Minggu, 28 Februari 2010

~Di mana ?~

Tepian sungai Barito di perbatasan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah senja ini terasa begitu indah. Matahari mulai turun ke peraduannya. Sinarnya kuning kemerah-merahan. Hutan-hutan di sekelilingnya mulai berubah gelap. Anak-anak kecil yang sedari tadi asyik bermain air di tepian sungai itu mulai naik dan pulang ke rumah. Air sungai yang membiaskan warna senja dengan sedikit riak dan riuh itu mulai pasang. Suara klotok bergemuruh membahana di mana-mana. Perlahan langit senja yang indah ini mulai berubah menjadi semburat ungu dengan gradasi warnanya yang indah. Sungguh pemandangan candikala yang begitu indah. Mataharipun kini tepat di peraduannya di ufuk barat. Seketika suara adzan maghrib dari segala penjuru kota Banjarmasin bersaut-sautan dengan merdu hingga mengalahkan suara klotok yang berisik. Lampu-lampu di Jembatan Barito yang dikenal sebagai jembatan terpanjang di Indonesia itu mulai dinyalakan. Kini jembatan itu tampak sangat megah dan mempesona di antara rimbunnya hutan Borneo dan kemilau candikala di sungai Barito. Lampu taman hiburan yang berada di kawasan itu juga mulai dinyalakan. Jembatan yang menghubungkan Kalsel dan Kalteng itu mulai sepi dari lalu lalang kendaraan. Kawasan ini memang mulai sepi jika hari beranjak malam.

Dia beranjak dari tempat itu dengan hati yang belum tenang karena dia kembali gagal menemukan yang dia cari selama ini. Lalu dia mulai meninggalkan kawasan itu, melarikan mobilnya dengan kencang di jalanan halus dan beraspal yang menembus hutan Borneo yang lebat dan rawa-rawa di sekelilingnya.

Setelah melewati sebuah jembatan di pinggir kota Banjarmasin, sepi dan ketenangan itu berganti dengan keramaian yang menjadi cirri khas ibukota provinsi di Indonesia. Dia mengemudikan mobilnya menuju sebuah masjid untuk melaksanakan kewajibannya. Dalam ibadahnya, dia berdoa pada Allah SWT, memohon ketenangan hati dari Yang Maha Pemberi. Usai melaksanakan shalatnya, dia kembali melajukan mobilnya melesat menuju pusat kota Banjarmasin dengan santai. Dia kembali mencari yang dicarinya selama ini dalam keramaian kota. Tapi lagi-lagi, dia gagal mendapatkannya. Dia beralih menuju Pelabuhan Trisakti.

Pelabuhan Trisakti petang ini cukup ramai karena beberapa kapal penumpang dan angkut barang dari berbagai pulau lain sedang singgah di sana. Dia turun dari mobilnya dan berjalan menuju dermaga kecil yang ada di sana. Dia terdiam melihat semua aktivitas pelabuhan malam ini. Dia kembali mencari dan terus mencari. Lalu larut dalam pikirannya yang belum tenang. Air matanya kembali membentuk aliran sungai kecil di wajahnya yang kuning langsat. Angin malam berhembus membelai wajahnya. Tak lama, dia beranjak dari tempat itu dengan membawa semua kegundahannya.

Esok harinya……
Dia kini berada di atas klotok -perahu khas Banjar dengan suaranya yang nyaring- yang melaju menuju Pasar Terapung. Dia sedang menemani tantenya berbelanja di pasar yang unik dan sangat terkenal di Indonesia itu. Dalam hiruk pikuk aktivitas jual beli di pasar itu, dia kembali mencari yang dia inginkan. Tapi untuk kesekian kalinya, dia gagal.

Sepulang dari pasar, dia segera bersiap untuk memulai perjalanannya lagi. Dia kembali melajukan mobilnya menuju luar kota dengan tenang. Pantai Tangkisung. Pantai yang terletak di ujung pulau Kalimantan itu memang tidak tersohor bagi masyarakat luar Kalimantan. Tapi pantai itu cukup kondang di telinga dan hati masyarakat Kalimantan Selatan, khususnya Banjarmasin.

Setelah dua jam perjalanan, akhirnya dia tiba di pantai itu. Dia segera memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju tepi pantai. Dia terdiam menatap lautan yang luas. Dia berjalan menyusuri pantai yang tenang. Matahari sudah di atas kepala ketika dia duduk di atas pasir pantai yang hitam sambil menatap lautan lepas. Ingatannya kembali ke masa lalunya. Mengingat alasan dia pindah ke Kalimantan.

Sebulan yang lalu……
“Nggak tahu kenapa, setiap aku lihat seseorang di sekolah, tiba-tiba hatiku penuh dengan kebimbangan atas suatu ketidakpastian yang panjang. Kamu nggak pernah merasakan yang aku rasakan. Di posisi yang seperti ini benar-benar nggak enak. “ ucapnya perlahan. ”aku nggak pernah tahu gimana perasaan orang yang aku sayang sejak ia memutuskan kalau hubungan kami lebih baik hanya bersahabat.” Seorang yang ada di hadapannya hanya terdiam. “sakit banget rasanya. Pernah nggak sih kamu bayangin rasanya gimana?”

Orang yang ada di hadapannya hanya terdiam dan berpikir sejenak. Sebenarnya dia sadar bahwa sedang disindir dan dialah yang dimaksud. Tak lama ia hanya menggelengkan kepalanya.

Dia hanya menelan ludah melihat reaksi orang yang duduk di hadapannya itu. “Orang itu kamu. Aku sayang sama kamu.” Dia mulai menangis. “aku ingin bahagia sama kamu.”
“Ka, aku ingin kamu tau rahasia orang bahagia. Cintailah Allah SWT dan Rasulullah SAW melebihi apapun. Termasuk rasa cintamu pada orang tuamu, keluargamu, sahabatmu bahkan dirimu sendiri. Kita harus ikhlas mencintai-Nya. Agak sulit memang, tapi aku yakin kamu bisa ngelakuinnya. Kalau kamu berhasil aku yakin kamu pasti bangga. Dan percayalah, dengan itu kamu akan mendapatkan kebahagiaan dan cinta sejati.” Jelas orang itu.

“Kalau kamu meyakini itu semua, buat apa kamu dulu harus bilang kalau kamu sayang sama aku? Buat apa kamu dulu harus bilang kalau kamu bakal buat aku bahagia? Buat apa dulu kamu harus janji kalau kamu nggak akan menyakiti aku? Buat apa dulu kamu harus bilang kalau kamu beda? Buat apa kamu janji kalau kamu nggak akan berubah? Buat apa itu semua?” tanyannya dengan berlinang air mata. “sekarang aku tanya sama kamu, mana bukti ucapanmu itu? Kamu nggak pernah buat aku bahagia. Kamu udah nyakitin aku, kamu sama aja kayak yang lain! Dan sekarang kamu udah berubah sama aku. Kamu nggak kayak dulu lagi. Aku kecewa banget sama kamu. Kamu nggak pernah mikirin perasaanku. Kamu tega banget sama aku, Ya. Aku benci sama kamu! Aku janji bakal buang semua perasaanku ke kamu!” ucapnya dengan keras dan tanpa mau mendengar semua penjelasan orang yang ada di depannya itu.

Dia berlari meninggalkan orang yang ia cintai itu. Menangis. Pilu. Kini ia sadar bahwa cintanya tak terbalas. Mungkin ini sudah saatnya dia melupakan dan melepaskan orang yang disayangnya sejak lama itu. Dia inginkan ketenangan hatinya kembali. Dia ingin merangkai kembali hatinya yang telah hancur. Dia sadar inilah saatnya untuk membuang semua perasaannya. Dia harus ikhlas melepaskan sosok yang telah lama mengisi salah satu tempat di hatinya.

Beberapa hari setelah kejadiannya itu, dia tak kunjung dapat menghapus bayang wajah dan tingkah laku orang yang begitu ia cintai. Bahkan bayangnya semakin mewarnai harinya. Sampai akhirnya, orang tuanya memberitahunya bahwa mereka sekeluarga akan pindah ke Banjarmasin karena ayahnya dipindahtugaskan ke sana. Kebetulan Banjarmasin adalah kota kelahiran ayahnya dan seluruh keluarga besarnya tinggal di sana.

Baginya, kepindahan ini bukan hanya kebetulan. Tapi sudah takdirnya untuk melupakan cinta pertamanya. Dengan kepindahan ini, ia akan dapat melupakan semua kenangan di kota ini dan akan mencari kebahagiaan dan ketenangan hati.

