawab Cinta sambil tersenyum.

“Tapi kan yang penting, kita bisa bersama-sama, Cin.” Balas Tian dengan wajah sok serius.

“Aneh-aneh aja kamu.” Cinta berjalan mengembalikan mangkok baksonya dan membayar dua piring bakso. Tak lama, Tian menyusul. Lalu Cinta berjalan menjauh.

“Berapa, bang?” Tanya Tian.

“Udah dibayar sama pacarnya, Mas.” Jawab si abang tukang bakso.

“Pacar?”

“Itu lho, Mas. Mbak yang tadi sama Mas. Kan manggilnya ‘Cin’ Cinta, panggilan sayangnya mas ke mbak itu kan?” Tian terdiam lalu menggeleng-gelengkan kepala. Cinta, cinta. Lalu Tian tersenyum berterima kasih pada si abang tukang bakso dan berjalan menghampiri Cinta.

“Terima kasih, Cinta.” Ucap Tian sok romantis sambil tersenyum manis.

“Sama-sama, Cinta.” Balas Cinta sambil tersenyum geli mendengar ucapan si abang tukang bakso tadi. Lalu tangan Tian meraih tangan Cinta dan menggandengnya meninggalkan tempat itu.

----

“Udah siap?” Tanya Cinta. Tian mengangguk. Cinta mulai merubah suaranya menjadi lebih berat seperti suara Pak Anton. “Hem... Saudara Christian, tolong jelaskan apa maksud iklan yang Anda buat ini.” Lalu Tian mulai menjelaskan konsep yang ia buat. Tentu saja dengan budget yang sudah diubah menjadi lebih kecil.

“Saudara Christian. Ceritakan maksud foto yang Anda ambil.” Lalu Tian menjelaskan foto tentang multikulturalisme itu. Gambar bangunan masjid dan gereja yang berhadapan dan di jalan antara keduannya, terdapat jamaah masing-masing tempat ibadah bersalam-salaman dan mengobrol dengan akrab. Seperti tidak ada perbedaan di antara mereka. Tian menjelaskan bagaimana kehidupan damai dengan tenggang rasa dan tanpa melihat perbedaan agama.

“Saudara Christian, apa Anda menyukai guru fotografi Anda?” Tanya Cinta.

“Cinta! Yang serius dong!” balas Tian dengan kesal.

“Iya-iya. Bercanda aja kok. Abis dari tadi serius banget!” Cinta kembali berlagak seperti dosen-dosennya. “Saudara Christian, apa yang membuat Anda menyukai guru fotografi Anda?”

“Karena dia itu fans terberat saya, Pak. Saking nge-fansnya, dia rela membantu saya mengerjakan TA saya dan mengajari saya fotografi. Dia juga Cinta milik saya, Pak.” Jawab Tian dengan wajah sok serius. Lalu Cinta tertawa terbahak-bahak. Tian ikut tertawa. “Cinta! Jangan main-main lagi deh!”

“Oke-oke. Kita lanjutin.” Lalu mereka melanjutkan latihan presentasi Tian kali ini.
Kali ini, Tian nggak mau gagal. Karena jika gagal, ia akan mengecewakan Cinta, orang yang ia sayangi.

Esok harinya Tian presentasi TA-nya. Cinta menunggu di luar ruangan dengan tegang. Dan saat Tian keluar, ternyata Tian berhasil menjawab setiap pertanyaan dosen dengan baik. Dan dia dinyatakan lulus! Syukurlah.

“Cinta, ini uang yang aku janjiin buat kamu.” Ucap Tian sambil menyodorkan amplop coklat isi uang.

“Makasih, Tian. Padahal aku niatnya tulus mau bantu lho. Hehe... tapi namanya juga rizki. Nggak boleh ditolak.” Jawab Cinta sambil tersenyum polos. Tian gemas melihat wajah Cinta lalu mengusap kepala Cinta yang dilapisi jilbab.

“Aku harap, setelah ini, kita masih temenan ya, Cin.” Ucap Tian tulus. Cinta tersenyum manis.

----

Bulan Ramadan tiba. Tian berusaha menghormati Cinta yang berpuasa. Tiap malam, ia berusaha membangunkan Cinta untuk sahur dengan miscall ke ponsel Cinta. Bahkan kadang, Tian mengajak Cinta berbuka puasa di rumahnya. Tian juga sabar menunggui Cinta shalat saat mereka sedang belajar bersama.

“Mari kita berdoa dengan cara agamaku.” Ucap Tian saat ia menemani Cinta berbuka puasa hari terakhir di rumahnya.

“Eits, enak aja! Ya Tuhan yang kami sebut dalam berbagai nama, Tuhan yang kami sembah dengan berbagai cara, terima kasih atas rizki yang Kau berikan pada kami...”

“Semoga makanan yang Kau beri kepada kami ini bisa membawa berkah.” Lanjut Tian.

“Amiin.” Ucap mereka berbarengan. Lalu mereka makan bersama.

Setelah makan selesai dan Cinta melaksanakan shalat maghrib, mereka berdua asyik membuat ketupat. Cinta mengajari Tian cara membuat ketupat. Dan Tian mengikuti arahan Cinta dengan baik. Lalu mereka juga memasak untuk Hari Idul Fitri esok hari. Tahun ini, Cinta memutuskan untuk tidak pulang kampung. Masalah keuangan. Uang yang diberi Tian ia habiskan untuk membeli buku. Dasar kutu buku! Untung, orang tuanya mengerti.

Sehari setelah Hari Idul Fitri, Cinta dan Tian menghias pohon natal di rumah Tian. Kebetulan, tahun ini Hari Idul Fitri dan Hari Natal berdekatan.

“Enaknya dikasih apa lagi ya, Cin?”Tanya Tian sambil menatap pohon natal di hadapannya. Cinta melangkah menuju dapur dan mengambil sisa kulit ketupat kemarin. Lalu Cinta memasangkannya di salah satu ranting pohon cemara imitasi itu.

