Kamis, 15 Juli 2010

~Aku, Dia dan Cinta~

Tiba-tiba aku merasa sangat merindukannya. Aku mendamba ingin mendampinginya. Aku ingin selalu bersamanya. Menikmati setiap perubahan rona wajahnya yang putih. Menikmati aroma buah dari parfum yang ia pakai. Tiba-tiba aku merasa ingin selalu di sisinya. Menemaninya dalam setiap waktunya. Aku ragu dengan kepergianku. Tetapi aku harus tetap pergi. Aku harus mengejar cita-citaku. Aku tersadar, aku tak bisa jauh darinya, aku tak bisa meninggalkannya sendiri. Walaupun aku tahu, dia gadis yang kuat dan tegar. Aku merasa sangat berat untuk meninggalkannya. Ku lihat cincin perak yang melingkar di jari manis tangan kirinya. Aku merasa lebih tenang. Aku tak akan membuatnya menangis lagi karena kepergianku. Aku tak akan membuatnya menangisi aku lagi selamanya.

Saat perpisahan itu tiba, ingin rasanya aku memeluk dan mengecup lembut keningnya. Tapi itu tidak mungkin. Aku belum bisa. Aku hanya menatapnya lekat-lekat. Seakan kami tak akan bertemu lagi selamanya. Matanya yang bening perlahan berkaca-kaca. Air matanya mulai menetes secara perlahan menganak sungai di wajahnya yang manis. Tanganku tergerak untuk menghapus air matanya. Ku lihat wajahnya yang terkejut melihat aku menyentuh wajahnya. Lalu dia berusaha meyakinkanku untuk tetap pergi. Aku kembali menatapnya. Aku tersenyum. Rasanya semangatku untuk menuntut ilmu kembali membara. Aku harus tetap pergi. Aku harus meraih semua impianku, agar aku bisa membahagiakannya. Tuhan, aku menitipkan hatiku padaMu. Jagalah hatiku hingga aku kembali dan mengikatnya dalam ikatan suci. Jaga pula hatinya agar saat aku kembali, dia siap menerima permintaan dari hatiku yang terdalam. Aku mencintainya karena cintaku padaMu.

Mobil yang akan kutumpangi menuju kota di mana aku akan menimba ilmu sudah siap dari tadi. Ku lihat ayah sudah siap di balik kemudi. Beliau sudah memberi tanda agar aku segera berangkat. Kembali aku menatapnya lekat. Aku pamit padanya. Lalu kami bersalaman dan dia mencium tanganku layaknya seorang istri pada suaminya yang akan pergi. Tapi bukan itu hubungan kami. Aku melangkahkan kaki memasuki mobil. Dia juga salam pada Ayahku yang sudah dianggapnya sebagai papanya sendiri. Deru mesin mobil mulai terdengar. Setelah mengucapkan salam, ayah mulai melajukan mobil meninggalkan rumahnya. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum manis padaku. Aku masih bisa melihatnya dari spion kiri mobilku. Dia berusaha tegar melepasku pergi. Setelah melalui tikungan dekat rumahnya, aku mulai mencoret-coret buku agendaku. Aku menulis sebait puisi tentang perasaanku padanya. Terus begitu hingga mobil yang dikendarai ayah menghantam sesuatu yang keras. Tubuhku dengan keras menghantam bagian dashbor mobil yang keras. Aku lupa memakai sabuk pengaman. Kulihat darah mulai mengalir dari kening dan hidungku. Lalu langit terasa gelap. Kepalaku mengalami sakit yang luar biasa. Aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Aku terbangun dengan begitu banyaknya cahaya terang di sekitarku. Aku mengerjap-kerjapkan mataku karena silau. Lalu perlahan mataku mulai menyesuaikan diri. Aku ada di rumah Riri, gadis yang aku cintai. Di depan rumahnya, Riri sedang ngobrol dengan seorang laki-laki. Dia tampak sangat bahagia. Siapa laki-laki itu? Jahat sekali Riri tega mengesampingkan aku. Aku pergi belajar untuk nantinya akan membahagiakan dia, tapi dia malah berdua dengan laki-laki lain. Aku berjalan mendekat. Aku mengucapkan salam, tapi seakan-akan Riri tak mendengarnya. Aku semakin mendekat. Riri tetap tidak menyadari kehadiranku. Aku mengamati laki-laki itu. Rasanya dari postur tubuh dan pakaiannya, aku merasa sangat familiar dengan laki-laki itu. Mungkinkah itu salah satu temanku? Aku semakin mendekat. Lalu aku berdiri tepat di depan mereka berdua. Sepertinya mereka tidak menyadari kehadiranku. Lalu aku melihat laki-laki itu. Aku sangat terkejut. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Di seberang kursi tempat Riri duduk, seorang laki-laki yang mirip aku duduk dengan manis. Gerak-geriknya mirip sekali denganku. Aku marah. Siapa dia? Aku melangkah ke arahnya dan berusaha menarik kerah bajunya. Tapi yang ada, tanganku hampa. Aku tidak bisa meraih apa-apa. Ada apa ini?