Setelah orang tuanya mengurus kepindahannya dari sekolah dan semua barang sudah dipak, mereka sekeluarga berangkat ke Banjarmasin. Saat hari keberangkatannya itu, dia menitipkan sebuah buku untuk orang yang ia sayangi itu kepada sahabat-sahabatnya yang mengantar ke bandara.

“Ka, kamu yakin buat pindah? Sekolah kan tinggal dua semester.” Tanya Ratri padanya. Dia hanya tersenyum simpul. “kamu bisa kost di sini kan?”
“Aku yakin kok, Rat. Dan aku juga nggak bisa jauh dari orang tuaku di saat seperti ini. Aku titip buku ini ya.” Jawabnya yakin.
“Ka, kenapa sih kamu harus pindah? Kalau salah satu alasannya karena dia, selesaiin aja dulu. Kamu jangan kayak gini. Sama aja kamu lari dari masalah. Ini nggak akan menyelesaikan masalah.” Bujuk Agus.
“Maaf, Gus. Inilah keputusan orang tuaku. Lagipula kalau aku masih di sini, hatiku juga akan semakin sakit. Aku pergi untuk menenangkan diriku. Kalau kalian ingin aku bahagia, relain aku pergi.” Ucapnya meyakinkan sahabatnya.
“Kalau ini udah jadi keputusan kamu, kami semua ikhlas kok.” Ucap Tyo. “semoga kamu bisa tenang di Banjar.”
“Makasih ya, aku sayang banget sama kalian. Aku janji aku bakal sering kasih kabar sama kalian. Nomor handphone-ku nggak akan ganti. Jadi kita masih tetap bisa bersahabat kan?” ucapnya.
“Ka, kami sayang sama kamu. Kami ingin yang terbaik untuk kamu.” Ucap Runni.
“Aku juga sayang sama kalian. Aku pengen, kalian selalu berdoa buat aku.” Katanya. “ini saatnya aku pergi. Setengah jam lagi pesawatku take off. Aku pamit ya.”

Ratri, Runni, Agus dan Tyo memeluknya erat. Mereka menangis karena akan segera berpisah dengan sahabat baik meraka. Mereka melepaskan pelukannya. Dia mulai berjalan meninggalkan sahabat-sahabatnya menuju pintu check in.
“Assalamu’alaikum.” Salamnya sambil melambaikan tangannya untuk terakhir kalinya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab mereka sambil membalas lambaian tangan sahabat mereka itu.

Beberapa hari setelah perpisahan itu, keempat sahabat itu menemui orang yang sangat disayangnya. Orang itu juga sahabat mereka. Mereka menyerahkan buku itu. Orang itu membuka dan membacanya buku perpisahan itu di halaman pertamanya.

Untukmu,
Aku hanya ingin kamu tahu bahwa kamu akan selalu ada di hatiku sampai kapanpun. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku selalu menyayangi kamu. Terima kasih karena kamu sudah menjadi sahabat terbaik yang pernah ku miliki. Terima kasih karena kamu selalu mewarnai hariku dengan warna-warni yang indah. Terima kasih karena kamu selalu ada untukku selama ini. Dan maafkan aku atas segala kesalahanku padamu. Dan maafkan aku atas perbuatanku yang menyakitimu. Dan maafkan aku karena aku telah merusak semua hubungan baik kita. Isilah buku ini dengan segala kisahmu. Dan jika kamu memperbolehkan, suatu saat nanti, aku ingin kita membacanya bersama-sama. Aku akan selalu sayang kamu.
Aku yang selalu mencintaimu..

Air matanya berurai setelah membaca buku itu. Orang itu sadar bahwa kini ia telah kehilangan seseorang yang selama ini mengisi hatinya setelah Allah SWT, Rasulullah SAW, orang tuanya, keluarganya, dan dirinya sendiri.
“Sekarang dia di mana?”tanyanya.
“Kamu terlambat, Ya. Tiga hari yang lalu, dia berangkat ke Banjarmasin. Dia akan tinggal di sana. Mungkin untuk selamanya. Orang tuanya juga ikut.” Jelas Runni.
Dari wajahnya, orang itu terlihat sangat shock dengan kabar yang baru saja diterimanya. Air matanya kembali berurai dan membentuk sungai kecil di wajahnya. “Ya Allah…”
“Kamu sayang dia, Ya?” Tanya Agus. Orang itu menganggukan kepala.
“Aku sayang banget sama dia.” Jawabnya. “dialah satu-satunya orang yang berhasil mengganjal hatiku dan menembus dinding tebal hatiku yang nggak sembarangan orang bisa menembusnya. Dia orang yang sangat istimewa untukku.”
“Susul dia, Ya. Minggu depan kan udah liburan.” Cetus Ratri. Dia mengangguk mantap dan diiringi dengan senyum penuh keyakinannya. Semua tersenyum. Ada secercah cahaya untuk penyelesaian masalah ini.
“Semoga kalian bisa bersatu lagi seperti dulu.” Doa Tyo. Semua mengamini.

Kembali ke Pantai Tangkisung……
Dia berdiri di atas pasir pantai hitam yang masih basah. Dia kembali menyusuri pantai. Sambil melepas sandalnya, dia kembali menatap lautan yang luas. Kini dia dapat merasakan halusnya pasir pantai di setiap permukaan kulit telapak kakinya. Ombak-ombak berlarian dan berkejar-kejaran di pantai. Ombak-ombak seakan berlomba-lomba mencapai pantai. Sebuah bintang laut tergeletak di atas pasir pantai. Warnanya kuning gading.

Dia terhenti ketika melihatnya bintang laut itu. Sendirian. Tak ada teman yang menemani bintang laut kecil itu. Sama seperti dirinya kini. Sendiri. Tanpa ada orang yang disayanginya di sini. Dia memungut bintang laut kecil itu dan melemparkannya ke laut kembali agar bertemu dengan teman-temannya lagi.

Angin semilir terus membelai wajahnya. Angin-angin itu seakan mengerti isi hatinya. Mengerti bahwa ia sedang gundah. Tak terasa, di wajahnya kembali terbentuk aliran sungai kecil dengan mata air di mata indahnya. Sinar matahari kembali menyengat wajahnya. Wajahnya yang putih merona merah karena panas. Daun-daun pohon kelapa di sisi kanan pantai saling bergesekan riang seakan mngejek dirinya. Mengejek karena orang yang sedang mengamati mereka tidak dapat seriang mereka. Pohon-pohon kelapa itu terlihat sangat kokoh dan kuat walaupun diterpa angin yang kuat. Mereka seakan kembali mengejeknya. Mengejek karena dia tak sekuat dan setegar gugusan pohon kelapa yang diamatinya.

Dia melangkahkan kakinya menaiki sebuah batu karang yang besar di pantai. Dia menghapus air matanya. Dia memandangi lautan yang sangat luas di depannya. Airnya tenang. Tapi hatinya tak setenang air laut.

“Tuhan! Kenapa Engkau biarkan aku merasakan sakit ini? Kenapa Engkau ambil dia dari sisiku secepat ini? Kenapa dia tega menyakitiku? Aku sangat menyayanginya setelah aku mencintai-Mu, nabi-Mu, orang tuaku, keluargaku, dan bahkan diriku sendiri. Apakah tak ada sedikit tempat untukku di hatinya?” adunya pada Tuhan dengan suara yang agak lantang. Ada sedikit kelegaan di hatinya karena dia merasa beban pikirannya telah keluar bersama aduannya pada Tuhan. Dia mulai menemukan sedikit apa yang dicarinya.
“ADA!! Ada sedikit tempat di hatiku untuk kamu.” Balas seseorang. “kamu mau tempat itu?” Tanya seseorang yang ada di belakangnya itu. Dia menoleh ke arah orang itu. Dia merasa seperti ada petir yang menyambarnya. Orang itu adalah Surya, sosok yang selama ini ada di hatinya. “kamu mau tempat itu, Tika?”
“Apa kamu menyayangi aku?” Tanya Tika.
“Ya, aku menyayangimu.” jawabnya mantap. ”Tapi kamu bukan cinta pertamaku, karena cinta pertamaku hanya untuk Allah SWT. Kamu juga bukan cinta keduaku, karena cinta kedua itu hanya untuk Rasulullah SAW. Kamu juga bukan cinta ketigaku, karena cinta ketigaku hanya untuk kedua orang tuaku. Kamu juga bukan cinta keempatku, karena cinta keempatku hanya untuk keluargaku. Di sini ada dua cinta yang aku tawarkan padamu. Cinta kelima dan cinta keenamku. Cinta kelimaku untuk orang yang akan selalu ada di hatiku sampai kapanpun dan dialah yang akan selalu aku cintai sepanjang umurku. Dan cinta keenamku untuk sahabat-sahabatku. Kamu mau yang mana?” jelas Surya.
Tika terdiam dan berpikir. “Untuk saat ini, aku inginkan cinta keenammu karena saat ini aku ingin mencintaimu sebagai sahabatku agar aku bisa lebih mengenal kamu lebih jauh. Tapi suatu saat nanti, aku inginkan cinta kelimamu, karena aku yakin, saat hari itu tiba, aku hanya akan mencintaimu sebagai orang yang sangat special untukku. Aku yakin itu.” Jelas Tika.
“Oke.” Jawab Surya. Tika tersenyum pada Surya. Hatinya kini dipenuhi dengan bunga-bunga yang bermekaran dengan indah. Surya membalas senyum Tika dengan senyuman termanisnya. Tika berjalan menuju Surya. “aku akan memberikan cinta kelimaku untuk kamu kapanpun kamu memintanya karena cinta kelimaku hanya untuk gadis yang ada di depanku ini sampai kapanpun. Insya Allah.”

