Selasa, 13 Oktober 2009

Keluarga besarku dan kenangan terakhir . . .



foto ini juga diambil di sarangan



ini adek2 sepupuku. ada om nugroho sama papa juga. foto ini diambil waktu kita sekeluarga pergi ke telaga sarangan. kami nggak nyangka itu adalah piknik terakhir sebelum eyang putri meninggal.



ini eyang kakungku sama almarhum eyang putriku waktu lebaran 2008 kemaren. nggak disangka kalo lebaran 2008 adalah lebaran terakhir eyang putri...

Jumat, 09 Oktober 2009

sahabat - sahabat terbaik yang aku miliki


dari kiri : Dita, Bila, Martha, Aku
mereka adalah sahabat yang selalu nemenin aku di sekolah.. mereka baik banget sama aku....



dari kiri : aku, aini, alnia, bima, yuda, sanuri
kami menamakannya SBY3A... mereka sahabat2 terbaik aku...aku nggak akan lupain mereka...



dari kiri : Yayi, aku , Ida.
Yayi sama Ida bener2 sahabat aku dari smp. kita udah kebiasa seneng n sedih bareng...

Rahasia Takdir Allah

Ketika mentari pagi ini mulai menembus tirai jendela kamarku, aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah tercinta. Jarum jam baru saja menunjuk ke arah angka enam. Aku mulai melangkahkan kaki menuruni tangga rumahku. Dari tangga, aku sudah pada melihat mamaku yang tersayang yang tengah menyiapkan menu makan pagi kami sekeluarga. Mama tersenyum saat melihatku. Beliau tampak sangat cantik pagi ini. Usianya baru 44 tahun, tapi beliau tampak sepuluh tahun lebih muda dari umurnya.
“Pagi, Ma...”,sapaku sambil mencium pipi mama. Mama hanya tersenyum, tanpa membalas ciumanku.
“Duh, anak mama ini, tambah tinggi aja tiap hari.” canda mama.
“Ah, mama bisa aja.”,ucapku sambil menyambar setangkup roti buatan mama,”pagi ini mama berangkat sama aku nggak? Nanti biar adik sama papa.”
“Nggak usah, sayang. Jadwal mama ngajar hari ini juga masih nanti siang kok. Jadi berangkat nanti juga nggak apa-apa. Kamu sama adik aja ya.” Ucap mama. Aku hanya mengangguk. Mama memang salah satu guru di sekolahku.
“ADIK!!!!”, teriakku,”ayo, dik!! Kakak udah telat buat jam ke nol nih!” Tak lama dari tangga turun seorang gadis belia yang sudah rapi. Amel, adikku tersayang.
“Iya, kak.” Amel berjalan ke meja makan lalu menyambar roti serta melahapnya dengan terburu-buru. Mama hanya menggelengkan kepala. Setelah roti yang memenuhi mulutnya habis, dia mengambil gelas susu lalu meminumnya.
“Amel, anak perempuan makannya yang sopan dong, sayang.”ucap mama.
“Buru-buru, ma. Kalau aku makannya lama, nanti kakak marah-marah lagi!” Amel membela diri sambil melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum mengejek padanya. “Ayo, kak!! Kita berangkat!”
“Ma, aku sama Amel berangkat dulu ya.”pamitku pada mama sambil mencium tangannya dan pipinya lembut. Begitu juga Amel. Mama tersenyum dan berjalan ke teras depan bersama Amel. Lalu aku berjalan menuju garasi untuk mengambil motor kesayanganku. Di gerbang depan, aku menyalakan mesinnya lalu mengajak Amel naik. “Ma, berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”ucap mama sambil melambaikan tangan.
Aku melarikan motorku di jalanan yang di kelilingi persawahan dengan kecepatan tinggi. Lima belas menit kemudian, kami tiba di sekolah. Saat di parkiran sekolah, aku bertemu dengan seorang gadis belia yang manis. Aku tersenyum padanya saat dia melihatku. Dia membalas dengan senyuman manis yang membuat wajahnya makin cantik. Aku berjalan menghampirinya.
“Pagi, Cha.” sapaku sambil tersenyum padanya. Icha membalas senyumanku lagi. Saat melihat senyum manisnya, hatiku serasa melayang. Detak jantungku tidak bisa diatur.
“Pagi, Arian.” balasnya. lalu kami berjalan menuju kelas kami masing-masing. Aku di XII IA B dan dia di XII IS C. Kelas kami hanya dibatasi dengan kelas XII IA A. Saat tiba di depan kelasnya, aku melambaikan tangan tanda pamit. Lalu dia berjalan masuk ke kelasnya. Sambil berjalan ke kelasku, aku memikirkan gadis itu. Gadis yang cantik, pintar, dan santun tingkah lakunya. Aku merasa sangat beruntung mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan hatinya. Ya, Icha adalah pacarku. Di dalam hatiku, hanya ada tiga perempuan yang sangat aku cintai. Mama, Icha dan Amel. Aku tidak mau kehilangan mereka yang sangat berarti untuk hidupku. Icha itu cinta pertamaku. Dan aku berharap, dialah cinta terakhirku.
Saat tiba di kelasku, Dwiro sudah menyambutku dengan wajah sok innocent-nya. Aku hanya menatapnya aneh. Pagi ini, dia kelihatan lebih buruk dari hari sebelumnya. Pasti ada masalah lagi dengan Ila, mantan pacarnya.
“Hei, sob! Kenapa? Pagi-pagi muka udah dilipat sampai lima lipatan gitu!”sapaku bercanda sambil berharap dia akan lebih baik. Tapi dia tetap diam. “Hei, Dwiro??? Kamu kenapa sih??”
“Ila bikin aku broken heart lagi. Emang sih, dia udah anggap aku sebagai sahabatnya, tapi aku merasa dia nggak ikhlas.” Ucapnya lemas. Aku hanya dapat menghela nafas. Dwiro putus dengan Ila karena gadis itu pindah ke lain hati.
“Ya udahlah, Ro. Kamu harus bisa hapus perasaanmu ke dia. Kalo nggak, kamu bakal kayak gini terus. Come on, wake up, man! Kamu harus survive! Dia bisa kayak gituin kamu, kenapa kamu nggak bisa hapus perasaan itu?” hiburku.
“Kamu nggak tau apa-apa, Yan. Semenjak kamu jadian sama Icha, kalian jarang banget ada masalah. Kalaupun ada masalah, itu bukan masalah intern kalian. Tapi masalah sama mamamu.”ucapnya ketus,”kamu beruntung punya dia, Yan. Dari wajahnya aja, aku bisa liat, dia sayang banget sama kamu.”,dia lalu terdiam, “jaga dia baik-baik, Yan. Jarang ada perempuan kayak dia.”
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya tentang Icha. “Makasih ya, Ro. Rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku. Mungkin karena masalah Icha sama mamaku.” Aku menunduk. Pikiranku melayang-layang jauh.
Selama ini, mama memang belum menyetujui hubunganku dengan Icha. Karena mama adalah guru yang mengajar kelas Icha, terkadang beliau bersikap sinis pada Icha, terkadang juga bersikap seperti Icha tidak ada. Icha berusaha mendapatkan simpati mama dengan prestasinya. Nilai-nilainya sangat jauh di atas rata-rata kelas, mendekati sempurna. Tapi sepertinya mama tidak pernah mempedulikannya. Sudah berkali-kali aku memikirkan cara untuk membujuk mama. Tapi semua nihil. Kadang aku tidak tega melihat Icha menangis di hadapanku karena mama tidak pernah mempedulikannya. Aku tahu, mama seperti ini karena beliau sangat menyayangiku dan tidak mau kehilangan aku. Mungkin mama takut, perhatianku pada beliau akan berkurang setelah aku berpacaran dengan Icha. Padahal bagiku, walaupun perhatian dan kasih sayangku terbagi, aku tidak akan meninggalkan mama hanya karena aku perhatian dan sayang pada Icha. Aku sudah menjelaskan ini semua pada beliau. Tapi tetap saja, beliau keukeuh melarang hubungan kami. Tak lama bel pelajaran jam ke nol berbunyi. Teman-teman kelasku segera berhambur masuk kelas.
~ ~ ~
Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Aku berjalan menuju kelas Icha. Gadis itu duduk di pojok belakang di kelasnya yang kosong. Aku berjalan menuju Icha sambil tersenyum. Tapi gadis itu terlihat murung. Aku tau, apa sebab dia begitu. Sebelum istirahat, pelajarannya adalah pelajaran mama. Tiap kali setelah ibu mengajar, dia memang selalu begitu.
“Cha, jangan sedih dong. Aku tau gimana perasaan kamu. Tapi kita nggak boleh nyerah. Kita harus bisa dapat izin dari mama. Aku yakin kok. Kalau kita berusaha, lama-lama juga mama bakal luluh. Aku percaya itu.”hiburku.
“Tapi apa aku harus begini terus? Aku selalu berusaha jadi yang terbaik buat bisa dapat simpati dari mama kamu.”
“Udah ya… Jangan sedih lagi.”
“Aku selalu berusaha jadi yang terbaik. Tapi mama kamu nggak pernah peduli.” ucap Icha dengan tatapan menerawang,”nanti istirahat kedua, aku harus menghadap ke mama kamu di ruang multimedia. Aku nggak tau buat apa.”
Aku tertegun. Mama minta Icha untuk menemuinya. Untuk apa? Kenapa perasaan aku nggak enak ya?
“Perlu aku temenin nggak, Cha?”
“Nggak usah. Nanti aku sendirian aja nggak apa-apa kok.” kata Icha meyakinkanku,”nggak usah khawatir ya.”
Tak lama bel tanda istirahat berbunyi. Aku segera pamit pada Icha. Kemudian aku melangkahkan kaki ke kelas. Pelajaran ke empat segera di mulai.