Tiba-tiba aku teringat pertemuan kami jauh sebelum perpisahan kami. Ya, ini adalah pertemuan kami waktu itu. Semua terasa seperti mimpi di hadapanku. Aku masih ingat betul saat itu aku berusaha menegaskan hubungan kami kembali.

“Ri, untuk saat ini, aku pengin kita sahabatan aja. Aku belum bisa buat kasih status ke kamu. Aku masih butuh banyak pengalaman. Aku percaya kamu bisa terima kok, Ri.” Ujarku.

Riri terdiam. Lalu dia tersenyum. Senyum manis yang selalu aku sukai. “Iya, nggak apa-apa kok.” Lagi-lagi, dia mengalah untukku. Walaupun aku tahu, sebenarnya ada ketidakrelaan di hatinya. Dia berwajah akuarium. Semua orang bisa tahu apa yang sedang ia rasakan dari wajahnya yang putih. Seperti akuarium yang dari luar bisa kita lihat apa isinya. Dia paling tidak bisa berbohong. Gadis yang sangat baik.

“Kamu yakin, Ri?” Riri kembali tersenyum. “Makasih ya, Ri. Aku nggak salah udah menitipkan hatiku sama Allah buat kamu.”

“Iya.” Lalu rona kabahagiaan itu muncul di wajah kami.

Tubuhku kembali tersedot dalam dimensi waktu. Aku kembali berada di depan rumah Riri. Di teras rumahnya, ada Riri, ‘Aditya’ dan kedua orang tua Riri. Aku berjalan mendekat, tapi mereka tidak menyadari kehadiranku. Aku kembali teringat, sore itu, kami berkumpul di teras rumahnya sambil bercanda kesana kemari. Aku memang sudah dianggap keluarga sendiri oleh keluarga Riri. Begitu pula Riri dalam keluargaku. Aku merasa itulah masa-masa yang membahagiakan bagiku. Berkumpul dengan keluaraga besarnya. Ingin rasanya, suatu saat aku dapat menyatukan keluarga besarku dengan keluarga besar Riri. Pasti akan sangat ramai dan menyenangkan.

Tubuhku melayang-layang lagi. Aku kembali di depan rumah Riri dalam waktu yang berbeda. Aku ingat, sore itu, setelah aku membeli sepasang cincin perak yang cantik dan sederhana dengan grafir namaku dan Riri, aku segera menuju rumah Riri. Aku berniat memberinya kejutan. Entah apa yang ada di pikiranku, tiba-tiba aku sangat ingin memberinya cincin dan aku juga memiliki cincin yang sama dengannya.

“Ri, aku punya hadiah buat kamu.” Ucapku penuh senyum misterius.

“Apaan?” tanyanya penasaran.

“Taraaa…” aku mengeluarkan cincinnya dengan grafir namaku di dalamnya dari balik saku jaketku. Aku sangat menikmati perubahan wajahnya. Dia terlihat sangat senang. Itulah saat-saat yang membahagiakan untukku, saat aku bisa membahagiakannya.

“Ya Allah… Makasih, Dit.” Aku memberikan cincin itu padanya. “Pakein dong!” Riri berusaha mengajakku bercanda. Tapi aku menganggapnya serius. Aku meraih tangan kirinya dan memakaikan cincin itu pada jari manis. Aku bisa melihat rona kebahagiaan terpancar dari matanya.

“Aku juga punya yang sama kayak cincin kamu. Ini!” seruku sambil menunjukkan tangan kiriku. Di jari manisku, melingkar sebuah cincin perak yang memiliki aksen sama dengan grafir nama Riri. Wajahnya semakin terlihat bahagia. Sore itu, kami habiskan untuk ngobrol dan bercanda, seperti biasa.

Tubuhku kembali tersedot dalam kapsul waktu. Aku sudah seperti time traveler. Aku kembali pada saat perpisahan kami. Aku hanya menatapnya saat ia berusaha meyakinkan aku untuk tetap pergi.