Surya dan Tika berjalan di pantai itu dengan perasaan yang sangat sulit dilukiskan. Di pasir pantai hitam yang masih basah bermandikan ombak itu terdapat bintang laut kecil yang terdampar. Bintang laut yang Tika lemparkan kembali ke lautan itu kembali ke pantai. Tapi kini bintang laut itu tak sendirian. Dia kini berdua bersama temannya. Tika tersenyum melihat bintang laut yang tak lagi sendirian itu, sama seperti dirinya. Kini dia bersama Surya yang akan selalu ada di sampingnya. Tika mengajak Surya memungut kedua bintang laut itu untuk dilemparkan kembali ke lautan lepas. Setelah mereka melempar bintang laut itu, mereka menatap lautan yang luas. Airnya masih tenang. Setenang hati mereka.

Daun-daun kelapa kembali saling bergesekan riang. Mereka seakan turut merasakan kebahagiaan yang Surya dan Tika rasakan. Pohon-pohon kelapa terlihat sangat kokoh dan kuat walaupun diterpa angin yang kuat karena mereka saling membantu jika ada angin yang menerpa mereka, sama seperti Surya dan Tika, mereka akan tegar dan kuat jika saling membantu dan melindungi.

Angin semilir kembali bertiup membelai wajah kedua anak remaja itu dan jilbab Tika. Ombak-ombak masih asyik berlomba mencapai pantai serta berlarian dan berkejar-kejaran di permukaan pasir pantai yang hitam.
“Oh iya, Ya. Aku bakal minta cinta kelimamu saat kita udah sama-sama mapan dan siap untuk menatap masa depan yang indah. Kamu mau kan memberikannya saat itu datang?” Tanya Tika.
“Insya Allah!” jawab Surya mantap. Mereka kembali menyusuri pantai. “kamu tetap tinggal di sini?”
Tika tersenyum. “Iya. Aku udah tenang di sini. Walaupun kita terpisah sama jarak, kita masih tetap bisa berhubungan kok. Kan sekarang udah ada banyak alat komunikasi.”
“Tapi kamu nggak akan macem-macem kan?” Tanya Surya curiga. Tika tahu bahwa Surya sedang bercanda dengannya.
“Em… gimana ya? Kalau ada yang lebih baik, kenapa nggak?” jawab Tika. Surya langsung menoleh dengan wajah cemberutnya. Tika tersenyum geli melihat wajah Surya yang lucu. “ya nggak lah! Kamu kali yang macem-macem!”
“Ya nggak dong! Ngapain coba?”
“Awas ya, kalau kamu berani macem-macem! Aku punya empat agen mata-mata! Mereka siap awasi kamu 24 jam non-stop.” Ancam Tika. Tak lama, mereka tertawa bersama.
“Iya. Udah ah. Kok jadi ngaco gini sih? Pulang aja yuk! Capek banget nih! Aku tadi baru nyampe di Banjarmasin langsung ke rumahmu. Kata ibu, kamu ada di sini. Aku nyusul ke sini deh!” jelas Surya.
“Oke. Yuk!” sahut Tika. Mereka berdua berjalan menuju mobil Tika. Tika mengemudikan mobilnya dengan tenang meninggalkan Pantai Tangkisung. Surya yang duduk di jok sebelah Tika mulai memasuki alam mimpinya yang damai. Dia terlihat sangat kecapekan. Tika mengemudikan mobilnya dengan tenang dan hati-hati. Tika sangat menikmati pemandangan menuju Banjarmasin. Setelah melewati daerah Pelaihari, kanan dan kiri jalan terdapat rawa yang luas. Tika tersenyum melihat sosok yang sangat dicintainya itu.

Dia telah menemukan yang dia cari selama ini. Dia mencari ketenangan hati dan kebahagiaan. Dia telah mencarinya kemana-mana, di Jembatan Barito, di pusat Kota Banjarmasin, di Pelabuhan Trisakti, di Pasar Terapung, di Syamsudin Noor Airport, di Martapura, dan di Pantai Tangkisung. Kini dia sadar bahwa ketenangan hati dan kebahagiaan itu sebenarnya ada di dalam hatinya sendiri.

Tika berjanji, dia akan mengajak Surya berkeliling Banjarmasin. Dia ingin mengajak Surya menikmati indahnya Jembatan Barito saat candikala datang. Menikmati ramainya pusat Kota Banjarmasin. Menikmati beragam makanan khas Banjarmasin, salah satunya lempeng –pisang goreng khas Banjarmasin yang berbentuk bulat agak besar yang adonan tepungnya dicampur dengan santan murni-. Menikmati asyiknya berbelanja di atas perahu dan sarapan di warung yang ada di atas perahu di Pasar Terapung. Menikmati ramainya pelabuhan yang ada di muara sungai Barito. Menikmati asyiknya naik klotok di sungai yang membelah hutan yang masih asri. Menikmati asyiknya melihat-lihat perhiasan dari intan di Martapura yang terkenal sebagai pusat intan di Indonesia. Menikmati enaknya telur bebek Alabio yang kaya akan gizi di peternakan itik Alabio. Dan satu lagi, menikmati nikmatnya nasi bumbu habang –nasi kuning dengan bumbu yang berasal dari cabe kering yang berwarna merah dengan potongan daging ayam di dalam bumbu habang- dan soto Banjar yang memiliki cita rasa yang khas. Dan menikmati indahnya berbagai tempat wisata lainnya.

Tika juga berjanji untuk tetap menjaga cintanya pada Surya sampai kapanpun dan akan meminta cinta Surya saat mereka mengikat janji suci untuk mencintai Allah bersama-sama. Insya Allah. Amin.

~TAMAT~
28-29 April 2008

P.S.:
Aku membuat cerpen ini dengan hatiku, harapanku, dan perasaanku. cerpen ini adalah tumpahan dari isi hatiku dan harapanku pada orang yang aku sayangi. Cerpen ini adalah bentuk kerinduanku pada Tanah Seberang, Banjarmasin yang menjadi salah satu tempat aku dibesarkan dan sanak saudaraku tinggal.
Dalam cerpen ini aku ingin menunjukkan kalau Kalimantan itu indah sekali. semoga dengan cerpen ini, kita sadar, bahwa cinta yang didasarkan cinta karena Allah adalah cinta yang suci dan apapun cobaan dan ujiannya jika kita bisa menghadapinya dengan sabar dan mempertahankan cinta itu, maka akan berakhir dengan indah dan mneguatkan cinta itu sendiri.
aku juga melampirkan beberapa foto dari Kalimantan. tapi aku dapatkan dari beberapa sumber. karena terakhir kali aku ke sana adalah 8 tahun yang lalu. jadi aku buat cerpen ini dengan sedikit ingatanku tentang Kalimantan.