Sepanjang pelajaran, pikiranku tidak dapat fokus pada pelajaran. Pikiranku dipenuhi dengan pertemuan mama dengan Icha saat istirahat kedua nanti. Ada apa? Pertanyaan itu yang terus memenuhi otakku sampai bel istirahat kedua berbunyi.
Aku segera berjalan ke kelas Icha. saat di depan kelasnya, Icha sudah berjalan keluar kelas. Aku tersenyum padanya. Seakan memberinya isyarat. Memberinya semangat. Meyakinkannya untuk menguatkan hati. Serta isyarat bahwa aku sangat menyayanginya. Rasanya seperti akan berpisah dengannya. Dia membalas dengan senyumannya yang lebih manis dari biasanya. Entah kenapa, aku merasa ini senyum perpisahan. Dari senyumnya, ia seakan memberi isyarat bahwa dia juga menyayangiku.
Lalu dalam sekejap, dia membalikan badan dan berjalan menjauh. Entah kenapa, rasanya sakit melihatnya pergi. Perasaanku tidak enak. Rasanya aku tidak ingin dia pergi. Tiba-tiba aku ingin mengikutinya dan mengintip pembicaraannya dengan ibu. Tapi Dwiro memanggilku dan mengajakku ke masjid untuk sholat dzuhur. Aku mengurungkan niatku untuk mengikuti Icha. lalu melangkahkan kaki menuju masjid bersama Dwiro. Aku yakin, dengan sholat, perasaanku akan lebih tenang. Seusai sholat, aku berdoa pada Allah SWT agar diberi ketenangan hati. Akhirnya, walaupun sebentar akhirnya aku bisa tenang.
Tiba-tiba dari luar masjid, terdengar suara teriakan yang memekikkan telinga. “KEBAKARAN!!!” Aku segera terbangun dari dudukku dan berjalan keluar masjid. Aku melihat ke sekeliling sekolah. Ada kepulan asap dari arah… ya Allah!! Ruang multimedia kebakaran!! Ya Allah, mama sama Icha di sana! Aku segera berlari menuju ruang multimedia yang ada di seberang halaman sekolah yang luas. Saat mendekati ruang multimedia, Pak Yanto, penjaga sekolahku menghentikan langkahku. Aku berusaha melepaskan pegangan Pak Yanto yang sangat erat. Api semakin membesar. Semua orang panik. Saking paniknya, tak ada satupun yang berusaha memadamkan api yang makin membesar. Api mulai menyebar. Sekali lagi, aku berusaha melepaskan pelukan Pak Yanto. Entah kenapa, aku merasa mama dan Icha masih terjebak di dalamnya. Karena pintu ruang multimedia masih tertutup rapat. Kali ini aku berhasil melepas pelukan Pak Yanto. Aku berlari dan berusaha membuka pintu ruang multimedia. Terkunci. Aku makin yakin, mereka berdua masih di dalam. Aku berusaha membuka pintu itu. Tapi gagal. Hawa panas menyambarku. Berulang kali, aku berusaha membuka pintu ruang multimedia. Tapi selalu gagal. Hawa panas tidak membuatku putus asa. Aku mengambil ancang-ancang untuk mendorong pintu. Kali ini aku terdiam. Ya Allah, aku mohon, tolong aku. Aku bersiap menghantamkan tubuhku ke pintu. Allahu Akbar! Entah apa itu, aku bisa merasakan ada dorongan yang keras saat aku mendobrak pintu. Tubuhku terdorong ke dalam ruangan itu saat pintu terbuka. Di dalamnya, aku melihat tubuh mama dan Icha tergeletak di deretan kursi yang terdekat dengan pintu.
Api semakin membesar. Aku tak memiliki banyak waktu untuk menolong. Tiba-tiba aku bimbang. Siapa yang akan aku tolong terlebih dahulu. Waktuku sangat singkat. Aku harus memilih di antara mereka. Perasaanku campur aduk dan berkecamuk. Keduanya orang yang berarti untukku. Lalu aku segera membawa tubuh mama ke luar ruangan itu. Di luar, banyak orang yang berusaha memadamkan api. Setelah memindahkan mama ke bawah pohon, aku segera kembali ke ruangan itu. Aku sempat melihat, ada orang yang segera memberi pertolongan pada mamaku. Aku berlari menuju sumber kebakaran. Saat itu, aku melihat api yang berkobar di ruangan lain mulai padam. Tapi di ruang multimedia belum padam. Saat aku akan masuk ke dalam ruangan, tiba-tiba atap ruangan itu roboh. Aku panik. Aku berusaha mencari jalan agar aku bisa masuk dan menyelamatkan Icha. tapi aku segera dicegah oleh Pak Yanto. Tubuhku sudah lemas karena aku menyadari bahwa aku tidak bisa menyelamatkan Icha.
“ICHA!!!” pekikku. Aku sudah tidak dapat menahan air mataku. Tiba-tiba kepalaku sakit dan dunia serasa gelap. Aku tidak tahu dengan apa yang terjadi.
~ ~ ~
Aku berjalan di sebuah padang bunga warna-warni yang sangat indah. Di tengah-tengah padang bunga ini, ada sebuah pohon yang berdiri tegak. Aku berjalan menuju pohon itu. Di dekatnya ada sebuah kursi duduk yang nyaman. Di sana, ada seorang gadis yang sedang duduk. Aku menghampirinya. Dia tersenyum padaku. Aku membalas senyum itu. Ya, senyum terindah yang pernah aku lihat. Aku duduk di sebelahnya.
“Arian, kalau aku pergi nanti, jaga diri baik-baik ya.” pesannya.
“Icha, kamu mau kemana?” tanyaku dengan sejuta pertanyaan di pikiranku.
“Aku mau ke sebuah tempat yang tenang. Tempat yang akan didatangi semua orang kelak. Jaga diri kamu baik-baik ya. Walaupun aku pergi, percaya sama aku, aku akan selalu menyayangi kamu. Aku akan selalu di hatimu. Arian, Buat aku, kamu cinta pertama dan cinta terakhirku. Aku akan nunggu kamu di sana.”
“Jangan tinggalin aku, Cha. Aku nggak mau kehilangan kamu. Cha, please jangan tinggalin aku.”
“Ikhlas. Aku yakin, kamu bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku, asal kamu bisa ikhlas. Ikhlas, Arian. Aku nggak mau kamu sedih.”
Aku terdiam. Mungkin ini memang saatnya kami berpisah. Kami bertemu karena takdir Tuhan, kami berpisah juga karena takdir Tuhan. Aku hanya mengangguk.
“Ini waktunya aku pergi. Maafin aku ya.” Icha mulai beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menjauhiku. “Aku pergi ya. Aku sayang kamu”
~ ~ ~
Perlahan mataku terbuka. Pandanganku masih kabur. Aku melihat ke sekelilingku. Di pojok ruangan, ada Amel yang tertidur di sofa. “Amel…” panggilku. Perlahan adik perempuanku satu-satunya itu terbangun dan menghampiri tempat tidurku. Dia tersenyum padaku.”Amel, mama mana?”
“Kak, tenang aja ya. Mama nggak apa-apa kok. Mama di kamar sebelah. Untung aja kakak bisa selamatin mama.” ucap Amel. Aku hanya tersenyum pada Amel.
“Mel, Kak Icha gimana?” tanyaku perlahan.
Wajah cerah Amel berubah muram. “Kakak yang sabar ya. Kak Icha udah tenang di alam sana.” Tiba-tiba, aku benar-benar merasa separuh nyawaku melayang. Ternyata mimpi tadi, bukan hanya mimpi. Tapi suatu pertanda bahwa aku akan kehilangan dia. “Kak, tenang ya. Ikhlas, kak. Udah takdirnya Kak Icha buat menghadap Allah.”
Aku membalikkan tubuhku memunggungi Amel. Aku menangis. Aku belum siap kehilangan dia. Tapi kematian seseorang hanya Allah yang tahu dan tidak dapat diduga oleh manusia. Pintu ruang inapku terbuka dengan perlahan. Tak lama, aku merasa pundakku dibelai oleh seseorang. Aku melihat mama tersenyum padaku. Tapi dari wajahnya yang masih terlihat muda, perlahan air matanya mengalir. “Mama, kok mama nangis?”
“Mama nggak apa-apa kok, sayang. Arian, maafin mama ya. Sebenarnya waktu itu, mama pingin ngomong sama Icha, kalau mama udah merestui kalian. Mama sadar, dia benar-benar gadis yang baik, sholehah dan pintar. Tapi saat itu, mama mengunci pintu dan kunci itu mama taruh di atas almari dekat pintu. Tiba-tiba, listriknya konslet dan membakar sebagian ruangan. Saat kebakaran itu terjadi, mama sudah berusaha membuka pintu. Tapi karena mama dan Icha panik, kunci itu jatuh dan masuk ke bawah almari yang sempit. Maafin mama, Arian. Mama juga sedih mendengar kalau Icha nggak ada. Maafin mama.” ucap mama. Mama mulai menangis.
“Nggak apa-apa kok, Ma. Emang udah takdirnya Icha menghadap sama Allah. Aku berusaha ikhlas kok, Ma.”ucapku perlahan sambil menahan air mata.”ma, aku mau istirahat lagi. Tiba-tiba, kepalaku sakit lagi.” Mama tersenyum padaku lalu meninggalkan ruang inapku. Aku berusaha memejamkan mataku. Mencoba mengikhlaskan kepergian Icha.
~ ~ ~
Aku berjalan menyusuri jalan setapak di antara batu-batu bisu. Suasana yang sangat tenang. Di sebuah gundukan tanah merah yang masih basah, aku terhenti. Sebuah kayu penanda itu tertulis ‘KHAIRUNNISA’. Aku duduk di samping pusara Icha. Setelah berdoa untuknya, aku terdiam mengingat masa lalu kami yang mengesankan.
“Icha, aku janji, aku nggak akan sedih lagi. Aku akan berusaha menjalani jalan hidupku dengan senyuman walaupun tanpa kamu. Aku yakin, walaupun kamu udah nggak ada di sisiku, tapi kamu tetap hidup di hatiku.”ucapku.
Kemudian aku berjalan meninggalkan tanah kuburan yang masih basah itu. Aku bertemu dengan Icha karena takdir Allah dan kini aku berpisah dengannya juga karena takdir Allah.
~TAMAT~
06 Oktober 2009 – 21.38 WIB