“Pergilah. Belajar yang rajin. Jangan kebanyakan main. Jangan terlalu sibuk. Inget, jaga kesehatan. Aku di sini nunggu kamu. Buat aku bangga dengan prestasi kamu. Pergilah. Ayah udah nunggu kamu. Hati-hati di jalan. “ ucapnya. Ku lihat ayah mulai memberi kode untukku. “Papa sama Bunda lagi pergi, ada acara di kantor. Nanti aku sampaikan salammu untuk mereka. Aku nunggu kamu di sini.” Aku hanya bisa menatapnya.

“Aku pergi ya.” Ucapnya. Lalu kami bersalaman dan dia mencium tanganku. Tanda hormatnya padaku. Lalu aku melangkah memasuki mobil. Aku kembali menatapnya dari dalam mobil.

“Hati-hati ya, Oom.” Ucapnya sambil mencium tangan ayah yang sudah dianggap papanya
sendiri.

“Iya. Assalamu’alaikum.” Balas ayah sambil menyalakan mesin mobil.

“Wa’alaikumsalam.” Lalu mobil kami mulai melaju. Kami melambaikan tangan pada Riri. Riri membalasnya sambil tersenyum.

Tubuhku kembali melayang. Tibalah aku di dalam mobilku sendiri. Aku melihat Aditya sedang menulis berbagai puisi yang mewakili hatinya pada Riri. Aku melihat dan ingat puisi-puisi itu. Karena mereka keluar begitu saja dari otakku.

Saking asyiknya menulis, aku lupa memakai sabuk pengaman. Setelah lima belas menit perjalanan kami, tiba-tiba dari arah berlawanan, sebuah bus melaju dengan kecepatan tinggi berusaha menyalip bus yang ada di depannya. Bus itu melewati marka jalan dan tepat berada di depan mobil kami dengan kecepatan tinggi. Ayah mulai panik. Lalu beliau membanting setirnya dan mengenai tiang reklame yang berdiri tegap dengan tiangnya yang super besar. Tubuhku terhempas ke depan mengenai dashbor dan kaca mobil. Sedangkan tubuh ayah juga terhempas, menyebabkan dadanya mengenai setir mobil. Darah berceceran di mana-mana. Mengalir keluar mobil dari sela-sela pintu.

Aku kembali tersedot dalam ruang waktu. Dan kini, di sinilah aku. Di sebuah ruang inap di rumah sakit. Baunya menembus dan menusuk hidungku. Bau obat-obatan. Aku tak pernah suka. Ruang kamar itu ruang VIP. Sebuah sofa yang nyaman terdapat di salah satu sudutnya. Sebuah televisi LCD 21 inch terpasang manis di salah satu sisi dinding kamar. Sebuah kulkas terletak di sebelah sofa. Di sebelah kulkas terdapat meja buffet. Lalu di sisi lain, terdapat sebuah bed besar. Di atasnya seorang laki-laki tertidur pulas dengan berbagai kabel yang tersambung dengan berbagai alat medis serta sebuah selang yang dihubungkan dengan sebuah botol infuse yang menggantung tinggi. Wajahnya pucat. Terdapat luka di sana sini. Sungguh menyesakkan hatiku melihatnya terbaring tak berdaya di sana. Dan laki-laki itu adalah aku. Di sela-sela jarinya, masih terpasang dengan manis cincin perakku. Ingin sekali aku menangis melihat ini semua.

Tapi tak lama aku baru menyadari, seorang gadis manis tertidur di sofa besar yang nyaman itu sambil memeluk erat buku agendaku yang penuh bercak darah. Rona kelelahan jelas terlihat dari wajahnya yang putih. Begitu juga dengan rona kesedihan yang terpancar. Sedih hatiku melihatnya begini. Bekas-bekas air mata juga nampak di wajahnya itu. Aku sudah berjanji untuk tak akan membuatnya menangis lagi. Tapi aku telah melanggar janjiku sendiri. Aku melangkah dan duduk di sebelahnya. Menungguinya tidur.

Selang lima belas menit, Riri terbangun. Dia duduk di sofa itu menatap bed tempat ragaku tertidur pulas dengan pandangan kosong. Perlahan air matanya menganak sungai di wajahnya yang seperti bidadari. Aku benar-benar tidak tega melihatnya menangis pilu seperti sekarang. Tapi aku tidak bisa apa-apa. Lalu ia membuka buka agendaku. Membaca salah satu puisi itu.

Kau teduhkan jiwaku
Kau telah lengkapi aku
Tiada lagi yang kuinginkan
Hanya kau kekasihku
Cintamu seindah pagi
Menerangi gelisah hati ini
Cintamu telah menangkan ruang hatiku
Semuanya untukmu1

Dia melanjutkan pada halaman selanjutnya. Dia dapat merasakan dalamnya perasaanku.