Jembatan Barito


Pasar Terapung


Pantai Tangkisung


Nasi Kuning Bumbu Habang


Soto Banjar


Perahu khas Banjar, Klotok


Sungai Barito


Pelabuhan Trisakti


Intan Martapura


Jembatan Penuh Kenangan di Tengah Kota Banjarmasin


Bundaran Simpang Banjarmasin


Kain Sasirangan

Selasa, 23 Februari 2010

~Diary Seorang Gadis Muda~

Senin,11 November 2008
Pagi ini, aku melihat juniorku, Ayya, begitu khawatir dengan keadaan Daniel yang tiba-tiba pingsan saat sedang bertugas sebagai pemimpin upacara minggu ini. Sesekali Daniel mengerang kesakitan. Pusing, katanya. Keringat dingin mengucur dari sekujur tubuhnya. Dengan sabar, Ayya mengipasinya. Tapi Daniel malah kedinginan. Bau parfum Ayya semerbak menghiasi ruangan pengap itu.
Aku terharu melihat drama kecil yang nyata di UKS yang pengap pagi ini. Aku terharu. Bukan! Lebih tepatnya, aku iri! Saat melihat mereka, aku jadi ingat dengan seseorang yang kini ada di hatiku. Rama. Lelaki itulah yang mencuri hati ini. Aku iri pada Ayya dan Daniel, karena aku dan Rama tak akan pernah dapat seperti itu. Sakit rasanya harus mengenang ini. Karena masa lalu yang indah itu tak akan pernah terulang lagi. Mustahil! Impossible!
Aliran sungai kecil mengalir di wajahku. Gambaran masa lalu yang teramat manis itu kembali terlintas di memoriku. Masih jelas dalam ingatanku. Dialah cinta pertamaku dan aku juga ingin dialah yang menjadi cinta terakhirku. Tapi lagi-lagi, sakit mengingat kenangan manis itu.
Semenjak dia memutuskan untuk tidak akan berpacaran, aku hanya dapat terdiam dalam kesedihan. Rasa sayangku yang begitu besar perlu ditumpahkan. Walalu kini dia menjadi sahabatku, tapi sulit rasanya menganggap dia sahabatku. Meskipun aku tidak berpacaran dengannya, tapi kami sudah seperti orang yang pacaran. Dia ada untukku. Dia baik padaku. Dia selalu mengerti aku. Bahkan dia rela melakukan apapun demi aku. Begitu juga sebaliknya.
Tapi semenjak dia menjadi wakil ketua salah satu organisasi di sekolah, dia bukan seperti Rama yang aku kenal dulu. Dia selalu sibuk. Dia tak pernah punya waktu untukku. Dia tak lagi pengertian. Dia tak lagi selalu ada di sampingku. Dia jarang mendengarkan seluruh curahan hatiku. Itu semua karena dia terlalu sibuk.

Selasa, 12 November 2008
Pagi ini, kepalaku sakit sekali. Tenggorokanku sakit sekali. Kepalaku penuh pikiran. Masalah OMagz yang belum kunjung selesai. Tugas sekolah yang masih menumpuk. Belum lagi beban perasaan yang aku rasakan sekarang. Kepalaku serasa akan pecah. Perutku masih kosong. Kebiasaanku yang membenci sarapan memang tak pernah sembuh. Lapar. Tapi tak ingin makan. Ngantuk. Semalam aku tak tidur. Insomnia. Tadi pagi sempat jatuh di gerbang sekolah. Seperti ada yang menyandung.
Kepalaku sakit. Badanku panas. Akhirnya ku putuskan untuk ke UKS. UKS masih tutup. 07.45 Mungkin terlalu pagi. Aku berjalan ke XI IA 5. Mencari coordinator UKS untuk meminta kunci. Tapi kuncinya dibawa oleh Rama. Aku berjalan menuju XI IA 7. Memanggil Rama. Tapi kepalaku semakin sakit. Sakitnya tak tertahan. Aku benar-benar sudah tidak kuat. Tiba-tiba badanku lemas. Kakiku lemas. Mataku berkunang-kunang. Rama berjalan ke arahku untuk memberikan kunci UKS. Tapi aku sudah sangat lemas. Dan… Aku tak tahu apa yang terjadi. Semua gelap.

Ku lihat ada kakak kandungku ada di ujung lorong terang ini. Tangannya melambai padaku. Seperti memanggil dan mengajakku pergi.
“Ayo, Dhek… ikut kakak.” ajaknya. “Ke tempat yang tenang.”
“Nanti dulu ya, kak. Nanti kalau ada waktu luang, aku nyusul kakak. Paling liburan semester 3 ini, aku nyusul. Gimana?” jawabku.
“Oke. Aku tunggu ya, Dhek. Dagh…..” Tiba-tiba kakakku menghilang. Aku baru sadar! Dia kakakku yang setahun lalu meninggal. Kak Vino. Kecelakaan maut merenggut jiwanya.

Terang. Perlahan ku buka kelopak mataku. Berat. Wajah-wajah itu mengelilingiku. Wajah-wajah itu ekspresinya aneh! Lega, tepatnya. Wajah sahabat-sahabatku itu tersenyum. Ada Fitri, Nia, Laksmi, Rose, Arif, Tyo, Tara dan Rio. Tapi rasanya, ada yang kurang. Ya, kurang Rama! Dia tak ada. Kemana dia?
“Aku kenapa?” tanyaku. Mereka saling berpandangan. “Ini di mana?”
“Ini di UKS. Kamu tadi pingsan di depan pintu kelasku. Kamu nggak apa-apa kan, Ika?” jawab Rio.
“Ouw… aku nggak apa-apa. Cuma sakit kepala dikit kok. Teman-teman, makasih ya.”
“Iya… Iya… “ jawab mereka. Tiba-tiba kepalaku sakit lagi.
“Rama mana?” tanyaku dia antara sakit kepalaku. Sahabat-sahabatku hanya saling berpandangan.
“Maaf, Ka. Dia tadi bilang kalau mau ada rapat di sekolah.” Jawab Yoyo. Kepalaku makin sakit. Badanku lemas lagi. Hatiku sakit. Gelap… Pingsan lagi.