Tak ada cinta yang lebih indah

Sang surya perlahan masuk ke peraduannya. Burung terbang melayang menuju cakrawala. Langit senja elok menghiasi lukisan Tuhan yang teramat indah ini. Warnanya orange semburat merah. Subhanallah. Gunung Merapi dan Gunung Merbabu bersanding mesra di ufuk barat. Sawah yang mulai menguning membentang luas seperti karpet yang digelar Tuhan dengan segala berkah dariNya. Sungai jernih yang membelah persawahan memantulkan warna sang surya yang mulai tenggelam. Angin menari-nari di antara pepohonan. Subhanallah. Tak ada cinta yang lebih indah daripada cinta Allah pada umatNya.
Sebuah gubug reot yang di depannya terdapat kolam ikan kecil, taman dengan berbagai bunga berwarna-warni, sungai kecil nan jernih di samping gubug, pancuran air yang suaranya menentramkan jiwa, dan sebuah jembatan bambu kecil yang menghubungkan gubug itu dengan dunia luar, berdiri tegak di depan lukisan Tuhan itu. Di teras gubug reot yang mungil dan sederhana, duduklah seorang bidadari cantik yang muram hatinya. Keasrian gubug yang menentramkan hati itu, ternyata tidak mempengaruhi suasana hati gadis itu. Pipinya yang putih perlahan basah oleh air mata. Hatinya tak kunjung tenang. Padahal niatnya datang ke tempat yang sangat indah itu adalah untuk menenangkan diri. Gadis itu memandang lukisan Tuhan itu dari gubugnya. Hampir tiap hari ia melihatnya. Tapi ternyata lukisan indah ini tak juga dapat membuatnya tenang.
Air matanya mengalir membentuk aliran sungai yang jernih di wajahnya yang ayu. Dia tetap dalam lamunannya. Dia tidak mempedulikan bahwa matahari tenggelam hari ini sebenarnya jauh lebih indah di antara senja-senja sebelumnya. Dia masih setia dengan lamunannya. Dia tak peduli lagi pada angin yang memainkan jilbabnya. Air matanya terus mengalir. Hampir tiap sore dia duduk memandangi lukisan Tuhan yang teramat indah. Tapi walaupun begitu, hatinya tak pernah tenang.
Sebenarnya gadis itu tak patut untuk menangis. Gadis itu hidupnya sudah sangat sempurna. Hidup di antara kedua orang tua dan seorang nenek yang baik. Hidupnya berkecukupan, malah terkadang berlebihan. Menjadi salah satu dari deretan nama mahasiswa terbaik di fakultas psikologi di salah satu universitas terbaik dan terkenal di negeri ini yang terletak di Jogjakarta itu. Dua minggu lagi, dia akan melangsungkan pendadarannya (tes final yang berupa presentasi dari skripsi). Untuk itu, dia datang ke sini. Di rumah neneknya. Yang tenang. Yang masih alami. Belum ada listrik. Tujuannya agar dia dapat menenangkan pikiran dan hatinya. tapi dia tak kunjung tenang.
Dia terdiam. Mematung. Meratapi sesuatu. ingatannya kembali ke masa lalunya. Tepatnya, ingatannya saat dia masih duduk di salah satu bangku di SMA negeri terbaik di kota Solo. Ya, ingatannya 4 tahun lalu.

Masa remajanya memang bisa dikatakan tidak menyenangkan. Masa yang paling indahnya hanya diisi dengan belajar. Aktivitasnya monoton. Sekolah, Belajar, Les. Tiap hari selalu seperti itu. Tapi kadang dia juga ikut rapat PMR, karena dia adalah salah satu anggota PMR di sekolahnya.
Tapi perlahan, masa remajanya berubah menjadi lebih berwarna ketika dia bertemu dengan Aji. Wakil Ketua PMR. Icha dipertemukan dengan Aji ketika tergabung dalam kepanitiaan diklat PMR.
Awalnya Icha memang tidak pernah mempedulikan Aji. Tapi Aji yang berkepribadian menarik dan berkharisma dapat menarik hati Icha. Perlahan getaran indah mulai muncul di hatinya saat dia berpapasan atau berbicara pada Aji. Aji juga bersikap sangat baik padanya. Dia juga perhatian pada Icha. Semenjak rapat koordinasi pertama, mereka kerap mengobrol dan bercanda bersama.
Dalam suatu rapat diklat, Aji duduk memimpin forum berbentuk lingkaran itu. Kebetulan Icha duduk berhadapan dengannya. Jantung Icha berdetak kencang. Dia sulit menguasai dirinya. Akhirnya dia memilih untuk diam dan menunduk. Sambil sesekali melirik Aji. Saat dia melirik Aji, Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Aji tersenyum pada Icha. Manis sekali. Icha membalas senyuman itu dengan malu. Tuhan, kenapa aku jadi seperti ini? Aku nggak boleh kayak begini, batin Icha.
Icha tak pernah tahu bahwa sebenarnya Aji juga mengalami hal yang sama. Saat memimpin rapat, dia diharuskan duduk berhadapaan dengan gadis yang ada di hatinya. Sesekali dia juga mencuri pandangan pada Icha. Saat itulah pandangan mereka bertemu. Dia tersenyum manis dengan harapan agar Icha dapat membaca arti senyumannya. Icha membalas senyumannya itu dengan manis. Tuhan, marahkah Engkau jika aku mencintai gadis yang ada di depanku ini? Tuhan, jagalah hati ini. Doa Aji.

Aji dan Icha mewarnai hari-hari mereka dengan ngobrol dan bercanda bersama. Keduanya tak pernah mengetahui bahwa sebenarnya mereka saling menyayangi. Tapi semua itu berubah saat Aji berusaha jujur dengan hatinya sendiri. Dia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa dia mencintai Icha atas dasar cintanya kepada Allah.
Suatu sore, setelah rapat diklat selesai, Aji mengajak Icha membicarakan obrolan yng mereka gemari. Buku. Obrolan mereka kembali terjadi dengan asyik. Walaupun mereka kerap membicarakan hal tersebut, tapi mereka tak pernah bosan membahasnya.
“Cha, aku boleh ngomong sesuatu ya.” Tanya Aji pelan. Wajahnya was-was. Gugup.
“Ngomong apa?” jawab Icha dengan heran. Tak biasanya Aji segugup itu. Icha ikut was-was. Ada yang aneh dari Aji. jangan-jangan……
“Um…… Icha, boleh nggak aku sayang kamu?”
Icha kaget. Dia sedikit kurang percaya dengan apa yang dikatakan Aji. Tapi dia senang sekali dengan apa yang dikatakan oleh Aji. “Um…… sayang sebagai apa?”
“Sayang sebagai orang yang istimewa di hatiku.” Icha tersenyum dalam hati. Hatinya sungguh tak dapat dilukiskan. “Aku sayang sama kamu, Cha.”
Icha hanya terdiam. “Maaf, Ji…”
“Ya udah, nggak apa-apa kok, Cha.” Aji memotong. Wajahnya berubah menjadi sedih. Hatinya remuk. “Aku pamit pulang ya, Cha. Makasih atas jawabannya.” Aji bangkit dan berjalan menjauh.
Icha hanya menatap kepergiannya. Dia ikut bangkit dan mengejarnya. “Aji !! kok aku ditinggal sendiri sih? Aku kan belum selesai ngomong.” Icha berdiri di hadapannya. “Aji, kok kamu ninggalin aku sendirian sih? Kamu jahat!”
“Jahat kenapa, Cha?” Tanya Aji dengan wajah malas.
“Kamu jahat! Ninggalin aku sendirian! Potong omonganku tadi. Aku kan belum selesai ngomong. Kamu juga jahat! Nggak mau denger pengakuan terbesar dalam hidupku!” jawab Icha dengan tersenyum.
“Maaf, Cha. Hatiku lagi nggak bisa diatur. Pengakuan apa?”
“Itu akibatnya kalo kamu potong omonganku! Pengakuan mengenai hatiku.”
“Maksudnya?” aji masih belum mengerti.
“Aji, maafin aku. Aku juga nggak bisa ngebohongin hatiku sendiri.” Icha hanya tersenyum manis. “Kalo sebenarnya aku juga sayang kamu.”
Aji kaget tapi juga senang. Tak mempercayainya. “Bener, Cha?” Icha hanya tersenyum. Wajah Aji yang muram berubah menjadi cerah. “Makasih ya, Cha. Aku nggak nyangka kamu juga rasain yang sama kayak aku.” Icha kembali tersenyum. “Aku lega banget.”
“Makanya, kalo ada orang ngomong, dengerin sampai selesai.” Icha tersenyum dengan manis.
“Iya, Cha. Maafin ya. Tapi makasih banget ya.” Aji tersenyum manis. “Cha, udah sore, pulang yuk!” Icha mengganggukan kepala. Mereka berjalan keluar sekolah bersama.