I’ve tried to go on like I never knew you
I’m awake but my world is half asleep
I pray for this heart to be unbroken
But without you all I’m going to be is incomplete2


Dia membuka halaman berikutnya. Air matanya tak pernah berhenti mengalir. Hatiku
hancur melihatnya menangisiku.

Take me to your place
Where are heart belong together
I will found you
You’re the reason that I breath
I'll come running to you
Feel me with your love forever
Promise you one thing
That I would never let you go
Cause you’re my everything3


Dia masih tetap menangis. Dia kembali membuka halaman selanjutnya. Aku tidak tahan melihatnya menangis begini. Tuhan, tolong aku.

I want someone like you
Someone that I could hold on to
And give my love until the end of time
But forever was just a word
Something I’d only heard about
But now you’re always there for me
When you say forever I believe
Baby your my destiny
You and I were meant to be
With all my heart and soul
I’ll give my love to have and hold
And as far as I can see
You were always meant to be
My destiny4


Lalu ia membuka halaman berikutnya. Kali ini puisi dengan bahasa Indonesia. Pada halaman itu, bercak darah mulai terlihat berwarna coklat tua. Di halaman itulah, terakhir aku menulis saat kecelakaan itu terjadi. Dan halaman itu tetap terbuka saat
kecelakaan terjadi.

Kini akhirnya ku temukan engkau
Sepenggal jiwa yang tersedia bagi diriku sejak dulu
Biarlah ini menjadi yang terakhir
Selamanya bersama bersatu dalam kasih
Terima kasih cinta
Kini ku tak bisa hidup tanpa dirinya
Demikianlah artinya untukku
Keajaiban cinta telah menunjukkan hanyalah kasih
Yang sanggup mempersatukan kita berdua
Sampai ajal memisahkan kita5


Air matanya semakin membanjiri wajahnya. Tak lama, Ia melangkah menuju bed dan duduk di kursi sebelah bed pesakitan itu. Tangannya dengan lembut menyentuh tanganku. Digenggamnya dengan erat. Lalu kepalanya menunduk dan bersandar di tanganku. Aku bisa merasakan betapa hancur hatinya. Aku menangis. Riri menangis. Suasana hening. Hanya terdengar suara tangisnya yang pelan. Air mata perlahan mengalir di wajahku yang pucat di atas bed itu. Aku juga bisa merasakan di kulit tanganku, air hangat mengalir dari wajah Riri. Mengalir melewati cincinku.

Gadis itu menangis pilu di atas tanganku. Tiba-tiba tubuhku kembali tersedot. Aku sudah pasrah mengikuti ke mana arah takdir akan membawaku. Mungkin saja ke akhirat.

Cahaya terang putih membuat mataku silau. Aku mengerjap-kerjapkan mataku berusaha menyesuaikan diri dengan lingkunganku. Di manakah aku? Apa aku sudah sampai di alam barzah? Perlahan mataku mulai dapat melihat dengan jelas. Aku ada di kamar inapku lagi. Bedanya yang pertama kali aku lihat adalah langit-langitnya yang putih. Perlahan aku juga melihat Riri menangis di sampingku. Kepalanya tertunduk. Aku berusaha menggerakkan jemariku agar dia menyadari bahwa aku sudah sadar.

Seketika ia mengangkat kepalanya. Menatapku dengan penuh rasa sayang. Aku tersenyum padanya. Ia kembali menangis. Bukan. Bukan menangis sedih. Tapi menangis bahagia. Tuhan, terima kasih. Lalu ia tersenyum padaku.

“Jangan tinggalin aku lagi.” Ucapnya perlahan. Aku hanya mengangguk. “Aku sayang kamu.” aku tersenyum.

----

Dan kini, di sinilah kami. Di sebuah pantai pasir putih di kawasan Gunung Kidul. Pantai yang indah, namun masih terisolir karena lokasinya yang sangat terpencil. Lokasi ini kami temukan saat kami pergi ke salah satu pantai terkenal yang masih satu kompleks dengan pantai ini. Lokasinya tidak begitu jauh dari resort tempat kami menginap.

Riri duduk di pinggir pantai sambil membawa kamera DSLR-nya. Dia sedang asyik mencari objek yang bagus untuk diabadikan dalam lensa bidiknya. Sesekali ombak menyapu pasir-pasir di sekitarnya. Dia asyik memotret seekor kepiting yang tengah berjalan dengan santai di pasir putih. Dari kejauhan, terlihat beberapa perahu yang sedang berlabuh. Ombaknya sedang bagus. Tidak terlalu besar. Riri tidak menunda waktu untuk memotretnya. Dasar fotografer! Kalau sudah pegang kamera, pasti lupa segalanya. Gerutuku. Tiba-tiba dia mengarahkan lensa bidiknya kepadaku. Dia seperti dapat mendengar omelan dalam hatiku. Jelas sekali aku terkejut dengan tingkahnya yang tiba-tiba itu.