Aku kembali membuka mata. Terang. Di jari tanganku, ada alat berkabel yang tersambung dengan monitor. Di hidungku ada selang yang tersambung dengan alat oksigen. Di sampingku ada seorang wanita berjilbab yang cantik berpakaian putih. Bukan malaikat kan? Aku belum mati kan? Tak lama, ada seorang laki-laki berjas dokter masuk ke ruangan ini. Dia memeriksaku. Alhamdulillah… Aku belum mati. Aku yakin, ini di Rumah Sakit. Tak seberapa lama, kedua orang itu beranjak pergi dari ruangan yang berdinding gorden hijau ini. Fitri, Nia, Rose, Laksmi dan Rio memasuki ruangan ini. Wajah mereka khawatir.
“Gimana, Ka? Are you feel better?” tanya Rose. Aku hanya tersenyum.
“Ka, tadi kami udah telepon ayah bundamu. Katanya, beliau belum bisa pulang sekarang. Kerjaan di Jakarta masih banyak.” ucap Fitri. Lagi-lagi hanya tersenyum. Kecewa. Ayah dan Bundaku memang kerja di Jakarta sebagai kepala bagian di Bea Cukai Soekarno Hatta.
“Oh iya, Rio. Barusan dokter ambil darahmu untuk di tes. Hasil tesnya kira-kira setengah jam lagi.” jelas Laksmi.
“Ikka, yang dirasain sekarang apa? Aku khawatir banget sama kamu.” Tanya Yoyo, panggilan favoritku untuk Rio.
“Aku udah sehat kok, Yoyo. Aku nggak ngerasain apa-apa. Yoyo, aku mau pulang. Aku nggak mau di RS.” ucapku.
“Tunggu bentar ya, Ka. Nunggu hasil check up. Bentar lagi keluar kok.” bujuknya. Akhirnya aku mengalah.
Setengah jam kemudian, Yoyo datang dengan wajah yang aneh. Dia berjalan mendekati bed ku. Lalu duduk di kursi di sebelah bed. Dia baru saja mengambil hasil tes.
“Gimana hasil tesnya, Yo?” tanyaku antusias. Yoyo hanya diam. “Yoyo, gimana hasilnya? Aku sakit apa? Aku nggak sakit kan? Udah lah, ayo bawa aku pulang.” Yoyo hanya diam. Tangannya meraih tanganku. Dia menggenggam erat tanganku.
“Ikka, kamu harus di sini dulu. Kamu belum boleh pulang.” jawab Yoyo dengan lirih. Suaranya seperti menahan tangis. Genggamannya makin erat.
“Kenapa aku nggak boleh pulang? Aku baik-baik aja kok.” protesku. “Aku nggak sakit kok.”
“Tapi kamu belum boleh pulang. Kata dokter, kamu harus dirawat di sini dulu.”
“Emangnya aku sakit apa?”
“Kamu nggak sakit kok.”
“Kalo aku nggak sakit, kenapa aku masih di sini? Yoyo, aku mohon kamu jujur sama aku. Aku sakit ya, Yo? Aku sakit apa? Jujur, Yo. Please…” tanyaku memohon. Rio terdiam. Seperti orang bimbang. Bingung. “Yo, jujur sama aku.”
Genggamannya makin erat. “Ikka, kamu di diagnosis sakit…….”
“Sakit apa?”
“Sakit….. Kanker otak stadium akhir.” Jawabnya dengan sangat hati-hati. Jawaban Yoyo tadi membuatku seperti tersambar petir. Aku sangat shock. Aku menangis. Yoyo memelukku untuk menenangkan. “Sabar ya, Ikka. Aku yakin kamu kuat kok.”
“Ini mimpi kan, Yo?” tanyaku.
“Ini bukan mimpi, Ka. Kamu harus kuat ya. Aku yakin, kamu bisa sembuh. Aku yakin itu, Ka. Aku sayang kamu. Semua sayang kamu. Aku nggak mau kehilangan kamu. Semua nggak mau kehilangan kamu.” Dia berusaha menenangkanku.
“Aku nggak mau mati muda, Yo. Aku masih ingin membahagiakan semua orang. Aku masih ingin sama sahabat-sahabatku. Aku masih ingin sama Rama. Aku masih ingin sama kamu. Aku takut, Rio.” Rio mendekapku makin erat. Seperti mendekap anak kecil yang ketakutan.
“Ikka, percaya sama aku. Kamu pasti sembuh.”
“Yo, yang lain juga udah tau?”
“Belum. Tadi mereka lagi ke Masjid RS saat aku masuk sini. Jadi aku belum sempet ketemu mereka.”
“Rio, please. Aku mohon, jangan kasih tau mereka tentang penyakitku ini ya. Aku nggak mau mereka sedih.”
“Aku janji, Ka. Aku yakin, kamu lagi shock banget. Lagi sedih banget. Apalagi di saat gini, Rama nggak ada di samping kamu. Aku yakin, hatimu nggak karuan. Tapi tenang ya, Ka. Walaupun semua orang pergi dari kamu, aku akan selalu di samping kamu. Aku akan tetep jadi sahabat kamu. Aku sayang kamu, Ka. Aku nggak mau kehilangan sahabat kayak kamu.”
“Aku percaya sama kamu, Rio… aku juga mohon kamu juga jangan kasih tau Rama dan Ayah Bunda ku tentang ini semua. Aku ingin cuma kamu yang tau tentang ini.” Yoyo tersenyum mengiyakan. Dia kembali menggenggam erat tanganku. “Yoyo, aku sayang kamu, Sahabatku.” Dia hanya tersenyum manis. Senyumnya menenangkan hati. Dia mencium keningku. Aku tersenyum padanya, sahabat yang sangat kucintai.
Tuhan, perpanjanglah usiaku. Aku tak ingin pergi dari Rio. Aku tak ingin pergi tinggalkan sahabat-sahabatku. Aku tak ingin tinggalkan Rama. Aku tak ingin pergi dari Ayah Bunda. Aku tak ingin mereka bersedih karena kepergianku.

Kamis, 20 November 2008
Berbagai tes telah kujalani. Tapi lagi-lagi, kujalani hanya dengan ditemani oleh Yoyo. Satu-satunya orang yang mengetahui ini semua. Tes demi tes terus ku jalani. Tapi semua tes itu tetap memvonis aku mengidap penyakit kanker otak stadium akhir. Mau tahu apa keinginanku yang sangat ku inginkan saat ini? Aku ingin Ayah Bunda ku ada di sampingku untuk mendampingiku menjalani serangkaian tes kesehatan. Walaupun semua biaya ditanggung oleh mereka, itu tidak cukup untukku. Aku ingin mereka ada di sini.
Tapi aku tetap bersyukur pada Tuhan. Karena aku masih diberi seorang sahabat sejati yang benar-benar sayang padaku. Sahabat yang setia menemaniku.
Walaupun kata dokter usiaku sudah tak lama lagi, aku telah bertekad untuk memanfaatkan sisa hidupku yang singkat ini. Hidupku yang singkat tidak boleh sia-sia. aku tidak boleh berputus asa. Karena aku yakin, Tuhan punya maksud atas semua ini. Aku harus bisa lalui ini semua. Aku harus buat orang yang ku sayang bahagia. Aku tak ingin mereka bersedih saat aku pergi nanti.
Kata dokter, aku harus kemoterapi. Tapi aku menolaknya mentah-mentah. Karena aku tak ingin kehilangan rambutku. Walaupun aku berjilbab, aku tetap tak ingin rambutku habis.
Seminggu aku di RS, tak sekalipun Rama menjengukku. Ada rapat, katanya. Aku jadi teringat dengan drama kecil yang nyata di UKS dua minggu yang lalu. Ayya setia menemani Daniel yang sakit. Yang ku rasa saat itu adalah sepi. Sedih. Rindu. Sekolah. Ayah. Bunda. Rama. Sahabat-sahabatku. Aku hanya dapat menangis.

Rabu, 10 Desember 2008
Hari ini, hari terakhir tes semester 3. Rasanya lega. Sekarang tinggal menunggu pengumuman remidi. Hari-hari selama tes aku lalui dengan berat. Karena selain bahan tes yang banyak, tapi juga karena badanku down lagi. Saat tes aku kambuh. Untung kambuhnya di rumah. Jadi tidak merepotkan Yoyo lagi. Tapi hari ini, rasanya kepalaku sakit sekali. Badanku juga lemas. Badanku panas semua. Hari ini aku ke sekolah diantar Pak Min, tetanggaku. Karena tadi pagi kepalaku sakit. Tapi Pak Min tidak bisa menjemputku. Aku bingung. Bagaimana caraku pulang?
Hari ini Yoyo ada rapat OSIS. Maklum, dia wakil ketua OSIS. Sahabat-sahabatku sudah menghilang sejak bel pulang berbunyi.
Aku berjalan mengelilingi sekolah dengan kepala yang sangat sakit. Untuk mencari tebengan pulang. Saat aku tiba di UKS, aku bertemu dengan Rama. Hm… apa Rama mau ya? Pikirku.
“Em.. sorry, Ram. Setelah ini ada acara nggak?”tanyaku pelan.
“Nggak ada kok. Kenapa, Ka?”jawabnya.
“Um… bisa antar aku pulang? Kepalaku sakit banget. Kebetulan tadi aku diantar Pak Min. Tapi beliau nggak bisa jemput aku. Bisa nggak?” aku bertanya padanya dengan pelan. Karena kepalaku sudah sakit sekali. Badanku pun hampir terhuyung. Saking lemasnya. Hampir pingsan lagi. Tapi tiba-tiba dia beranjak pergi. Lho? “Ram, gimana? Bisa nggak?”
Rama berbalik. “Maaf, Ka. Aku nggak bisa.” Dia hanya tersenyum tanpa beban padaku. Lalu beranjak pergi lagi.
Hatiku seperti sebuah kaca yang dilempari batu-batu besar. Hancur seketika. Saat aku hampir pingsan di depan dia pun, dia sama sekali tak mempedulikan aku. Aku sudah tidak tahan lagi. Aku berjalan menuju bangku yang tak jauh dari situ. Di bangku itu, aku menunduk. Menangis.
Hawa siang ini, menambah temperature tubuhku makin meningkat. Badanku benar-benar panas. Bahkan, air mataku juga panas. Kemudian aku berjalan menuju gerbang sekolah. Aku sempat melihat Rama berjalan mendekat. Tapi aku tak peduli. Buat apa peduli dengan orang yang tak pedulikan aku?
Satu langkah. Lemas sekali. Seakan kepalaku mau pecah. Seakan ada pemanggang yang memanggangku. Kakiku lemas. Dunia serasa berputar…
Dua langkah. Sakit sekali. Sudah sangat lemas. Aku seperti dijatuhi beban ber ton-ton. Kepalaku pusing dan sakit.
Langkah ketiga, aku tak tahu apa yang kurasakan. Aku hanya merasakan sepeti terbang melayang. Satu lagi, aku juga merasakan ada tangan yang memegangku. Aku tak tahu itu siapa.