“Nah, ini baru bagus. Simbol multikulturalisme.” Jawab Cinta.

“Coba aja, semua orang di dunia bisa saling menghormati antar umat beragama. Nggak bakal ada tuh perang lintas agama, kayak di Ambon. mereka itu menganggap agamanya paling baik. buat apa sih mereka ribut Cuma gara-gara agama? Toh, semua agama selalu mengajarkan tentang kebaikan.”

“Namanya juga prinsip orang masing-masing kan beda-beda.”

“Buat apa Tuhan menciptakan berbagai agama kalau Dia menuntut agar semua agama itu menyembah Dia? Buat apa Tuhan menciptakan banyak agama kalau Dia cuma pengen disembah dengan satu cara? Kalau di dunia ini cuma ada satu agama, nggak bakal ada perang lintas agama kayak gitu. Kalau di dunia cuma ada satu agama, dunia ini bakal aman dan perdamaian dunia bakal tercapai!” ucap Tian.

“Karena itu Tuhan menciptakan rasa cinta supaya orang-orang yang berbeda agama bisa bersatu. Bisa nggak sih kamu kayak cowok lain? Ajakin aku ke Paris kek. Beliin aku berlian kek.” Ucap Cinta ketus.

“Ke Ambon tuh! Biar kita bisa liat gimana agama jadi alat propaganda paling murah. Di sana agama udah nggak punya nilai lagi! Kita bisa liat gimana perbedaan itu nggak bisa nyatuin mereka. Liat gimana agama dianggap hal yang paling bawah. Agama dianggap hal yang paling nggak berharga. Mereka saling melanggar hak-hak umat beragama lain.” Balas Tian keras.

“Udah deh, jangan sok ngomongin agama-agama segala! Jangan sok mau mendamaikan dunia kalau kamu malah buat konflik agama di sini! At least, itu yang bisa kamu lakuin sekarang!” balas Cinta dengan keras. Lalu keduanya terdiam. “Udah deh. Ganti topik aja yuk! Nggak asyik ah, ngomongin prinsip kita masing-masing. Ini urusan kita masing-masing sama Tuhan. Jadi, nggak usah dibahas lagi ya.” Cinta berusaha menenangkan diri.

“Oke-oke. Aku denger, katanya kalau orang Islam ikut ngerayain natal itu hukumnya haram ya?” Tanya Tian. “Terus kenapa kamu mau bantu aku ngehias pohon Natal? Katanya juga, orang Islam nggak boleh berteman sama orang Nasrani. Kenapa kamu mau temenan sama aku?”

“Itu kan kata mereka. Islam itu ada banyak. Beberapa ulama berpendapat seperti itu. Itu terjadi karena kamu dianggap salah. Masa’ rasul dijadiin Tuhan? Dan Natal adalah perayaan memperingati kelahiran Tuhan kamu. Maka dari itu, dikhawatirkan kalau kami ikut merayakan, takut dianggap ikut menuhankan rasul.” Jelas Cinta “Tapi kalau buat aku sih yang penting hatiku selalu Cuma untuk Islam. Aku bantu kamu dengan niat ingin membantu sesama aja kok. Nggak ada yang lain. Terserah mereka mau bilang apa. Yang penting, hatiku kan nggak ikut ajaran kamu. Kita kan juga butuh pengetahuan yang luas. Jadi buat aku, sah-sah aja kalau aku berteman sama orang nasrani. Kalau aku sih, nggak mau beda-bedain agama dalam berteman. Yang penting, dia asyik dan nggak ganggu kehidupan agamaku. Itu aja, buat aku udah alasan yang cukup.”

“Katanya orang yang ngelanggar hukum Islam, bakal masuk neraka? Kamu nggak takut masuk neraka gara-gara aku?”

Cinta terdiam. “Itu semua kan yang tahu Cuma Tuhan. Yang bisa nilai sikapku, ibadahku, dan keimanananku hanya Tuhan. Yang penting, apapun yang aku lakukan selalu aku niatkan karena Tuhan.” Tian terdiam. Tiba-tiba Cinta mendekatkan kepalanya ke kepala Tian sambil berbisik, “Kalau dalam agamamu, aku masuk neraka apa surga?”

Tian terdiam menatap Cinta. Kemudian berucap perlahan, “Kalau aku Tuhan, aku masukin kamu ke surga.”

“Hahaha... Kamu aneh-aneh aja!” balas Cinta sambil memalingkan wajah. “Cepetan berangkat ke gereja sana! Nanti keburu penuh lho!”

“Iya deh. “ ucap Tian sambil beranjak dan mengambil Alkitab-nya di meja. Tian lalu mulai melangkah meninggalkan Cinta. Tapi tiba-tiba Cinta meraih tangan Tian. Tian terhenti dan menatap Cinta.

“Cepetan pulang ya.” Ucap Cinta. Tiba-tiba perasaan Cinta tidak enak.

“Iya.” Balas Tian sambil menyentuh pipi Cinta lalu pergi dengan mobilnya.

Cinta sendirian di rumah Tian. Dia bingung akan melakukan apa. Mengutak-atik kamera DSLR-nya dan laptop Tian. Menjepret apapun sekenanya tanpa feel sedikitpun. Mondar-mandir kesana kemari. Berkeliling di rumah Tian yang tidak begitu besar. Dan terakhir, ia terpaku di depan televisi. Memencet tombol-tombol pada remote tivi. Mengganti settingan tivi. Mengganti channel tivi tanpa arah yang pasti.

Tapi tiba-tiba ia terhenti pada sebuah channel yang menayangkan berita tentang pengeboman pada gereja-gereja yang sedang mengadakan misa natal. Dan parahnya lgi, mereka menyebutkan bahwa bombernya adalah oknum muslim. Ya Allah. Astagfirullah. Apa ini? Batinnya. Perasaannya campur aduk. Dia sedih karena nama Islam dibawa-bawa. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana perasaan Tian melihat berita itu. Dia malu.