Semenjak hari itu, hari-hari Icha mulai diwarnai dengan warna-warni cerah yang indah. Kini, dia juga dapat merasakan yang dimaksud masa remaja sebagai masa yang paling indah. Semenjak hari itu pula, mereka semakin akrab. Tapi tanpa status. Karena pada hari itu, Aji tidak pernah mengajak Icha berpacaran. Walaupun begitu, mereka selalu bersama. Layaknya sepasang kekasih.
Tapi hari-hari indah mereka harus berubah menjadi hari-hari yang kosong dan sepi saat Aji berkeputusan untuk menganggap Icha hanya sebagai sahabatnya. Dia tak ingin konsentrasi belajar Icha terganggu karena kedekatan mereka. Kejadian itu terjadi tepat setahun setelah Aji mengutarakan isi hatinya.
“Cha, maafin aku. Mungkin ini saatnya kita untuk memendam rasa sayang kita. Atau bahkan sebaiknya dilupakan aja.” Ucap Aji. Wajah Icha yang cerah berubah. Dia shock. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Aji.
“Kok gitu, Ji?” Tanya Icha. Matanya panas. Wajahnya juga panas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku nggak ingin konsentrasi belajar kamu jadi terganggu karena kedekatan kita ini. Sebentar lagi kan kita akan menghadapi ujian nasional. Ini yang nentuin masa depan kita selanjutnya. Lagipula, agama melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk memiliki hubungan di luar pernikahan. Maafin aku, Cha.” Jelas Aji.
“Tapi kenapa kamu baru bilang ini sekarang? Saat rasa sayangku ke kamu sudah begitu besar?” Tanya Icha.
“Maaf, Cha. Aku baru sadar, bahwa hubungan kita ini nggak boleh. Aku nggak mau, rasa sayangmu ke aku jadi melebihi cintamu pada Allah.”
“Kamu jahat, Ji. Kenapa kamu baru bilang sekarang. Tau kayak gitu, kita nggak usah mulai semua ini.” Icha menangis mendengar ucapan Aji tentang hubungan mereka yang sebenarnya dilarang agama itu.
“Maaf, Cha.” Aji terdiam. Hanya kata itu yang dapat dia ucapkan. “Tapi kamu mau terima semua ini kan?”
“Aku terima semua ini dengan ikhlas karena Allah. Aku yakin, Allah udah mengatur jodoh umatNya. Kalo emang Allah menjodohkan kita, kita pasti akan bersatu lagi. Aku yakin itu, Ji.” Ucap Icha dengan ikhlas. Aji cukup terkejut mendengar ucapan Icha yang begitu dewasa. Tapi dia lega.
“Alhamdulillah. Makasih, Cha. Aku emang nggak salah milih kamu buat ngisi sedikit tempat di hatiku yang selama ini hanya akan aku berikan pada seorang gadis yang berkepribadian baik, tegar dan sholehah.” Aji tersenyum. Icha hanya terdiam mendengar ucapan Aji. ucapan itu harusnya dapat menentramkan hatinya. walaupun begitu, ucapan itu tak akan pernah ia lupakan. Karena baginya ucapan itu adalah sebuah janji. “Cha, aku mau, kamu raih cita-cita kamu sebagai psikolog. Aku tau kamu sangat menginginkan impianmu itu.”
“Aku juga mau, kamu meraih cita-cita kamu sebagai dokter.” Ucap Icha. Ucapan Icha tersebut, ditanamkan dalam-dalam di hati Aji. karena baginya itu adalah sebuah suntikan semangat untuk meraih cita-citanya.
“Icha, aku janji. Saat kita sudah sama-sama mapan, yaitu saat aku udah jadi arsitek dan kamu udah jadi psikolog, aku akan kembali padamu. Dan saat itulah, aku ingin mengajak kamu untuk mencintai Allah bersama-sama dalam suatu ikatan pernikahan. Kamu mau nunggu aku kan?” ucap Aji. Icha hanya mengangguk.
“Aku akan tunggu kamu. Ingat, Ji. Janji adalah hutang. Dan janji kamu ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.” Ucap Icha mengingatkan. Icha tersenyum. Senyum yang penuh keikhlasan.
“Makasih, Cha. Aku emang nggak salah pilih kamu.” Aji terdiam. Icha terdiam. Angin menari-nari di antara mereka. Suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menemani mereka di sore itu. Sore yang tak akan pernah Icha lupakan. karena di sore itu, ada seorang lelaki yang berjanji untuk melamarnya saat mereka telah mapan kelak.

Angin sore kembali memainkan jilbabnya. Suara adzan maghrib dari langgar terdekat mulai terdengar. Dia bangkit dari duduknya dan mulai melangkah ke pancuran air. Mengambil air wudhu. Air pegunungan yang dingin mulai menyentuh kulitnya. Air dingin itu siap meruntuhkan dosa-dosanya dalam tetesan terakhirnya. Tak lama, gadis itu masuk ke dalam gubug dan melaksanakan ibadah wajibnya. Neneknya menyusul di sampingnya untuk melaksanakan ibadah secara berjamaah.
Ketika shalatnya selesai, dia berdoa dan meminta pada Allah agar Dia memberinya ketenangan hati. Memberinya kejelasan akan janji Aji padanya empat tahun silam. Icha juga meminta agar Allah memberinya kejernihan otak saat pendadaran dua minggu lagi.
Ba’da shalat maghrib, Icha kembali duduk di beranda gubug itu. Dia memandangi bintang yang berkelap-kelip di langit malam ini. Walaupun matanya memandang bintang, tapi pikirannya melayang kembali ke masa remajanya. Dia kembali mengingat harapan Aji padanya. Dia kembali mengingat janji Aji padanya. Hal itulah yang selama ini membuat dia semangat. Dia menyadari cintanya pada Aji tak hanya cinta monyet belaka. Tapi sebuah cinta yang dilandaskan dengan cinta karena Allah. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari pada cinta yang didasarkan karena Allah. Dan dia juga yakin, bahwa Aji mencintainya juga karena Allah.
Dia menghirup udara malam ini dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Aku akan raih cita-citaku. Aku bisa lalui tes final ini dengan baik. Aku harus tenang. Aku bisa. Aku bisa. Batinnya. Dia membuka matanya. Tersenyum manis. Senyum yang jarang terlihat semenjak kejadian itu.