Aku membuka mataku. Terang. Baunya aku sangat kenal. Ya, lagi-lagi, rumah sakit. Ada Yoyo yang tengah duduk dan terlelap di kursi sebelah bed ku. Kepalaku masih sakit. Aku membelai rambut sahabatku itu. Tak lama, Yoyo terbangun.
“Yoyo, kenapa aku di sini lagi? Aku nggak mau di sini, Yo. Bawa aku pulang.” mohonku. Yoyo hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Dia tak harus mengatakan sesuatu. Karena dia yakin bahwa aku tahu persis dengan apa yang akan dia katakan. “Yoyo, tadi yang bawa aku ke sini kamu ya?”
“Bukan, Ka. Tadi aku masih rapat. Tiba-tiba ponselku bunyi. Rama menelepon aku. Dia bilang kamu di rumah sakit. Aku panik. Aku minta ijin sama Yoga untuk pulang duluan. Terus aku langsung ke sini.” Jelas Yoyo.
“Lha terus, sekarang Rama mana?” tanyaku.
“Dia udah pulang, Ka. Katanya ada acara keluarga.”
“Yo, kenapa sih, di saat aku butuh dia, dia nggak pernah ada buatku? Kenapa? Padahal saat ini aku ingin dia ada di sampingku. Sebagai sandaranku. Untuk mendengarkan semua keluhanku. Semua rasa sakitku. Aku ingin mengeluhkan semua rasa sakitku padanya. Aku ingin dia temani aku sampai akhir hayatku. Sampai tarikan nafas yang terakhir. Aku ingin dia ada di sini, Yo.” Aku kembali menangis. Yoyo mengenggam tanganku erat.
“Tenang ya, Ka. Aku yakin, dia punya alasan untuk semua ini.”
“Yo, aku sedih. Aku sekarang bener-bener ngerasa sendiri. Ayah Bundaku nggak peduli sama anaknya. Padahal aku anak mereka satu-satunya setelah Kak Adi meninggal dulu. Rama, dia sibuk sama dunianya sendiri. Sahabatku, nggak tahu kemana. Tapi aku masih bersyukur, kerana kamu masih setia menemani aku.” Ucapku. “Yoyo, apa ini semua tanda bahwa Rama nggak pernah menyayangi aku ya? Tadi baru sadar tentang hal itu. Saat aku hampir pingsan di depannya, dia masih menolak untuk mengantarku pulang. Ini berarti dia sudah tak peduli padaku lagi. Apa mungkin mulai saat ini aku harus ngelupain dia ya?”
“Ikka, kamu nggak boleh ngomong gitu. Pasti dia punya alasan untuk itu semua. Aku yakin, Ka. Jadi please, jangan bilang gitu lagi ya.” Ucapnya.
“Yoyo, kalo misalnya setelah hari ini aku nggak ada, aku mohon, tolong bilang sama dia tentang perasaanku ke dia ya. Aku ingin dia tahu ini semua. Aku ingin…”
“Ikka! Jangan pernah ngomong kayak gitu lagi! Kamu pasti sembuh. Aku yakin kok. Percaya sama aku.” Yoyo memotong ucapanku dengan keras. “Please, jangan ngomong kayak gitu lagi ya. Inget kan sama janji kita dulu. Kita bersahabat sejak di dalam kandungan bunda kita. Selamanya kita akan terus bersahabat. Duka ku, duka mu juga. Suka ku, suka mu juga. Kita akan selalu bersama sampai di ujung usia. Kamu udah seperti adikku. Tanpamu, aku juga nggak bisa apa-apa. Karena kita satu.”
“Maafin aku, Yo. Tapi aku udah nggak kuat menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhku. Penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuhku. Menggerogoti nyawaku. Menggerogoti memori di otak secara perlahan.” Aku menangis.
“Ikka, kamu pasti kuat melawan penyakit ini. Kalaupun ingatanmu pelan-pelan berkurang, karena penyakit ini, aku akan setia mengingatkanmu. Aku janji itu, Ka.”
“Rio, kalau besok aku tak lagi membuka mataku, aku ingin kamu bilang sama Ayah Bunda, kalo aku sayang banget sama mereka.” Ucapku tanpa mempedulikannya. “Rio, aku bisa minta kertas? Aku mau nulis surat.”
Yoyo mengambilkan secarik kertas dan sebuah bolpen dari tasnya. Aku menerima kertas itu. Aku menuliskan beberapa kalimat pada kertas tersebut. Ku lipat kertas itu dan kuberikan pada Yoyo. “Yo, tolong berikan pada Rama kalo aku pergi nanti.” Yoyo menerima surat itu dalam diamnya.
“Ikka, aku nggak mau kehilangan kamu.”kata Yoyo.
“Rio, aku sayang kamu. Kamu selalu setia menemani aku selama aku sakit. Kamu nggak pernah marah waktu aku buat kamu sedih. Kamu selalu punya waktu untukku saat kamu lagi sibuk. Kamu selalu temenin aku, hibur aku saat aku sedih, selalu bisa buat aku ketawa, selalu buat aku tenang. Kamu udah baik banget sama aku. Makasih atas segala yang telah kamu berikan padaku. Makasih banget. Aku nggak tau harus bayar ini dengan apa. Saat ini, kamu adalah harta paling berharga yang aku punya. Kamu adalah sahabat sejatiku. Makasih ya. Aku juga minta maaf kalo aku punya salah sama kamu. Aku sadar, aku sering banget ngerepotin kamu. Maaf ya.”
“Buatku sekarang, yang penting kamu sembuh. Aku nggak mau sahabat terbaikku pergi. Aku ingin, saat aku sukses nanti, kamu adalah orang pertama yang akan ku beri tahu. Aku sayang kamu, Ikka.”
“Aku juga sayang kamu, sahabatku.” Kamar rawat inap itu sepi. “Rio, aku udah capek banget sama semua ini. Aku ingin istirahat.” Rio membantuku membenarkan posisi tidurku. Dia menyelimutiku. Lalu duduk di kursinya lagi. Rio mengenggam tanganku.
“Ikka, cepet sembuh ya.” Ucapnya singkat lalu mencium tanganku.
Aku menatap wajahnya lekat-lekat. Aku baru menyadari betapa sayangnya aku pada sahabatku itu. “Rio, aku sayang kamu.” Aku tersenyum padanya.
“Aku juga sayang kamu.’ Balasnya sambil tersenyum manis padaku. Tak lama, aku terlelap.

Ruangan ini luas. Tanpa batas. Warnanya terang. Putih. Tapi ada satu titik yang berwarna hitam di depanku. Aku berjalan ke arah titik itu. Semakin dekat, ku lihat ada seorang lelaki berbaju putih. Lelaki itu tersenyum padaku. Wajahnya kabur. Aku kembali mendekat. Aku kenal lelaki itu. Kak Adi.
“Dhek, ayo ikut kakak. Ini udah waktunya kamu bayar omongan kamu waktu itu. Kakak udah lama nunggu kamu di sana. Ayo ikut.” Ajak kakakku itu. Tangannya meraih tanganku.
“Kak, tunggu. Aku mau pamitan sama Ayah Bunda, Yoyo, Rama dan sahabat-sahabatku yang lain dulu. Boleh kan?” tanyaku. “O iya, nanti kalo kakak jemput aku, jangan lupa bawa bunga mawar putih yang wangi kesukaanku ya.”
“Ya udah, tapi jangan lama-lama ya.”