Saking kalutnya, Cinta tidak menyadari bahwa Tian sudah pulang. Dia baru sadar saat Tian duduk di sebelahnya tapi dia tetap diam mematungmemandangi tivi. Tian yang tidak mempedulikan tivi malah asyik melambaikan tangan di depan wajah Cinta. Tapi Cinta tidak juga menyahut. Akhirnya Tian melihat ke arah mata Cinta melihat. Dia ikut menyaksikan tayangan berita itu.

Tangan Tian mulai mengepal dengan keras. Emosinya memuncak. Wajahnya memerah karena marah. Matanya merah melihat saudara seimannya menjadi korban. Padahal mereka tidak bersalah. Padahal mereka tidak tahu apa-apa. Ini nggak adil! Batin Tian. Buat apa selama ini aku selalu menggembar-gemborkan tentang toleransi kalau akhirnya sausara-saudaraku jadi korban?

Cinta menoleh dan menatap Tian. Dia benar-benar tidak tega melihat Tian marah dan sedih seperti ini. Dia meraih tangan Tian dan menggenggamnya erat. “Kamu tenangin diri dulu ya. Jangan marah. Aku tahu, gimana perasaan kamu. Kalau kamu udah lebih tenang, hubungi aku ya.” Cinta mencium tangan Tian lalu melepaskannya dan meninggalkan rumah Tian.

----

Semenjak hari itu, Cinta dan Tian berjalan sendiri-sendiri. Tian seperti menjauh dari Cinta. Cinta bisa mengerti kenapa Tian seperti itu. Cinta paham bagaimana perasaan Tian. Ia bisa memakluminya. Ia akan tetap menunggu hingga Tian kembali menghubunginya karena saat itu berarti Tian sudah tenang kembali. Walaupun ia rela harus merasa kesepian dan kehilangan Tian.

Sebenarnya Tian tidak berniat menjauh dari Cinta. Tapi ia benar-benar tidak ingin Cinta menjadi pelampiasan kemarahannya. Akhirnya untuk melepaskan kemarahannya, setiap hari ia pergi ke Gereja untuk mengadu pada Tuhannya. Tapi hatinya tak kunjung tenang. Tiba-tiba dia merasa sangat membenci Tuhannya. Dia merasa Tuhan itu tidak adil. Kalau Dia ingin disembah hanya dengan satu cara, untuk apa harus ada umat-umat agama lain? Untuk apa harus ada ajaran agama lain? Hatinya kosong. Dia sudah tidak mempercayai Tuhan lagi.

----

Pagi ini, Cinta duduk di salah satu meja di pinggir jendela di cafe yang sering ia dan Tian datangi. Tempat yang menjadi favorit mereka berdua. Cinta asyik menatap gallery di kameranya. Menatap foto-foto Tian yang ia ambil secara Candid. Tian tertawa, cemberut, dan sok serius. Menatap foto-foto mereka berdua di sela-sela hunting foto.

“Hayo! Kangen sama aku ya?” ucap Tian yang tiba-tiba muncul di sampingnya sambil tersenyum lebar. Cinta menegakkan kepalanya dan menatap siapa yang ada di depannya.

“Tian?”pekik Cinta. “Sejak kapan ada di sini?” wajah Cinta berubah berbinar-binar senang.

“Dari tadi di sini. Kamu aja yang nggak nyadar. Kangen sama aku ya? Sampe segitunya ngeliat foto-fotoku.”

“Emang kamu nggak kangen?”

“Nggak.”

“Ih, Tian jahat.”

“Haha... nggak. Aku bercanda kok. Aku kangen sama cerewetmu kok. Hehe... laper nih. Makan yuk!” lalu mereka memesan sepiring besar nasi goreng. Tak lama, nasi goreng mereka datang. Cinta mulai menyantap nasi goreng itu. Dan setelah itu, ia menyuapkan sesendok nasi pada Tian.

“Denger-denger, pengeboman gereja-gereja itu cuma konspirasi orang-orang nasrani aja biar semua rakyat Indonesia menghujat Islam. Duh, nggak nyangka, pikiran mereka picik banget ya.” Ucap salah satu pengunjung cafe yang ada di belakang mereka.

“Masya allah. Kok kayak gitu banget sih?”timpal salah satu lagi dari mereka.

“Ah, itu cuma gossip aja kali. Jangan langsung percaya. Udah ah, bahas yang lain aja. Soal pengeboman kemarin masalah yang krusial dan sensitive banget. Nggak enak kalau ada pengunjung lain yang denger.” Ucap yang lainnya.

Tangan Cinta mengepal keras. Dia tidak akan membiarkan suasana hati Tian yang sudah baik menjadi buruk lagi. Dia akan beranjak menghampiri pengunjung itu. Tapi Tian menahan sikunya. Cinta menatap Tian. Tian berusaha meyakinkan Cinta dengan tatapan matanya yang dalam. Lalu Cinta berusaha kembali relaks dan membenarkan posisi duduknya lagi. Kemudian mereka melanjutkan makan mereka kembali.

----

Mereka duduk di sofa empuk Tian di ruang tengah rumah Tian. Kepala Cinta bersandar di pundak Tian. Mereka sedang menonton televisi. Tapi pikiran mereka tidak terarah ke acara music yang ditayangkan di tivi.

“Jadi orang Islam kadang nggak enak. Kalau ada teror-teror, selalu nama Islam yang dibawa-bawa. Semua umat Islam kena getahnya. Tapi sebenarnya yang ngelakuin Cuma sekelompok orang yang nggak punya hati dan nggak punya otak. Kadang aku malu tahu jadi orang Islam kalau ada kejadian kayak gini. Aku malu punya saudara seiman yang kayak mereka.” Ucap Cinta perlahan.