Seorang lelaki memasuki sebuah rumah mewah di kawasan elite di kota Solo. Badannya tegap. Berkharisma. Dia menekan tombol bel rumah tersebut. Tak lama, rumah itu dibukakan oleh seorang wanita paruh baya berpakaian abaya yang cantik dengan jilbab putihnya.
“Assalamu’alaikum, umi. Umi, masih inget sama saya?” sapa lelaki itu. Wanita paruh baya itu berpikir.
“Wa’alaikumsalam. Siapa ya?” umi berusaha mengingat. Tapi tak lama, umi tersenyum. Umi ingat. “Pasti kamu Aji kan? Umi nggak mungkin lupa sama kamu. Gimana kabarnya sekarang? Aji udah lama banget nggak ke sini. Ayo masuk dulu!” Umi mengajak Aji masuk ke dalam rumah.
“Alhamdulillah, Aji baik-baik aja kok, Mi. Maaf, Mi. Aji nggak pernah silaturahmi ke sini. Kan Aji kuliah di Bandung, Mi. itupun juga jarang pulang, Mi.” jawab Aji.
“O iya, umi baru ingat, Aji kan kuliah di ITB ya. Jurusan apa sih? Um… biar Umi tebak! Dulu, Icha pernah cerita kalo kamu pengin jadi ... Apa ya? Umi lupa! Tapi Umi inget fakultasnya! Pasti tehnik lingkungan ya?”
“Wah, umi bener banget!” Aji malah mengajak umi bercanda dan ngobrol sampai lupa tujuannya ke rumah itu. Setelah setengah jam, Aji baru sadar. “Masya Allah, Mi. Aji jadi lupa. Tadi Aji ke sini niatnya mau nyari Icha. Icha di mana, Mi? kabar Icha gimana, Mi?”
“Icha lagi nggak di Solo. Dia lagi ada di rumah nenek di lereng Merapi sana. Sebaiknya Aji jangan nyusul Icha ke sana. Kasihan Icha. Setelah kamu ngebuat keputusan saat itu, Icha jadi pemurung. Tapi walaupun gitu, Icha jadi mahasiswa terbaik di fakultasnya. Icha ke sana buat tenangin diri. Sebentar lagi, dia akan pendadaran untuk kelulusannya. Kalo Aji pengin ketemu sama Icha, datang aja ke acara wisudanya sebulan lagi. Di salah satu gedung pertemuan di Jogja.” Jelas Umi, ibu Icha. Beliau memang ramah pada semua orang. Dan beliau memang menyuruh semua teman Icha memanggilnya Umi. Sama seperti Icha memanggil ibunya. Supaya akrab.
“Ouw… gitu, Mi. ya udah, makasih ya, Mi. Aji pulang dulu.” Aji bangkit dan berjalan menuju pintu. “Umi, Aji pulang ya. Assalamu’alaikum.”
“Aji, kamu perlu tau, Icha nggak pernah sekalipun ngelupain kamu. Ati-ati ya. Wa’alaikumsalam.” Ucap Umi. Aji tersenyum pada Umi. Kemudian berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Umi tersenyum melihat Aji. Sebentar lagi akan ada kebahagiaan dan cinta yang akan mewarnai rumah mewah itu. Sebentar lagi putri tercintanya yang selalu muram, akan kembali ceria seperti dulu lagi.

Aji keluar dari sebuah perusahaan terkenal di Solo. Dia keluar membawa sebuah map berisi berkas-berkasnya. Dia tersenyum melihat kantor itu. Minggu depan dia akan mulai duduk di salah satu kursi di kantor itu itu.

Seorang gadis mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya yang ayu dihiasi dengan make up tipis yang menambah kecantikannya yang tak hanya terpancar dari luar, tapi kecantikan hatinya juga terpancar dari wajahnya. Baju kebaya warna kuning gading yang dipadukan dengan jilbab warna senada menambah kecantikannya. Kebahagiaan meliputi hatinya. Di sampingnya tergantung baju toga hitam. Hari ini dia akan melangsungkan wisudanya. Umi memasuki kamar gadis itu. Umi tersenyum melihat anak gadis sematawayangnya yang akan diwisuda.
“Udah siap buat wisuda?” Tanya Umi. Icha tersenyum. “Umi Bantu pakein baju toganya ya.” Umi meraih baju toga itu dan memakaikannya pada Icha.
“Siap, Mi.” jawab Icha mantap sambil memakai baju toga. Tak lama, baju toga telah mendarat dengan indah di tubuhnya. “Ayo, Mi.” Icha meraih tasnya dan mengajak Umi keluar kamar.
Sepanjang jalan ke Jogja, hari Icha berdetak kencang. Hari ini dia akan diwisuda sebagai sarjana psikologi. Selanjutnya akan mengambil keprofesian setahun untuk menjadi psikolog. Lalu membuka praktek sendiri. Tapi tiba-tiba dia kembali teringat. Dengan siapa di akan melalui semua itu? Icha tak pernah tau.

Kebahagiaan Icha hari ini hampir sempurna. Dia tak hanya diwisuda. Tapi dia juga dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik. Dan lulus dengan predikat cumlaude. Hatinya sangat bahagia ketika dia berjalan menuju panggung untuk menerima penghargaan. Keluarganya sangat bangga padanya. Juga Seorang lelaki yang ada di belakang deretan kursi tamu. Kebanggaan meliputi hatinya.
Setelah acara formal berakhir, Icha dan keluarganya keluar gedung lalu berfoto bersama. Icha juga berfoto bersama teman-teman seperjuangannya. Senyum manis mewarnai wajah-wajah sarjana psikologi yang baru diwisuda itu. Saat asyik berfoto, tiba-tiba ada yang memanggil Icha.
“Assalamu’alaikum, Icha.” Sapa lelaki yang ada di belakang deretan kursi tamu tadi. Icha menoleh. Wajah cerianya berubah menjadi wajah terkejut. “Gimana kabarnya, Cha?” icha masih terdiam.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri gimana?” ucap Icha dengan terbata-bata. Masih belum percaya dengan kehadirannya.
“Alhamdulillah aku juga baik. Selamat ya, atas keberhasilan kamu. Aku ikut bangga.” Ucap lelaki itu.
“Syukran. Kamu sendiri gimana? Pasti udah lulus dari ITB kan? Pasti juga cumlaude deh!” Tanya Icha yang mulai menguasai suasana.
“Alhamdulillah, aku udah lulus. Dan alhamdulillah, aku juga cumlaude. Dan aku bisa sukses juga karena dorongan semangat yang begitu besar setiap mengingat masa lalu kita. Tentang janji kita. Tentang harapan kamu. Itu menjadi sebuah energi yang mendorongku hingga aku bisa berhasil. Makasih, Cha.” Jawab Aji. Icha hanya tersenyum. Dia menatap mata Aji. tapi tak lama menunduk. “Cha, aku kesini untuk membayar janjiku. Aku kesini untuk kembali menawarkan padamu segenggam cinta yang didasarkan oleh cinta karena Allah. Aku akan menepati janjiku. Icha, maukah kamu menghabiskan hidupmu untuk beribadah pada Allah bersamaku?”
Icha terdiam. Dia tak menyangka akan mendapat banyak kejutan pada hari ini. “Lebih baik, kamu bilang sama Abi dulu.” Aji beralih mencari Abi, ayah Icha. Ternyata Abi ada di belakang Aji.
“Abi, gimana kabarnya?” sapa Aji. Abi tersenyum.
“Alhamdulillah, Abi baik kok, Ji. Kamu sendiri? Kejutan banget lho, kamu bisa di sini sekarang.” Kata Abi.
“Aji juga baik kok, Bi. Aji ke sini ada niat kok, Bi. Aji ingin melamar Icha buat jadi pendamping hidup Aji. boleh, Bi?” Tanya Aji to the point.
“Kamu udah kerja?” Tanya Abi.
“Udah, Bi. Kebetulan dua minggu yang lalu, Aji diterima kerja sebagai salah satu ahli lingkungan di salah satu perusahaan di Solo.” Jawab Aji.
“Bagus kalo begitu. Abi sudah kenal kamu dari dulu. Kamu lelaki yang sholeh. Kalo Abi sih, seneng banget kalo kamu jadi mantunya Abi. Sekarang keputusannya sama Icha. Gimana, Cha?” Tanya Abi pada Icha. Aji membalikan badannya.
“Gimana, Cha? Abi sama Umi udah kasih tiket untuk masuk ke keluargamu. Sekarang keputusan ada di kamu.” Ucap Aji pada Icha.
Icha terdiam. Dalam hati, ia tersenyum. Kebahagiaan meliputi hatinya. “Maaf, Ji…”
“Ya udah. Makasih, Cha. Nggak apa-apa kok. Yang penting aku udah nepati janjiku.” Ucap Aji lagi-lagi memotong ucapan Icha. Wajah Aji berubah sedih. “Ya udah, Aji pamit dulu. Mari Abi, Umi, Nenek, Cha. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab semuanya. Aji selalu seperti itu.batin Icha. Nggak pernah berubah.
“Aji! kamu itu selalu kayak gitu ya! Sukanya memotong omongan orang! Kamu nggak pernah berubah!” teriak Icha yang membuat Aji berhenti. Icha berjalan menyusul Aji. “Aji, kamu jahat banget! Dulu kamu ninggalin aku! Sekarang kamu mau ninggalin aku lagi? Jahat kamu, Ji! Aku ngomong dipotong. Aku kan belum selesai ngomong. Kamu kenapa sih ninggalin aku tadi?”
“Maaf, Cha. Aku lagi kalut. Aku udah berusaha buat menepati janji, tapi kamu malah nolak aku.” Jawab Aji.
“Itu akibatnya kamu motong omonganku. Aku kan belum selesai ngomong.”
“Emang kamu mau ngomong apa lagi?”
“Aku mau ngomong. Maaf, Ji. Aku nggak bisa ngehancurin harapan keluargaku. Mereka semua berharap pendamping hidupku adalah kamu.” Icha tersenyum. Aji terkejut mendengar ucapan Icha.
“Serius, Cha?” Aji masih kurang percaya. Icha tersenyum. “Alhamdulillah…” Aji tersenyum manis pada Icha. Semua orang tersenyum. Bahagia.