Kamis, 15 Desember 2008
Perlahan aku membuka mataku. Aku melihat ada Ayah, Bunda, Rama dan Yoyo. Aku nggak mimpi kan? Ayah, Bunda dan Rama ada di sini kan? Aku nggak mimpi kan? Wajah cemas mereka menyertai pandangan mereka padaku.
“Ikka, udah bangun, sayang? Sayang, jangan pernah pergi tinggalin Bunda ya. Bunda nggak mau kehilangan anak lagi. Cukup kakak yang pergi. Bunda sayang sama kamu.” Ucap Bunda dengan derai air mata. “Bunda khawatir bangat.”
“Ikka, maafin Ayah dan Bunda yang nggak pernah ada di samping kamu waktu kamu jalani pengobatan. Maafin kami.” Ucap Ayah.
“Ayah, Bunda, nggak perlu sedih lagi ya. Aku udah sehat kok. Aku udah nggak ngerasain apa-apa. Yang kurasain, badanku ringan. Ayah, Bunda, jangan sedih lagi ya. Aku minta maaf kalo aku punya salah sama Ayah, sama Bunda juga. Makasih atas semua yang telah Ayah Bunda kasih ke aku. Aku sayang sama kalian.” Balasku.
“Ikka, kamu pasti kuat. Percaya sama aku.” Ucap Yoyo.
“Rio, aku bosen deh, denger ucapan kamu itu. Aku udah sembuh kok. Udah nggak usah khawatir lagi. Rio, makasih ya atas segalanya. Maafin aku kalo aku sering ngerepotin kamu. Maaf ya.” Ucapku lirih sambil tersenyum padanya.
“Ikka, maafin aku ya. Aku nggak pernah ada di samping kamu waktu kamu butuh aku. Aku tau aku salah sama kamu. Tapi aku mohon maafin aku.” Wajah Rama penuh kesedihan. “Aku nggak mau kehilangan kamu.”
“Rama, demi Allah, aku nggak pernah marah sama kamu. Aku malah mau berterima kasih sama kamu. Karena kamu yang mengajarikan aku tentang berkasih sayang dengan seseorang yang akan selalu di hati. Makasih ya. Aku yang harusnya minta maaf. Karena aku dulu sering ngerepotin kamu. Makasih ya, atas segala yang telah kamu berikan padaku. Ini tanggal berapa?” kataku lirih.
“Tanggal 15 Desember.” Jawabnya.
“Inget nggak, Ram? Hari ini tepat setahun, kita berjanji sesuatu. kita pernah berjanji untuk selalu saling menyayangi satu sama lain. Untuk selalu membantu ketika ada yang membutuhkan, selalu mendengarkan tiap keluhan dan curahan hati salah satu di antara kita. Inget nggak, Ram?”
“Aku nggak pernah lupa sama masa itu. Karena saat itu adalah salah satu dari banyak peristiwa di hidupku yang sangat berharga untukku. Saat itu, pertama kalinya aku mencintai seseorang karena Allah. Aku menyayangi seseorang dengan landasan agama yang kuat.”
“Aku nggak akan pernah lupain semua kenangan kita. Karena kenangan kita adalah bagian dari sejarah hidupku. Aku nggak akan pernah ngelupain kamu sampai di ujung usiaku. Sampai hembusan dan tarikan nafas terakhir. Karena kamu adalah bagian dari sejarah hidupku.” Ucapku. Aku terdiam. Rasa sakit di kepalaku sudah menjalar di sekujur tubuhku. Aku dapat merasakan, kakiku sudah mati rasa. aku masih ingin bicara. Tapi sulit sekali. “Ram, aku cuma mau bilang, aku sayang banget sama kamu. Harapanku untuk menjadikan cinta pertama dan terakhirku telah terwujud. Aku udah nggak kuat lagi.” Susuah sekali untuk bicara. Seperti ada yang mencekik.
“Aku juga sayang kamu, Ka. Tapi aku nggak mau kamu pergi sekarang. Aku masih ingin sama kamu, Ka. Aku sayang kamu, Ka.” ucapnya. Aku hanya terdiam. Yang kurasakan hanya seperti ada yang menarik darahku dari ujung kaki ke ujung rambut.
“Ayah, Bunda, Rio, Rama, aku sayang banget sama kalian. Bun, ada kak Adi datang bawa bunga mawar putih. Bunganya bagus banget.” Ucapku lirih. “La illaha illah.” Badanku serasa ringan. Aku seperti terbang. Terbang ke langit. Terbang ke langit ke tujuh. Bertemu kak Adi yang sudah menungguku di sana. Yang ku tahu, suasana kamar inap itu menjadi hening. Tenang. Harum. Penuh kesedihan. Suara tangis. Ayah dan Bunda menangis. Rio menangis. Rama menangis.
Aku meninggal tepat pada tanggal 15 Desember 2008 pukul 17.55. Tepat setahun kejadian yang nggak akan ku lupakan. Saat Rama mengutarakan isi hatinya padaku. Saat Rama mengutarakan bahwa dia mencintaiku. Saat aku meninggal, ruang inapku berbau bunga mawar yang harum selama kurang lebih lima menit. Aku hanya ingin orang yang kucintai bahagia.

Rama menutup buku karangan Rio yang menceritakan sepenggal dari kisah hidup Ikka. Gadis usia 16 tahun yang menderita kanker otak stadium akhir. Ini memang diary Ikka, tapi di akhir cerita, Rio membumbuinya dengan suasana di kamar inap itu. Suatu kisah yang tak akan pernah dilupakan oleh Rama. Air matanya mengalir membentuk aliran sungai kecil di wajahnya saat mengenang kejadian yang terjadi di usianya yang ke 16. kejadian yang tak akan terlupakan. Walau terjadi 4 tahun lalu.
“Gimana, Ram? Udah baca? Bagus nggak? Bestseller lho!” Tanya Rio pada Rama pada bedah buku itu. Rio tersenyum. Dia mengajak Rama untuk duduk di kursi taman gedung itu.
“Bagus. Sama persis dengan cerita aslinya. Bikin aku kembali ke masa lalu yang tak juga membuatku berpaling.” Jawab Rama.
“Ya ialah, Ram. Ini kan isi diary Ikka yang dia tulis dengan sepenuh hati. Aku udah nggak tau harus berterima kasih dengan cara apa kepada Ikka. Tanpa Ikka, aku bukan apa-apa. Buku ini nggak akan sukses kayak gini. Dia bener-bener sahabat sejatiku. Selama menulis buku itu, aku belajar banyak hal tentang kehidupan. Tentang bagaimana mencintai seseorang dengan tulus. Tentang bagaimana berharganya sebuah persahabatan. Tentang arti hidup sebenarnya. Tentang berharganya hidup. Dan tentang kerinduan seorang anak pada orang tuanya. Aku udah bener-bener nggak tau gimana caranya harus mengucapkan terima kasih kepadanya.” Jelas Rio. Rama hanya terdiam. Air matanya perlahan menganak sungai.
“Buatku, Ikka bener-bener orang yang sangat istimewa. Dialah gadis yang pertama ku cintai. Dan aku selalu berharap dia jadi yang terakhir. Aku selalu berharap dia yang jadi ibu untuk anak-anakku. Karena kebaikan dan kelembutan hatinya, aku nggak pernah bisa berpaling darinya hingga kini. Setelah 4 tahun kematiannya.”
“Yah, aku tahu itu, Ram. Aku cuma ingin kamu tau, bahwa Ikka nggak akan bahagia kalo kamu masih kayak gini. Belum ikhlas menerima kepergiaannya.” Rama mengambil secarik kertas dari dompetnya. Dia membuka dan membacanya.

Buat Rama,
Terima kasih atas segalanya ya.
Aku nggak akan pernah ngelupain semua kenangan manis dan pahit yang telah kita lewati bersama. Aku nggak akan pernah ngelupain saat kamu bilang, kamu sayang sama aku dulu. Karena itu adalah saat terindah yang pernah kualami. Dan aku juga nggak akan ngelupain senyum kamu saat itu. Karena senyum itu adalah senyum termanis yang penah ku lihat.
Rama, aku hanya ingin kamu tahu, bahwa selama ini aku mengidap penyakit kanker Otak stadium akhir. Dan penyakit ini hanya dapat membuatku rapuh. Perlahan tapi pasti, penyakit ini akan membunuhku. Dan penyakit inilah yang akan membawaku terbang ke langit dengan membawa segenap cintaku padamu. Aku hanya inginkan satu permintaan darimu. Jangan pernah tangisi kepergianku. Aku nggak mau kamu bersedih. Aku nggak inginkan itu. Maafkan aku harus pergi. Maafkan aku harus mengingkari janji kita untuk selalu bersama. Jika aku diberi waktu walaupun hanya sebentar, aku ingin habiskan waktu itu bersama orang-orang yang kusayangi. Terutama kamu. Cinta pertama sekaligus cinta terakhirku. Mungkin saat kertas ini sampai di tangan kamu, aku udah nggak ada. Maafkan aku atas segala kesalahanku. Aku hanya ingin kamu tahu, walaupun ragaku mati, tapi jiwaku akan selalu ada di hatimu. Aku akan selalu mencintaimu. Dan aku akan membawa cinta ini sampai aku mati.
Aku sangat mencintaimu…
Salam manis penuh cinta,
Ikka

Rama meneteskan air matanya di atas nama Ikka. Rio merangkul sahabatnya itu. “Rama, walaupun dia telah pergi, yakinlah bahwa dia akan selalu di hatimu selamanya, sampai akhir hayatmu. Sama seperti kamu di hatinya. Kamu ada di hatinya sampai di akhir hayatnya.”
“Makasih ya, Yo, kamu udah selalu nasihatin aku. Aku mau, kamu simpan surat ini. Aku nggak mau hanyut dalam kesedihan lagi.” Pinta Rama. Rama menyerahkan surat itu pada Rio. Rio hanya menerimanya dan menyelipkan dalam bukunya. “Yo, kayaknya, acaranya bedah buku mu udah mau dimulai deh. Masuk yuk!” Rama berdiri dan diikuti oleh Rio. Mereka berjalan menuju pintu masuk gedung itu.
Tapi buku Rio jatuh tanpa disadarinya. Tertinggal di taman. Sendiri. Angin bertiup sedikit kencang. Buku itu terbuka oleh angin. Surat Ikka keluar dengan perlahan. Terbawa oleh angin sedikit jauh dari tempat itu.
Seseorang berjalan di taman itu dan memungutnya. Surat dan buku itu. Dia melihat keduanya sambil tersenyum manis. Lalu dia menghilang. Bagaikan angin. Cepat. Melesat. Terbang. Pergi ke nirwana. Melayang di antara awan. Ikka.