“Udah lah, Cin. Mungkin emang umat Kristen yang salah. Mungkin karena mereka kurang Islam buat tinggal di Indonesia yang mayoritas Islam.”

“Jangan ngomong gitu. Siapa tahu beberapa tahun lagi, Indonesia jadi mayoritas Kristen. Kita nggak tahu kan?”

“Udah lah. Itu nggak mungkin.” Lalu mereka berdua terdiam sesaat.

“Aku dapet beasiswa di Singapura. Orang tuaku minta aku melanjutkan kuliah di sana. Mereka lebih percaya pendidikan di sana. Dan Alhamdulillah aku dapet beasiswa di sana. Pihak sekolahku yang lama merekomendasikan aku ke salah satu universitas bergengsi di sana. Dan rekomdasinya diterima. Awal Januari ini aku berangkat.” Ucap Cinta datar sambil bangkit dari pelukan Tian. Dia menatap Tian.

“Awal Januari?” ulang Tian tidak percaya. Cinta mengangguk. Tian tampak berpikir sejenak. “Apa perlu aku ikut?”

“Nggak usah. Aku nggak mau ngerepotin kamu lagi.”

“Aku nggak ngerasa direpotin kok.”

“Tian, sebentar lagi kamu menikah. Aku nggak bisa ganggu pernikahan kamu.” Lalu mereka terdiam. Cukup lama. Lalu Cinta memecah keheningan. “Aku pulang dulu ya.”

Cinta bangkit dan mulai beranjak menjauh. Tian mengikutinya. Perasaan Tian campur aduk. Dia tidak bisa kehilangan Cinta. Tidak. Cinta segalanya bagi hidupnya. Ketika mendekati pintu, Tian menarik tangan Cinta dan mendorong tubuh Cinta ke tembok hingga tubuh mereka berada sangat dekat.

“Tian, kamu kenapa sih? Sadar, Tian.” Ucap Cinta keras sambil berusaha melepaskan diri. Tian hanya menatap Cinta dalam-dalam. Tak lama, Cinta berhenti memberontak. Karena ia tahu, Tian tidak akan bersikap tidak sopan padanya. Tian hanya ingin meyakinkan hatinya. Mereka bertatapan cukup lama.

“Kenapa sih Tuhan membuat kita berbeda? Kenapa sih harus ada Islam dan Kristen? Kenapa sih Tuhan menciptakan agama? Karena perbedaan agama itu, dunia jadi nggak damai. Dunia jadi nggak tentram. Karena agama itu, kita nggak bisa bersatu. Aku benci Tuhan.” Ucap Tian pelan. Tapi nada suaranya menyaratkan bahwa dia sangat marah. Mereka terdiam.

“Cinta, apa perlu aku pindah Islam buat kamu?” ucap Tian akhirnya. Cinta terkejut mendengar ucapan Tian. Ya Allah. Bagaimana ini? Sebenarnya ini adalah kesempatan emas untuk mengajak Tian memeluk agama yang berasal dari Allah. Kesempatan emas agar ia tetap bersama orang yang ia cintai. Tapi apa Tian bilang tadi? Untukku? Batin Cinta. Nggak bisa. Aku nggak boleh egois. Kalau dia ingin pindah Islam, harus dengan niat hanya karena Allah. Bukan karena aku. Nggak boleh.

“Tian, kali ini, tolong dengerin aku. Kalau kamu ingin pindah agama Islam, dasarkan niatmu itu hanya karena Allah, bukan karena aku. Aku menyayangi kamu, Tian. Tapi aku nggak mau egois. Aku nggak mau, kalau kamu jadi suamiku nantinya, kamu akan masuk neraka hanya karena lebih mencintaiku dibandingkan Allah. Dan kita jadi bermusuhan di akhirat karena kita beradu argument dan bertengkar di depan Tuhan. Belajarlah pelan-pelan tentang Islam. Berusahalah mencintainya. Saat kamu udah lebih mencintai Islam, kembalilah padaku. Insyaallah, jika saat itu aku belum memiliki orang lain, aku akan menerimamu.” Ucap Cinta dengan bersungguh-sungguh. Ia tidak main-main dengan ucapannya. Lalu, ia mengambil sesuatu dari tasnya. Kartu nama. “Ini kartu nama ibuku. Ini alamat tetap kami. Keluarga kami tidak akan pernah menjual rumah kami di Solo. Permisi.”

Cinta melepaskan diri dari Tian. Tian hanya terdiam menatap kepergian Cinta. Ketika mencapai pintu, Cinta terhenti. Dia membalikkan tubuhnya. Dia kembali ke tampat Tian berdiri. Menyentuh pipi Tian yang halus dan putih. “Jaga diri kamu baik-baik. tetap semangat menjalani hidup. Aku akan nunggu kamu. Permisi.” Cinta membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi. Tian tetap terpaku di tempatnya berdiri. Menatap orang yang ia cintai pergi.

----

Seorang laki-laki bertubuh besar dan berparas tampan, berjalan melangkah memasuki pekarangan sebuah rumah tradisional khas Jawa di kawasan Laweyan. Pria keturunan China itu berjalan mendekati pintu dan mulai mengetuk pintu rumah itu.

“Assalamu’alaikum.” Ucapnya dengan sopan. Hatinya berdebar kencang. Menanti detik-detik pertemuannya dengan gadis yang ia cintai. Tak lama, pintu kayu itu dibuka oleh seorang wanita separuh baya dengan baju daster panjang dan jilbab instannya yang sedikit lebar.

“Wa’alaikumsalam. Madosi sinten nggih, Mas?” sahut ibu itu.

“Maaf, bu. Saya belum bisa bahasa Jawa. “ ucap laki-laki itu sambil tersenyum polos. Wanita itu tersenyum bersalah.