Suasana masjid Fathimah Solo pagi ini begitu syahdu. Aroma kedamaian tercium hingga luar gerbang masjid tersebut. Sebuah acara sacral sedang berlangsung di dalam bangunan megah tersebut. Dari lantai dua masjid tersebut, ada seorang gadis cantik dengan kebaya dan jilbab putih yang ditemani oleh keluarga besarnya. Seorang pengantin perempuan. Wajahnya penuh dengan rona kebahagiaan. Suasana hatinya sungguh tak dapat dilukiskan. Ini yang diharapkannya sejak dulu.
Dilihatnya ke lantai satu. Seorang lelaki muda dengan jas putih sedang menjabat tangan seorang lelaki lainnya yang telah paruh baya. Lelaki muda tersebut sedang mengucapkan kalimat qabul. Lancar. Setelah dia selesai mengucapkan kalimat tersebut, seluruh hadirin yang hadir di pagi ini, mengucapkan rasa syukur pada Allah yang telah memberikan kelancaran untuk acara pagi ini.
Hati gadis itu sungguh bahagia. Kini, dia telah resmi menjadi istri dari Aji. Aji melihat ke lantai dua. Dilihatnya seorang gadis yang sedang menangis bahagia. Dia tersenyum melihat gadis yang baru saja dinikahinya. Icha membalas senyum itu. Kebahagiaan meliputi hati kedua umat Allah yang baru saja mengikat janji suci untuk selalu beribadah bersama kepada Allah. Rasa cinta yang begitu besar meliputi hati keduanya. Lega rasanya ketika mereka sama-sama menyadari bahwa mereka telah menjadi mahram.
Halaman masjid Fathimah tampak ramai dengan para tamu undangan. Kebahagiaan yang tak lagi dapat terlukis meliputi suasana ruang terbuka tersebut. Di salah satu sudut halaman, terdapat sebuah pelaminan yang cantik. Di sanalah, Aji dan Icha berdiri untuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Saat semuanya sedang asyik dengan makanan yang disajikan, Aji dan Icha terdiam. Mereka masih belum mempercayai dengan yang terjadi.
“Aji, aku nggak lagi mimpi kan?” tanya Icha.
“Nggak kok, Cha.” jawab Aji. “Cha, aku cinta kamu. Aku sangat bersyukur sama Allah yang telah memberikan kita anugerah yang begitu indah ini.” Aji meraih tangan Icha dan mengenggamnya erat. “Mulai sekarang dan selamanya, aku akan selalu menggenggam tangan kamu. Aku janji, Cha, aku akan jadi imam yang baik untuk kamu dan anak kita nantinya.”
“Aku percaya kamu.” ucap Icha. Aji menatap Icha lekat-lekat. Menatap bidadari cantik yang kini telah dimilikinya. Aji mencium dahi Icha dengan lembut. Sebuah kecupan pertama yang hangat. Yang tak akan pernah terlupakan.
Aji begitu mencintai Icha karena Allah. Karena Allah sendiri yang telah menjodohkan mereka. Aji sangat bersyukur. Begitu juga dengan Icha. Usaha mereka untuk terus menjaga hati masing-masing telah berbuah manis. Akhirnya Allah sendiri yang menyatukan mereka. Dulu ketika mereka masih remaja, mereka berusaha mengenal pribadi masing-masing. Lalu Allah menguji cinta mereka dengan memisahkan keduanya. Saat itulah mereka saling menjaga hati. Dan saat ujian itu hampir berakhir, mereka berhasil melalui semuanya dengan lancar. Dan kini, Allah benar-benarnya menyatukan mereka. Kesabaran memang selalu berbuah manis. Manis sekali. Dan kini, cinta mereka telah cukup kuat untuk kembali diuji. Mereka sadar, ini bukan akhir ujian, tapi ini adalah awal ujian yang berat berikutnya.

Kebahagiaan akan selalu meliputi umat Allah yang selalu beribadah dan taat padaNya. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta umat kepada Allah. Karena hanya Allah yang patut dicintai lebih dari apapun. Hanya Dia yang patut untuk disembah. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta antara umat Allah yang selalu betaqwa pada Allah. Dari mu’adz, Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagunganKu, baginya adalah mimbar (tempat duduk yang terbuat dari cahaya), sehingga para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.’”1. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta yang didasarkan pada cinta karena Allah. Rasulullah saw bersabda, “Seseorang akan merasakan kelezatan iman apabila lebih mencintai Allah da Rasul-rasulNya serta mencintai seseorang karena Allah dan tak mau kembali pada kekafiran.”2 Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta seorang lelaki dan seorang perempuan yang saling mencintai karena Allah. Tak ada cinta yang lebih indah dari cinta umat Allah yang meyakini bahwa Allah kan memberikan jodoh yang baik untuknya. Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah telah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”3. Tak ada cinta yang lebih indah bagi Aji dan Icha dari cinta mereka yang akan abadi selama cinta mereka pada Allah terus bercahaya. Tak ada cinta yang lebih indah dari cinta yang didasarkan cinta pada Allah.

~Selesai~
21-22 desember 2008 22.10 WIB


1.HR Tirmidzi
2.HR Bukhari Muslim
3.QS. Ar-Rum :21

satu album hidup di masa remajaku.....