KLIK. Sial! Pasti dia mendapatkan ekspresi anehku tadi. Dia tertawa lepas melihat hasil fotonya. Dasar fotografer! Tahu saja, kapan bisa mendapatkan gambar yang bagus. Tapi aku senang melihatnya tertawa lepas. Aku rela dia memotret wajahku dengan ekspresi apapun, asal itu membuatnya bahagia. Tak lama, ia berdiri.

“Balik ke hotel yuk! Capek! Kulitku juga udah mulai gosong.” Ajaknya. Gosong apanya, dia kan pakai baju panjang dan jilbabnya, lagipula sebelum berangkat sudah pakai sunblock segitu banyak. Dasar perempuan! Batinku. Lalu aku menggelengkan kepalaku maklum. Aku ikut bangkit sembari menggandeng tangannya. Yap, kami sedang berbulan madu.

Setelah aku sembuh dari sakit, aku kembali berangkat menuju kota tempatku menimba ilmu. Kali ini, tak hanya ayah yang mengantar, tapi juga Riri. Dasar, kalau sudah terlalu khawatir, dia memang seperti itu. Setelah empat tahun menyelesaikan kuliah kami, Alhamdulillah kami dianugerahi predikat cumlaude. Dia juga meraih predikat yang sama. Setelah itu kami mulai bekerja. Aku bekerja di sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang industri pengolahan air yang kantor pusatnya ada di New York. Serta menjabat sebagai direktur pelaksana. Dan Riri, dia bekerja di sebuah majalah remaja nomor satu se-Indonesia dan kariernya menanjak dengan pesat karena prestasinya, kini dia menjabat sebagai editor in chief majalah tersebut.

Dan setahun kemudian, aku melamarnya. Dan pernikahan kami diadakan enam bulan setelahnya. Ijab dan qabulnya dilaksanakan di sebuah masjid yang megah namun sederhana di kota kami. Acara sakral ini berlangsung dengan khidmat. Resepsi pernikahan dengan konsep outdoor bertema ‘The Pure and Natural Love’ yang diadakan di salah satu hotel terkenal di kota kami itu berlangsung dengan sangat meriah. Ayah dan Ibu memang bisa dibilang sebagai pengusaha sukses, oleh karenanya banyak kolega yang datang. Begitu pula dengan Papa dan Bunda, keduanya juga merupakan pejabat penting di pemerintahan. Belum lagi teman-teman dan rekan kerja kami. Tak ayal jika pernikahan kami dirayakan hingga dua kali. Pertama, dari pihak Riri, dengan undangan yang kebanyakan berasal dari pejabat-pejabat tinggi. Kedua, dari pihakku, dengan undangan yang kebanyakan adalah rekanan Ayah dan ibu.

Dan, di sinilah kami sekarang. Menikmati indahnya bulan madu. Di sebuah pantai pasir putih dengan resortnya yang menawarkan paket honeymoon.

Dalam hatiku, aku berharap, setelah ini akan ada semakin banyak kebahagian yang tertoreh dalam pernikahan kami. Amin. Karena aku yakin, kami telah dipertemukan oleh takdir yang membawa kami untuk bersama, walaupun kami harus terpisah oleh jarak dan waktu selama kami kuliah. Benar kata orang, dalam suatu hubungan yang terpenting adalah kepercayaan, komunikasi, komitmen dan pengertian. Dengan semua itu, maka tak akan ada pernikahan yang tercerai karena egoisme masing-masing.

Berulang kali aku mengucapkan syukurku pada Allah Yang Maha Kuasa, karena telah memberiku bidadari-Nya yang terbaik untuk menjadi pendamping hidupku untuk selamanya. Insyaallah. Amiin.

Riri, I don’t have to be your first love, but I do want to be your last. Tapi aku tahu, aku adalah cinta pertama dan cinta terakhir untuk istriku. Begitu pula aku. :)

~TAMAT~
13 July 2010
08.30-12.30 WIB

1. Seindah Pagi – Mikha Tambayong
2. Incomplete - Backstreet Boys
3. You’re My Everything – Gleen Fredly
4. Baby You’re My Destiny – Jim Brickman
5. Keajaiban Cinta - Rossa