“Maaf, Mas. Mau cari siapa ya?”

“Ini benar rumah Zahra Cinta Kumalasari?” wanita itu menganggukan kepalanya mendengar nama anaknya di sebut. “Cinta ada, Bu?”

“Mas ini siapa ya? Temen kuliah Cinta?”

“Iya, Bu. Saya temen kuliahnya waktu di Jakarta. Kebetulan lagi ada urusan bisnis di Solo, jadi sekalian silaturahmi.”

“Oo... Cinta lagi di kantornya, Mas. Coba aja Mas ke sana. Namanya CT Photography, Studio Foto gitu lah, Mas. Di jalan Slamet Riyadi. Dekat Sriwedari.” Jelas ibu Cinta.

“Oo... makasih ya, Bu. Permisi. Assalamu’alaikum.” Pamitnya.

“Wa’alaikumsalam.”

Laki-laki itu pergi meninggalkan kawasan Laweyan dan menyuruh supir taksinya mengantar ke alamat yang ia tuju. Tak lama, ia berhenti di depan sebuah studio foto. CT Photography. Dia turun dari taksi dan melangkah masuk ke dalam ruangan yang penuh figura foto itu. Ia terdiam melihat salah satu foto. Itu foto yang dulu dijadikannya sebagai materi TA. Masjid dan Geraja yang berhadapan. Di bawah figuranya tercetak namanya dulu dan judulnya ‘Perbedaan yang menyatukan’. Hatinya semakin berdebar.

“Assalamu’alaikum. Maaf, Pak. Ada yang bisa dibantu?” Tanya seorang perempuan yang ada di belakangnya. Suara itu. Suara yang sangat ia rindukan. Suara itu. Ia mengenal suara itu. Sangat mengenal. Dia tetap tidak memalingkan wajahnya.

“Wa’alaikumsalam. Ada. Saya ke sini mau menagih janji.” Jawabnya.

“Maaf, Pak. Janji apa ya?”

“Janji masa lalu.” Lalu ia membalikkan tubuhnya dan mendapati perempuan berjilbab warna pastel sedang menatapnya bingung. “Kamu lupa janji masa lalu itu?” ia tersenyum manis.

“Maaf. Apa kita pernah ber...” Tanya Cinta. Ucapannya terputus. Cinta berusaha berpikir. Tunggu. Wajahnya nggak asing. Tunggu. Nggak mungkin laki-laki ini Tian. Nggak mungkin. Dia tadi jawab salamku. Ya Allah. Aku nggak mimpi ketemu dia lagi kan?

“Baru lima tahun kamu udah lupa sama aku, Cinta?”

“Christian? Kamu Tian?”

“Itu dulu, Cinta. Kenalkan. Namaku Naufal Rizki. Tercatat di catatan sipil Jakarta Pusat sejak tiga tahun yang lalu.” Ucapnya mengenalkan jati dirinya yang baru sambil tersenyum manis pada gadis itu.

“Tian. Kamu bener-bener berubah. Penampilan kamu beda banget.” Cinta masih tidak mempercayai Tian kembali ke dalam hidupnya. Ya Allah. Namanya berubah berbau islam. Mungkinkah? Mungkinkah dia sekarang mualaf? “Kamu seorang muslim?”

“Alhamdulillah. Sekarang Tian berubah jadi Naufal, yang berarti keimanannya juga sudah berpindah ke jalan yang lurus. Jalan yang ditentukan oleh Allah.
Dunianya serasa berputar. Cinta belum sepenuhnya percaya. Tapi dia harus percaya. Allahu Akbar. Subhanallah. Alhamdulillah. Ya Allah, Kau telah buka mata hatinya. Terima kasih, Ya Allah.

“Tian. Ini benar-benar Tian yang IPK-nya cuma 2,1 itu? Ini Tian yang mantan artis itu? Ini Tian yang nggak bisa motret itu? Ini bener-bener Tian? Ini bener-bener kamu?”

“Iya, Cinta. “

“Subhanallah. Ayo silakan duduk.” Cinta mengajak Tian duduk di sofa empuk di ruang tunggu studio foto itu. Mereka larut dalam nostalgia masa lalu mereka. Mereka bercerita tentang perjalanan hidup mereka.

Setelah perpisahan itu, Tian memutuskan untuk mempelajari Islam. Dan ia mulai mencintai Islam. Ia memutuskan untuk memeluk Islam setelah satu setengah tahun mempelajarinya. Selama itu, ia mencoba meyakinkan orang tuanya tentang keputusannya berpindah agama. Beruntung, orang tuanya adalah orang tua yang demokratis yang memperbolehkannya memeluk agama Islam. Walaupun sebenarnya mereka adalah keluarga Nasrani yang taat. Ia juga menolak secara pelan-pelan perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Setelah memeluk Islam, ia mendirikan sebuah sekolah Islam dengan standard pendidikan internasional dengan uang hasil usahanya di bidang advertising. Dan Alhamdulillah ia sudah menunaikan ibadah haji.

Cinta. Setelah kuliahnya di Singapura selesai, ia kembali ke tanah kelahirannya. Ia membangun sebuah perusahaan advertising yang didirikannya dengan uang tabungannya selama yang ia kumpulkn pelan-pelan dari hasilnya bekerja sambilan selama kuliah. Selain itu, ia juga menjadi penulis. Penghasilan dari dua pekerjaannya itu, dia mendirikan sebuah kantor majalah remaja dan muslimah. Ia menjadi pemimpin redaksi di sana. Dan usahanya ini juga sukses. Ia juga memiliki sebuah toko bunga di bilangan Slamet Riyadi. Dan yang terakhir, ia membuka studio foto yang diberi nama CT Photography yang tak hanya melayani paket pre wedding, wedding, atau acara lain, tapi juga melayani les fotografi dengan biaya yang murah. Kini Cinta brubah menjadi wanita karier yang sukses. Alhmdulillah.