Surakarta, Juni 2009

Untuk lelaki yang sangat aku sayangi, BSR

Bismillahirahmanirahim.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Aku nggak tau harus mulai ini dari mana. Aku cuma ingin kamu mengetahui apa isi hatiku. Aku hanya ingin kamu mengetahui perasaanku padamu.
Semenjak awal kelas sepuluh dulu, aku nggak pernah menyangka bahwa aku akan memiliki hubungan yang sedekat ini dengan kamu. Waktu aku liat kamu, aku hanya melihat kamu sebagai anak cowok yang pendiem, rajin, dan pinter. Aku nggak pernah tau apa yang akan terjadi selanjutnya saat itu. Dan aku pun tak menyangka kita bisa sedekat ini sekarang.
Kehidupan selalu berlanjut. Saat Ms. K kasih tugas drama, kita sekelompok kan? Can you remember it? Dan aku masih ingat, ARC dan NAFN sengaja menjodohkan kita dalam drama itu. Aku jadi Cinderella dan kamu jadi Prince Adam. Semenjak itu, kita sering latihan drama bareng. Ada adegan kamu harus memegang tanganku. Inget nggak, aku sempet nggak mau? Tapi akhirnya, karena keseringan latihan, aku udah terbiasa dengan itu.
Semenjak itu, nggak tau kenapa, aku ngerasain hal yang aneh di dalam hatiku. Mungkin itu yang bisa dibilang, aku mulai suka sama kamu. Aku makin nggak ngerti sama perasaan ini. Aku pernah berjanji pada diriku sendiri untuk tak lagi memikirkan yang namanya cowok. Tapi saat perasaan itu hadir, aku nggak bisa mencegahnya. Aku nggak bisa menghindari perasaan ini. Saat itu, aku tak pernah berharap kamu juga membalas perasaanku. Tapi harapan itu mulai tumbuh saat tanpa sengaja aku melihat kamu sedang melihat aku. Aku nggak ngerti dengan arti tatapan mata itu. Tapi aku dapat merasakan ada keanehan dan ada yang berbeda dari tatapan itu.
Saat itu, aku memilih mengubur perasaanku ke kamu karena NAFN (satu-satunya orang yang tau perasaanku ini saat itu) bilang kalo mungkin kamu masih menyukai mantan kamu, NV. Saat itu, aku nggak bisa menggambarkan perasaanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menganggap kamu sebagai temanku, sama seperti yang lain. Tapi bukan ketenanganku yang dulu sempat hilang yang datang. Bukan perasaan sayang sebagai teman yang ada. Tapi perasaan itu malah semakin memenuhi hatiku. Aku semakin sayang sama kamu.
Setelah AEP tau ini semua, dia berusaha comblangin aku sama kamu. Inget nggak waktu kita mau ke gramed sama AEP, PS dan NAFN? AEP sengaja nyuruh aku buat gonceng kamu. Sebenarnya aku nggak mau. Tapi dia maksa. Waktu itu aku bingung harus buat alesan apa sama kamu. Percaya apa nggak, itu pertama kalinya aku digoncengin sama cowok yang bukan siapa-siapaku.
Sampai akhirnya tanggal 18 Desember 2007 jam 18.55.16, kamu mengatakan hal yang selama ini aku harapkan. Kamu bilang, “Boleh nggak, aku sayang kamu?” Kamu tau perasaanku saat itu? Saking bahagianya, aku sampai nggak bisa melukiskannya. Yang pasti, aku bahagiaaa… banget. Masa itu adalah saat terindah yang pernah aku alami selama masa remajaku. Kejadian itu nggak akan pernah aku lupain selamanya. Walaupun kelak Allah akan mengambil ingatan ini. Karena ini adalah bagian dari sejarah hidupku.
Hari-hari setelah kejadian itu, kita lewati dengan penuh kebahagiaan. Penuh dengan senyum. Penuh dengan tawa. Kebahagiaan meliputi hati kita. Aku masih ingat betul rasanya seperti apa. Aku juga masih ingat dengan senyummu sehari setelah hari itu. Senyum yang tulus. Senyum yang penuh kebahagiaan. Senyum yang penuh dengan kasih sayang. Yang aku rasakan saat itu adalah Allah telah mengirimkan seseorang yang benar-benar mencintai aku dengan tulus dan seseorang yang benar-benar mengerti aku. Saat itu aku hanya berharap, kamu adalah cowok pertama dan terakhir yang pernah mengisi sebagian kecil dari hatiku ini. Aku juga berjanji pada diriku sendiri bahwa apapun yang terjadi, aku akan tetap menjadikanmu satu-satunya cowok yang mengisi bagian hatiku yang masih kosong ini selama masa remajaku.
Tapi belum ada sepuluh hari kita rasakan itu semua, kamu merubah segala senyum, tawa dan bahagia itu menjadi kesedihan untukku. Kamu memutuskan untuk menjadikan hubungan kita ini hanya sebatas sahabat. Saat itu aku hanya dapat menerima semuanya dengan lapang dada. Karena cinta kita memang hanya untuk Allah. Aku sedih. Aku nggak tau harus mengatakannya bagaimana. Aku harus mengalami kejadian yang menyakitkan hati ini untuk kesekian kalinya.
Semenjak itu, aku selalu bertanya, apakah kamu masih sayang aku? Ini salah satu kebodohanku. Yaitu, saat kamu memutuskan kita hanya bersahabat, aku lupa tanya sama kamu tentang hal itu. Sampai akhirnya, tiap hari aku selalu memikirkan itu. Apalagi ditambah dengan sikap kamu yang mulai berubah. Padahal kamu dulu janji nggak akan berubah.
Semenjak saat itu, hubungan kita mulai merenggang. Aku sms, kamu nggak pernah bales. Aku ngomong, kamu nggak pernah peduliin aku. Aku selalu berusaha untuk tetap bersikap biasa. Aku ingin menganggap kamu benar-benar sebagai sahabatku.
Meskipun begitu, masih ada aja kejadian yang membuat aku bahagia. Sedih. Inget nggak waktu kita mau ke Sangiran buat ngerayain ulang tahunmu? Aku sempet nggak mau ikut karena aku nggak bisa bawa motor sendiri dan kamu juga nggak mau goncengin aku. Saat itu hatiku sakit banget. Sampai-sampai aku rela sore-sore ke rumah NAFN buat curhat. Di rumah NAFN, aku nggak bisa nahan diri buat nangis. Sampai akhirnya kamu mau goncengin aku, walaupun sepertinya kamu nggak ikhlas.
Kehidupan terus berlanjut. Inget nggak waktu dulu pradana, kusuma harus ngungsi ke balai desa? Terus inget nggak waktu kita ketemu di pendapa? Saat itu kamu bertanya apa barangku banyak. Sampai akhirnya waktu hampir semua kusuma udah ke balai desa itu, aku cuma diem di pendapa. Aku nunggu kamu. Aku berharap kamu bakal bantu aku buat bawain barangku. Aku masih nunggu kamu. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk membawanya sendirian ke balai desa. SENDIRIAN. Waktu jalan ke balai desa, aku liat, NAFN dibantu sama SEP dan ARC dibantu sama YVA. Aku cuma tersenyum kecut. Hanya mengelus dada. Sabar. Aku bisa sendiri. Sepanjang jalan ke balai desa, aku masih berharap kalo kamu bakal dateng dan bantu aku. Sempet berapa kali Mbak A nawarin diri buat bawain barangku. Tapi aku nolak. Aku masih berharap kamu bakal dateng. Tapi akhirnya aku sampai di balai desa dengan usahaku sendiri. Di sana, aku sedikit kecewa. Aku liat kamu malah udah ngobrol sama temen-temen kusuma lain. Mungkin kamu menilai ini nggak penting atau aku childish. Tapi ini berarti banget buat aku.
Kejadian berikutnya saat kita ngomong berdua di kelas X-xxx dulu. Saat itu sebenernya aku bener-bener pengen nangis. Nggak tau mau nangis apa. Yang pasti dari forum itu, aku jadi tau kalo kamu menjauh dari aku karena kamu nggak mau aku mikirin kamu. Akhirnya saat itu aku lega. Aku bisa tersenyum dengan ikhlas lagi. Tapi satu lagi kebodohanku. Aku nggak tanya sama kamu mengenai perasaanmu sama aku. Apakah masih seperti dulu?
Terus inget nggak waktu aku marah sama temen-temen, terus kalian dateng ke rumahku, terus teriak-teriak kayak orang gila? Itu bener-bener memalukan! Tapi dengan cara itu, aku bisa baikan sama kalian. Bukan itu yang mau aku bahas. Aku bener-bener masih inget, saat itu kamu bilang, “Kalo aku kehilangan kamu, aku seperti kehilangan salah satu dari anggota tubuhku.” Buatku kata-kata itu bener-bener berarti.
Waktu awal kelas XI, kamu mulai sibuk dengan segala aktivitasmu. Terutama PMR dan Pramuka. Juga Rois. Saat itu, kamu mulai kembali menjauh dari aku. Kamu udah nggak pernah punya waktu buat aku. Tiap aku mau curhat sama kamu, aku pasti langsung mikir, BSR lagi sibuk nggak ya? Dia lagi capek nggak ya? Pertanyaan itu mewarnai tiap masalahku. Aku hanya bisa terdiam melihat kesibukanmu. Tapi tak hanya diam, kelenjar air mataku selalu bekerja saat itu.
Aku menyadari bahwa aku bener-bener nggak mau kehilangan kamu, saat aku tau kalo AEP juga mencintai kamu. Aku bener-bener merasa dikhianati sahabat sendiri. Seseorang yang aku percaya malah juga mencintai kamu. Aku sedikit kecewa. Sempat beberapa waktu aku nggak peduli sama dia, intinya aku marah sama dia. Tapi setelah aku pikir lagi, aku nggak pantas marah sama temen sendiri hanya karena seorang cowok.
Saat aku butuh seseorang untuk mencurahkan isi hati dan kamu nggak ada, datanglah EC. Dia yang bantu aku menyelesaikan masalahku. Ada masalah, aku langsung cerita sama dia. Saat bersamanya, aku merasakan ketenangan. Awalnya aku tak menyangka aku akan menyukainya. Tapi karena suatu hal, aku menyadari bahwa itu hanya perasaan sesaat. Bahkan aku ilfil sama dia.
Aku menyadari bahwa aku akan salah besar jika aku menyukai cowok lain. Kenapa? Karena aku merasa udah mendapatkan semua criteria imam yang baik yang aku cari. Dan dia adalah kamu. Apa yang aku cari udah ada di kamu semuanya. Dan walaupun kamu nggak pernah bilang sama aku, aku bisa ngerasain kamu masih menyayangi aku. itulah yang aku pikirkan saat itu.