Mereka kembali tertawa mengenang kenangan masa lalu mereka. Tapi tak lama Tian terdiam. Cinta ikut terdiam.

“Cinta, niat awalku ke sini buat nagih janji kamu. Kita sama-sama tahu, kita udah mapan dan sukses. Kamu juga tahu, aku sekarang muslim. Kamu dulu pernah janji untuk menerima aku saat aku sudah lebih mencintai Islam dibandingkan kamu. Apakah sekarang kamu bisa menerima aku?” ucap Tian penuh kesungguhan. Cinta hanya terdiam. “Zahra Cinta Kumalasari, jadilah pendamping hidupku sampai Allah memisahkan kita.”

“Tian, lima tahun aku menunggu kamu. Aku selalu menunggu kamu. Sekarang kamu kembali ke hadapanku lagi. Aku selalu menunggu saat-saat ini. Aku selalu menunggu kamu mengucapkan kalimat itu. Jadi, buat apa aku harus menyia-siakan kalimat itu?” sahut Cinta perlahan sambil menunduk. “Aku mau, Tian.”

Tian terdiam. Sedikit tidak mempercayai apa yang gadis itu katakan. “Kamu serius, Cinta?” Cinta menganggukan kepala. “Allahu Akbar. Alhamdulillah. Terima kasih, Ya Rabb. Makasih, Cin.” Tian tersnyum manis pada Cinta. Cinta membalasnya dengan senyum malu-malu.

----

Sore itu juga, Tian menemui orang tua Cinta dan melamar Cinta. Orang tuanya menyetujui. Dua hari kemudian, diadakan acara lamaran kecil-kecilan di rumah Cinta. Tian bersama kedua orang tuanya dan ayah angkatnya yang juga guru spiritualnya melamar Cinta secara resmi. Sebuah cincin emas melingkar di jari manis Cinta sebagai bukti ikatan mereka.

Tiga bulan kemudian, mereka menikah. Mereka mengikat janji suci di Masjid Raya Fathimah yang megah. Lalu dilanjutkan resepsi pernikahan di salah satu hall terbesar di Kota Solo. Tak hanya itu, pesta pernikahan juga diadakan di Jakarta.

Semua orang bahagia melihat pernikahan mereka. Yang pasti, yang paling bahagia adalah Cinta dan Tian. Perbedaan agama mereka yang dulu menjadi halangan mereka, malah menyatukan mereka karena hati mereka semakin terikat. Menjadikan mereka teman yang begitu dekat. Hingga benih-benih cinta itu bersemi. Dan kini, keimanan mereka sama. Dan mereka bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan. Memang benar, apa kata pepatah, ‘Kalau memang jodoh, apapun tidak akan bisa memisahkan’.

Kisah Cinta dan Tian ini mengajarkan pada kita untuk saling menghargai dan menghormati antar umat beragama. Dan saling membantu antar umat beragama. Bukan malah saling memusuhi. Karena kita sama makhluk Tuhan, walaupun dengan begitu banyak perbedaan. Ras, Agama, dan Etnis. Apapun perbedaan itu, jika kita bisa menghargainya, perbedaan-perbedaan itu akan menyatukan kita semua. Itulah yang menjadikan kita semua lengkap. Perbedaan seharusnya bukan menjadi suatu halangan untuk bersatu. Karena sebenarnya dengan perbedaan itu, kita, masyarakat multicultural, bisa saling melengkapi satu sama lain. Itu semua akan terjadi ketika ada cinta di hati kita. Dan perdamaian dunia akan terwujud dengan baik. So, Perbedaan itu menyatukan, kan?

-----------------------------

~TAMAT~
16-17 Mei 2010
01.45 WIB

Jumat, 07 Mei 2010

^The Sweetest Memories^ =)

Rasanya baru kemarin aku mulai mengenakan baju seragam putih abu-abu. Rasanya baru kemarin aku ikut MOS. Rasanya baru kemarin aku terdaftar sebagai salah satu dari tiga ratusan siswa baru SMA Negeri 1 Surakarta angkatan 2007. Sekarang aku udah jadi alumni SMA Negeri 1 Surakarta. Alumni 2010. Tiga tahun rasanya begitu cepat. Banyak kenangan yang tak akan terlupakan selama tiga tahun menimba ilmu di Smansa Solo tercinta.

Terima kasihku yang begitu besar untuk guru-guru Smansa yang udah memberiku ilmu yang insya Allah bisa bermanfaat buat aku. Bapak dan Ibu guru yang membimbingku, mengajariku dan menjadi orang tuaku selama di sekolah. Terutama wali kelasku dari kelas sepuluh sampai kelas duabelas. Bu Arni, guru kimia sekaligus wali kelas X-8 yang begitu baik dan menyayangi semua warga X 8 (07/08). Bu Nularsih, guru ekonomi sekaligus wali kelas XI IPS 2 (08/09) yang baik dan sabar menghadapi anak-anak yang usil dan nakal. Yang terakhir Bu Milang, guru geografi serta wali kelas XII IPS 3 (09/10) yang sangat baik, sabar, asyik dan bisa mengendalikan anak-anak yang selalu usil. Masih jelas dalam benakku, kami sekelas menertawakan cara Bu Milang memanggil Ardian Nur Rizky ‘Beni’ dengan nama yang bagi kami terlalu imut untuknya yaitu “Kiki”. Aku juga masih mengingat bagaimana Bu Milang mengajarkan kami untuk memelihara ‘keledai’ dalam otak kami dan selalu merawat ‘keledai’ itu, maksudnya jembatan keledai untuk mengingat pelajaran. Salah satu yang sulit terlupakan adalah pada Teori Indeks Konektivitas ada rumus: indeks konektivitas (β) = jumlah jalan penghubung/garis (e) dibagi jumlah kota (v) atau lebih singkatnya Garis bagi titik. Beliau mengajarkan kami untuk menyingkatnya menjadi ‘Gebetan’ yang berasal dari garis bagi titik (GBT). Konyol memang. Tapi semua jembatan keledai yang beliau ajarkan tak kan pernah terlupakan.

Aku selalu tersenyum mengingat semua kenangan manis selama aku duduk di bangku kelas X-8. Dari sinilah semua kisahku dimulai. Bertemu dengan teman-teman yang menyenangkan seperti Anis ‘Djoko’, Ardian ‘Dian’, Fitri, dll. Bertemu dengan sahabat sejatiku, SBY3A: Sanuri, Bima, Yuda, Aini, Alnia. Bertemu dengan seseorang yang begitu berharga untuk hidupku yang mengajarkanku tentang arti cinta yang sebenarnya yang juga salah satu sahabatku, Bimastyaji Surya Ramadan. Semua kenangan manis yang tak kan terlupakan.


SBY3A. Nama yang tak pernah terlintas dalam benakku sebelumnya. Singkatan nama kami. Sanuri Ebru Prasetyo, Bimastyaji Surya Ramadan, Yuda Virgantara Agustia, NurAini Fitria Ningsih ‘Aini’, Annisa Mustika Sari, dan Alnia Rindang Chairunisa. Mereka adalah sahabat sejatiku yang sangat aku cintai. Mereka yang menguatkan aku saat aku lemah. Mereka yang menemaniku saat aku kesepian. Mereka yang setia bersamaku saat semua orang pergi meninggalkan aku. Aku sangat menyayangi mereka. Mereka adalah saudara-saudaraku. Aku masih ingat, mereka dating ke rumahku saat aku ngambek. Dan mereka berteriak-teriak seperti orang gila untuk membacakan janji SBY3A. konyol. Tapi sangat berarti.


in our animation


Alnia & Yuda




Bima, Nisa, Alnia dan Yuda


Sama Aini

Wasi’aturrosyida ‘Ida’, Yayi Pristyana Permadi ‘Yayi’, dan Pahlawati Kusuma Putri ‘Papah’. Mereka juga sahabatku. Mereka selalu mendengarkan apapun celotehanku. Mereka yang memelukku saat aku sedih. Mereka yang menghapus airmataku saat aku menangis. Aku sangat menyayangi mereka.


Sama Ida


Ida dan Yayi


Sama Papah


sama Yayi


Bersama kami bisa

Bimastyaji Surya Ramadan. Aku nggak perlu bicara banyak tentang dia. Karena dalam posting-anku sebelumnya, aku udah banyak menjelaskan tentang dia. Intinya, aku sangat menyayanginya. Dia sahabatku, inspiratorku, motivatorku, dan pemilik bagian kecil hatiku.


Me and My Sunshine

IPS. Yap, penjurusan kelas sebelas, aku masuk jurusan IPS. Alasannya simple. Aku nggak suka pelajaran fisika. Konyol. Tapi, aku bahagia banget bisa masuk IPS. Karena dengan masuk IPS, aku bisa melihat suatu masalah dari berbagai segi dan mengerjakan segala sesuatu dengan hati. Ya, dengan hati. Aku belajar tentang politik, kehidupan social masyarakat, dan keragaman budaya Indonesia yang diajarkan dalam Sosiologi. Aku belajar menghargai masa lalu yang diajarkan oleh pelajaran Sejarah. Aku belajar memanage kehidupan dan keuangan yang diajarkan dalam pelajaran Ekonomi dan Akuntansi. Aku belajar mensyukuri dan mengagumi keindahan alam semesta dan mengagumi betapa rapi dan teraturnya Tuhan menciptakan alam ini yang diajarkan dalam pelajaran Geografi.

XI IPS 2. Anak-anak ‘ASU’. Eits, jangan mikir yang nggak-nggak dulu. ‘ASU’ alias Anak Sosial Dua. Kelas yang selalu jadi kontroversi dan buah bibir di ruang guru. Bukan hanya karena kami berprestasi, tapi juga karena kami adalah kelas paling ramai, malas dan mbolosan di antara dua kelas IPS lainnya. Di IPS 2 ini, aku memiliki teman-teman dekat yang begitu baik menemaniku saat semua orang menjauh dariku. Amartha Dhian Bayu Putri ‘Atha item’, Nabila ‘Bila encik’, Dita Vinocaesa ‘Phino’, Fathika Azka Rahmani ‘Azka’ dan Athin Setyorini ‘Athin’. Mereka adalah teman-teman yang begitu sabar menghadapi aku. Dan sampai kapanpun aku tak kan melupakan mereka.











OASE –More Than School Magazine. Organisasi majalah sekolah yang membuatku semakin mencintai menulis. Menjadi penulis di OASE membuatku belajar lebih mengenai menulis dan fotografi. Dua hal yang sangat aku cintai. Partner-partner hebat seperti Eri, Fian, Fina, Tantya, Latifah, Silpa, Ayu, Chandra, Syifa dan Anita, membuatku belajar mengenai organisasi, harmonisasi hubungan dengan orang lain dan teamwork yang baik. Dengan bantuan adek-adek OASE Fighters junior, OASE berhasil terbit sebanyak 2 kali dalam satu tahun. OASE Fighters junior yang lucu-lucu seperti Diki, Ayya, Pam2, Dhani, Phiki, Upik ‘Gacuk’, Chintya, Ghani, Herliena, Nita, Adnan dan
Icul. Dari mereka, aku belajar mengenai persahabatan. Mereka kompak banget sih! Dari OASE juga, aku bisa menjadi salah satu Dewan Pertimbangan FORMASTA (Forum Majalah Sekolah Se-Surakarta). Banyak pelajaran yang aku dapat dari OASE. For OASE Fighters 08/09, I’ll never forget you. You’re the best partner.