Tapi kekecewaan itu kembali mewarnai hatiku. Inget nggak, aku sakit waktu semesteran? Badanku bener-bener panas. Kepalaku pusing. Jalanpun aku nggak kuat. Aku minta tolong kamu buat anter aku pulang. Kekecewaan itu hadir saat aku belum selesai ngomong kamu udah ninggalin aku. Dan ternyata kamu nggak mau anter pulang. Kamu malah rapat pengurus harian. Aku kecewa, B. Kamu tau, saat itu aku hampir pingsan. Coba aja aku pingsan saat itu juga! Kamu bener-bener nggak peduli sama aku. Padahal aku cuma minta tolong dianter pulang. Kalo kamu nggak mau, karena aku ini akhwat, kenapa kamu dulu juga goncengin AH waktu Pemantapan PKS?? Dia juga akhwat kan?? Kalo kamu nggak mau anter aku, it’s okay! Tapi kenapa kamu juga goncengin AH?? Goncengin AH aja mau, masa’ anterin aku nggak mau. Setidaknya kamu anter aku sebagai sahabat kamu! Goncengin AH yang sehat wal afiat dan bukan siapa-siapa aja kamu mau! Kenapa anter aku yang sakit, hampir pingsan pula nggak mau?!! Aku bener-bener kecewa. Saat itu aku hanya duduk di kursi deket IA 3. Di situ aku nangis. Bener-bener nangis. Untung saat itu ada MAYF yang dengan suka rela anter aku pulang. Aku udah nggak kuat jalan. Di jalan pulang, aku nangis, Bim. DI TENGAH JALAN. Kamu nggak pernah tau kan??
Karena kejadian itu, aku mulai beranggapan kamu udah bener-bener nggak peduli sama aku. Kamu udah nggak sayang sama aku lagi. Inget nggak, pertama kalinya aku marah sama kamu? Sampai ketemu kamu pun aku nggak sudi?!! Ingat kan? Itu semua karena ini!! Silahkan kamu menganggap aku childish. Tapi itu semua berarti banget buat aku.
Dan akhirnya aku maafin kamu. Dengan alasan, aku nggak mau marah sama kamu lagi. Aku pernah janji sama diriku sendiri, aku nggak akan marah sama kamu. Walaupun kamu bener-bener ngelakuin hal yang bikin aku marah. Tapi kejadian itu udah bener-bener bikin aku kecewa.
Dan ada sedikit kejadian yang buat aku pengen marah di bulan Januari lalu. Aku nggak bisa nyebutinnya. Aku bener-bener kecewa sama kamu. Aku bener-bener kecewa sama semua orang. Dan saat itulah, yang masih setia menemani aku hanyalah MAYF, WI dan YLPP.
Semenjak MAYF anter aku pulang saat itu, aku jadi semakin deket sama dia walaupun sebelumnya emang udah deket. Aku ngerasain lagi apa yang aku rasain sama EC. Saat itu aku bener-bener pengen mempertahankan kamu di hatiku. Aku kembali mengingat kenangan-kenangan kita. Tapi saat itu rasanya susah banget. Karena kamu tau, hati ini sudah penuh dengan kekecewaanku padamu. Kepercayaanku padamu mulai luntur. Kepercayaanku kalo kamu masih menyayangi aku mulai memudar. Aku nggak bisa mempertahankan kamu di hatiku. Hatiku sudah cukup sakit dengan ini semua.
Dan kamu tau, aku sedang ada dalam posisi yang bener-bener nggak enak. Aku dalam dilemma besar. Antara mempertahankan kamu atau melepaskanmu. Kalo aku mempertahankan hati ini untuk kamu, aku akan selalu sakit hati seperti ini. Tapi kalo aku melepaskan kamu, aku nggak yakin bisa mencari seseorang yang sama seperti kamu.
Tapi saat itu, MAYF meyakinkan aku bahwa aku bisa mencari orang lain untuk mengisi hatiku ini. Dan perlahan, entah apa ini, aku merasakan kenyamanan saat bersamanya. Dia selalu ada untukku. Dia yang selalu setia menemani aku. Dia yang bisa buat aku senyum lagi. Aku nggak mau kehilangan dia. Aku nggak mau dia jauh dari aku. Dia yang obati luka di hatiku. Dia yang Bantu aku menghapus semua perasaanku padamu. Aku sadar, aku mulai sayang dia.
Maafkan aku, B. Aku nggak bisa mempertahankan perasaan ini. Aku udah berusaha buat mempertahankan perasaanku ke kamu. Ini semua karena aku nggak tau perasaan kamu ke aku kayak gimana. Masih seperti dulu kah? Aku sama sekali nggak pernah tau. Kamu tau gimana ini semua bisa terjadi?? Ini karena kamu emang nggak pernah mau tau dengan perasaanku! Kamu nggak pernah mau tau rasanya nggak jelas kayak gini. Perasaan yang bener-bener nggak bisa dilukiskan. Aku bener-bener nggak bisa baca hati kamu. Aku bener-bener nggak tau gimana perasaan kamu ke aku. Aku bener-bener nggak tau.
Aku cuma ingin bilang, kalo nantinya kamu mencintai gadis lain, pertahankan dia. Ungkapkan isi hatimu padanya. Jangan sampai dia nggak tau perasaanmu. Karena kamu nggak pernah tau apakah dia juga mencintaimu. Karena mungkin aja dia selalu nunggu kamu bilang perasaanmu ke dia. Kamu nggak akan pernah tau apa yang dia rasa kalo kamu nggak pernah bilang. Adalah untuknya. Beri dia perhatian. Karena seorang perempuan membutuhkan perhatian. Mengertilah dia. karena seorang perempuan ingin dimengerti, apalagi orang yang mengerti dia adalah orang yang ia cintai. Ingat satu hal, B. Seorang perempuan jika mencintai seseorang, dia akan terus mempertahankan lelaki yang ia cintai itu. Apapun cacat lelaki itu. Ia akan menerimanya dengan sepenuh hati. Itulah karakter perempuan Jawa. Nrimo. Walaupun ia disakiti berulang kali, ia akan tetap bertahan dan hanya memendamnya dalam hati. walaupun dia bisa hidup dengan lelaki lain, dia tidak akan bahagia. Karena hatinya hanya untuk lelaki yang ia cintai.
Aku tak ingin gadis itu merasakan apa yang aku rasakan dulu. Karena rasanya sungguh menyakitkan. Aku tak ingin ada gadis lain yang juga merasakan hal yang meyakitkan itu. Aku juga tak ingin hal yang seperti ini terjadi lagi dalam hidupmu.
Aku berjanji, aku tak akan pernah melupakan kisah kita. Karena ini adalah bagian dari album masa remajaku. Bagian dari sejarah hidupku yang singkat. Kamu telah mewarnai sebuah album dalam hidupku dengan bermacam-macam warna. Karena bagiku hidup itu seperti album foto. Saat sebuah album telah sampai di halaman terakhir, maka berakhir pulalah kisah di dalamnya. Dan kala album itu telah tertutup rapat, maka akan terbuka lagi sebuah album lain yang siap diisi dengan foto-foto kehidupan yang baru. Dan diakhir waktu nanti, semua album yang telah tertoreh dengan warna-warni kehidupan, akan terbuka kembali. Untuk mengenang semuanya.
Dan saat itulah, aku akan tersenyum melihat kisah ini. Melihat foto-foto kehidupan yang penuh warna. Dan tangispun juga akan mewarnai saat aku membuka kembali album ini. Bukan tangis kesedihan. Bukan tangis kekecewaan. Tapi tangis kebahagaiaan. saat itulah aku akan bersyukur dengan apapun yang terjadi pada kisah kecil kita yang indah ini. Dan mungkin aku akan membukanya bersama seseorang yang akan selalu setia menemaniku. Seseorang yang akan selalu mencintaiku. Seseorang yang juga akan ku cintai. Dan kita tak pernah tau apa yang akan terjadi. Mungkin aja, orang itu adalah kamu. Wallahu’alam.
Aku yakin, di depan sana telah banyak album yang menungguku untuk mewarnainya dengan warna-warni foto kehidupan yang indah. Aku juga yakin, album-album kehidupanmu juga menunggumu di depan sana. Warnailah album itu dengan keikhlasan dan kebahagiaan.
Ingat satu hal, Allah telah mengatur semua ini dengan rapi. Dan jika Allah memang menyatukan, menjodohkan dan membiarkan kita untuk hidup bersama, aku yakin, kita akan bertemu di tempat yang semestinya. Tempat yang dalam teori sosiologi, 1 + 1 = keluarga. Tempat untuk membina sebuah keluarga bahagia. Tempat yang akan mewarnai album dengan rona kebahagiaan. Tempat untuk beribadah bersama pada Allah. Dan saat itulah, akan terbuka kembali sebuah album yang aku simpan di hatiku. Tapi itu jika Allah meridhoinya.
Aku hanya ingin kamu tau, aku akan selalu menyayangi kamu. Aku nggak mau kamu pergi dari hidupku. Aku mau kamu selalu menemaniku di setiap waktuku sebagai sahabat sejatiku. Sahabat yang akan ku bawa dalam hatiku sampai tubuhku ini menyentuh tanah pemakaman. Aku nggak mau kehilangan kamu. Dan jika ditanya seberapa sayangku sama kamu, aku akan menjawab, aku sayang kamu Cuma seujung kuku. Karena jika kuku itu dipotong dan terus dipotong, maka ia juga akan tumbuh dan terus tumbuh sampai ajal menjemput.
Maafkan aku jika ada kata-kata yang kurang berkenan. Untuk menulis surat ini, aku butuh perenungan yang bener-bener lama. Karena dengan menulis surat ini, sama aja aku mulai melepaskan kamu. Dan sumpah! Ini aku bener-bener serius! Melepaskan kamu bener-bener susah. Susah banget. Untuk mengirim surat ini buat kamu pun sungguh sulit. Karena saat surat ini telah ada di genggamanmu, maka aku akan bener-bener kehilangan orang yang aku cintai. Kadang aku masih belum rela dengan ini, tapi jika aku terus bertahan, aku yang akan semakin sakit. SAKIT. Melepasmu bener-bener menyakitkan. Karena aku harus melepaskan orang yang bener-bener aku cintai. Orang yang bener-bener seorang calon imam yang sempurna yang aku cari selama ini. Orang yang selalu aku harapkan menjadi satu-satunya yang mengisi bagian kecil hati ini untuk selamanya. Lelaki yang sangat aku cintai dengan sepenuh hatiku. Satu-satunya lelaki yang bisa membuat aku mengalah. Lelaki yang bisa buat aku menahan setiap emosiku. Lelaki yang membuat aku dapat merasakan cinta yang penuh warna.
Kekuatan cinta yang membuat aku bertahan selama setahun lebih untuk tetap menjaga cinta ini. Kamu nggak pernah ngerasain yang aku rasain. Bertahan dengan cinta yang tak jelas akan dibawa kemana. Bertahan dengan ketidakjelasan selama setahun lebih. Dan kamu tau, untuk menghibur diri sendiri saat aku bersedih adaah menulis cerpen. Dan kamu tau apa yang aku tulis? Beberapa cerita yang berisi harapanku padamu.

Aku sayang kamu, BSR
Aku mencintaimu... selamanya...
Jazakumullah khoiran katsira…
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…

Dengan buliran air mata,


AMS