Oase Fighters 2008/2009

PMR. Palang Merah Remaja. Organisasi yang membawaku menjadi panitia dalam berbagai acara yang diadakan OSIS SMAN 1 SKA. Dari PMR, aku banyak belajar tentang kebersamaan. Siamo Tutti Fratelli. Kita semua bersaudara. Berkat PMR, ketakutanku pada kegelapan hilang. Karena untuk menjadi anggota PMR, kami harus ikut pemantapan yaitu ikut jurit malam dengan berkeliling sekolah sendirian pada malam hari tanpa penerangan.





Kami saat perpisahan PMR, 7 Mei 2010, nggak semua anggota dateng.

XII IPS 3. Anak-anak Genjig. Satu kalimat untuk kelas ini. TAK KAN TERLUPAKAN. Menyenangkan. Di antara banyaknya perbedaan di antara kami, kami berhasil menyatukannya. Benar-benar tanpa batas di antara perbedaan-perbedaan itu. Dari merekalah, aku belajar mengenai toleransi antar umat beragama. Mereka teman-teman yang sangat menyenangkan. Tantya ‘Cinta’, Putri ‘Cemeng’, Tyas ‘Mami Muchi’, Nunu ‘Gembung’, Atha ‘Item’, Ratna ‘Jacko’ dan Dena ‘Tul’. Mereka adalah salah satu dari 39 anak XII IPS 3 yang tak kan kulupakan. Aku belajar mengenai kekompakan dari mereka. Berhari-hari kami berlatih senam untuk ujian praktek dengan menanggalkan semua perbedaan. Berbagai hambatan kami lalui bersama. Girls, I love you all. Untuk semua anak-anak ‘Genjig’, thank’s for everything, Guys. Aku belajar banyak dari kalian.









Dan satu lagi, Muhammad Arifin Yusuf Fiantoro. Walaupun hanya sebentar, tapi dia sempat mengisi hatiku. Dari dia, aku belajar tentang menerima kelebihan dan kekurangan orang yang kita cintai. Aku belajar untuk mengerti. Aku belajar sabar. Aku belajar memaafkan orang lain. Hari-hari yang indah yang kami lalui, harus kami akhiri dengan satu kesalahan sepele yang dia lakukan. Posesif. Mengekang. Aku bukan tipe orang yang suka dikekang. Terlalu cemburu. Entah karena apa, aku belum sepenuhnya yakin bahwa dia adalah yang terbaik untukku. Dan, satu hal yang aku petik dari berakhirnya hubungan kami, aku menyadari bahwa sebenarnya hanya ada satu orang yang selalu membuat aku yakin, Bimastyaji SR. Dan semua ini, membuat aku sadar, nggak ada orang yang benar-benar aku sayangi selain Bima. Itu semua yang membuat kami bersatu lagi hanya dalam hitungan hari setelah dua tahun berpisah. Sekarang, aku belajar untuk mengerti semua kesibukannya, tanpa harus menuntutnya agar dia meluangkan waktu untukku. Karena aku percaya, walaupun hanya lima menit, dia pasti akan meluangkan waktunya untukku. Sekarang, aku nggak harus terkatung-katung dalam ketidakpastian lagi seperti dulu saat akhirnya kami menjauh. Karena aku percaya penuh padanya. Karena aku udah lebih mengenal dia. Karena tanpa dia harus mengucapkannya, aku tahu bahwa dia menyayangiku. Seperti kata Mas Baskoro, Kacab. Neutron Solo 3 yang sudah seperti kakak dan ayahku, “Rasa sayang nggak harus diungkapkan, dek. Tapi dari sikapnya pun kamu juga bisa tahu kalau dia sayang kamu kok. Dalam suatu hubungan, yang penting itu komitmen sama kepercayaan. So, don’t be afraid.”. Sekarang, aku belajar menjaga hatiku untuknya agar aku nggak kehilangan dia untuk kedua kalinya. Apapun yang terjadi. Insya Allah. Seperti kata Ida, “Kamu bener, Nis. Cuma dia yang bisa ngadepin kamu yang keras kepala banget. Kalau kamu yakin, jangan lepasin dia lagi. Aku tahu kok, dari dulu yang kamu harapkan cuma dia. ”. Seperti kata Kak Kevin, “Aku percaya sama pilihan dedek. Lakuin yang terbaik buat dia. Tetep percaya sama dia. Anggep semua masalah cobaan buat hubungan kalian.”

Untuk Fian, terima kasih atas segalanya. Terima kasih karena telah mencintai aku dengan tulus dan mau menerima semua kekuranganku. Kamu buat aku sadar, siapa sebenarnya yang ada di hatiku. Thank’s, bro. walaupun kamu buat aku sedih, tapi aku nggak pernah nyesel kenal kamu, karena kamu sempat buat aku bahagia. Makasih. Aku akan mulai belajar untuk memaafkan kamu dan menganggap kamu sebagai teman baikku. Fian, maafkan jika ada banyak kata-kataku dan sikapku yang menyinggung perasaan kamu. maaf ya, Fi. akuberharap, kita bisa jadi teman baik. keep our friendship. aku sayang Fian, temanku. ^_^



SMA Negeri 1 Surakarta tercinta. Masa SMA memang masa yang paling indah. Dari masa itu, aku belajar banyak tentang kedewasaan, persahabatan, keagamaan, cinta, komunikasi dengan orang lain dan harmonisasi hubungan dengan orang lain. Dalam satu masa, pasti akan ada berbagai torehan manis dan pahit. Itulah kehidupan. Ada manis dan pahit. Semua kenangan di masa SMAku akan terangkum menjadi satu dalam album foto kehidupanku yang tak kan pernah terlupakan dan tersimpan rapi dalam lubuk hatiku.

Aku akan selalu tersenyum dan menangis haru saat aku membuka kembali album foto itu.