~selesai~
15 Desember 2008, 23.43 WIB

Jumat, 19 Februari 2010

Hidayah Akan Kembali - Sinopsis

Di loket pembayaran suatu rumah sakit, ada seorang pemuda yang tengah berdebat dengan petugas loket. Melunasi sesuatu. Ya, bayaran rumah sakit yang belum juga lunas. Tak ada uang. Ayahnya telah tiada sejak dia berusia lima tahun. Ibunya hanya seorang tukang cuci. Dan kini sang ibu sedang terbaring sakit di ruangan yang berisi puluhan orang sakit.
Tak lama Rifqi, pemuda itu mulai beranjak dari loket pembayaran itu dengan wajah yang lesu. Stress. Tak mengerti harus bagaimana untuk menyelesaikan pembayaran. Melangkah menuju taman rumah sakit.
Di taman rumah sakit, dia duduk di kursi taman sambil menunduk. Menangis. Pusing. Tak tahu harus bagaimana. Tak lama, seorang gadis dengan kalung salib yang terpasang manis di lehernya duduk di sebelah Rifqi. Natasha, namanya. Dia teman sekolah Rifqi yang kebetulan juga sedang menjenguk saudaranya yang sakit. Lalu perbincanganpun terjadi di antara mereka berdua. Rifqi menceritakan semua yang sedang dirasakannya pada Natasha. Tentang ibunya yang tengah sakit. Tentang bayaran rumah sakit yang harus segera dilunasi. Natasha tersenyum misterius saat mendengar cerita Rifqi.
Lalu Natasha menawarkan diri untuk membayar seluruh biaya rumah sakit ibu Rifqi. Dan Rifqi tak perlu menggantinya. Tapi Rifqi menolak tawaran itu. Tak mau merepotkan orang lain. Tak ingin ada hutang budi dengan Natasha. Natasha terus membujuk dan meyakinkan Rifqi. Lalu dia memperbolehkan Rifqi menganggapnya sebagai utang. Dia juga mengatakan bahwa Rifqi boleh membayarnya kapanpun. Rifqi tampak berpikir.
Konflik terjadi di hatinya. Di satu sisi, dia membutuhkan uang itu untuk pengobatan ibunya. Kalau tidak dibayar, ibunya tidak akan operasi dan sakitnya makin parah. Tapi di sisi lain, dia tak ingin memiliki hutang dengan orang lain. Apalagi Natasha beragama non muslim. Nasrani. Akhirnya, Rifqi memutuskan untuk menerima bantuan dari Natasha.
Biaya rumah sakit dilunasi oleh Natasha. Ibu Rifqi sudah boleh pulang. Semenjak itu, mereka menjadi teman dekat. Natasha kerap membawakan makanan saat berkunjung ke rumah Rifqi. Rifqi juga membantunya dalam hal pelajaran. Maklum, Rifqi adalah bintang kelas.
Saat mereka ngobrol, terkadang mereka membahas mengenai agama. Natasha kerap menceritakan bagaimana nasrani. Begitu juga Rifqi. Tapi Natasha lebih mendominasi. Dia menceritakannya dengan sangat meyakinkan. Betapa gampangnya menjadi hamba yang taat ala nasrani. Hanya dengan rajin berdoa atau mengikuti kebaktian di gereja atau menyanyikan lagu pujian saja sudah bisa dibilang taat. Tidak seperti islam. Dalam islam, orang yang taat adalah orang yang melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Tuhan.
Suatu hari, ibu Rifqi meninggal. Sakitnya makin parah. Rifqi sangat kehilangan wanita yang menghadirkan dirinya di dunia itu. Dia kini sebatang kara. Sendirian. Tak punya siapa-siapa lagi. Anak yatim piatu. Dia shock berat. Kondisi psikologisnya sangat labil.
Semenjak itu, Rifqi mulai berpikir. Mengapa Tuhan tak pernah adil padanya? Dia selalu mengikuti agama yang tauhid. Islam. Dia selalu taat. Rajin sholat, ngaji, puasa, akhlaknya juga baik. Tapi kenapa dia selalu diuji dengan ujian yang amat berat? Sedangkan Natasha yang tidak mengikuti agama Tuhan yang sebenarnya selalu diberi kenikmatan yang tak terkira. Padahal yang disembah Natasha adalah seseorang yang dianggapnya sebagai nabi sebelum Rasulullah saw. Hanya utusan Tuhan. Bukan Tuhan. Kenapa semua ini terjadi? Apa maksud Tuhan atas ini semua? Kenapa Tuhan tak adil padaku? Pikir Rifqi. Perlahan dia merasa bahwa cobaan yang datang selama ini adalah kutukan dari Tuhan untuknya. Tuhan tak pernah sayang padanya.
Rifqi yang selalu taat beragama, mulai goyah dengan imannya pada Tuhan. Dia mulai mengurangi ibadahnya. Kepercayaannya pada Islam mulai luntur. Ia sudah mulai jarang beribadah. Dia berpikir, untuk apa harus beribadah kalau nyatanya Tuhan tak pernah mempedulikan dan menyayanginya?
Di saat seperti itulah, Natasha mulai mencekokinya dengan surat-surat dalam Alkitab. Dia mulai meyakinkan Rifqi agar mau berpindah agama. Menceritakan bagaimana indahnya nasrani.
Rifqi mulai tertarik dengan agama tersebut. Agama yang bukan dari Tuhan. Agama yang menyimpang dari agama Tuhan. Selain karena pemikirannya yang dangkal mengenai Tuhannya, dia juga tertarik mempelajari agama tuhan palsu itu karena dia mulai mencintai Natasha yang selama ini selalu bersikap baik dan murah hati padanya dan ibunya saat ibunya masih hidup dulu.
Saat adzan maghrib berkumandang dengan merdunya, bukannya beranjak mengambil air wudlu, tapi dia malah ongkang-ongkang kaki sambil minum minuman keras di depan masjid. Masya Allah. Betapa sombongnya dia pada Tuhannya sendiri. Setelah sholat maghrib berjamaah, seorang ustadz menghampirinya. Menanyakan kenapa dia belum sholat. Dengan enteng dia menjawab, “Untuk apa aku sholat dan menyembah Tuhan yang tak pernah menyayangiku?”
Ustadz Utsman kaget mendengar ucapan Rifqi. Karena Rifqi yang beliau kenal adalah seorang pemuda muslim yang taat beragama dan selalu sabar dalam menghadapi cobaan. Tiba-tiba saja Rifqi bisa mengatakan hal yang sangat tidak pantas dikatakan oleh seorang muslim. Ustadz Utsman mulai menjelaskan mengenai agama Islam yang indah. Beliau juga mengatakan bahwa cobaan yang diberikan Allah adalah ukuran bagi sempurna atau tidaknya iman seseorang (QS. Al ‘Ankabuut: 2-3). Beliau banyak memberikan nasihat pada Rifqi. Beliau juga menjelaskan bahwa kaum kafir salah telah menuhankan nabi Isa as yang disebut yesus itu. Karena seorang nabi tidak akan menyuruh manusia untuk menyembah dirinya (QS. Ali ‘Imran: 79). Beliau juga menasihati agar tidak terpedaya dengan kemakmuran orang musyrik karena dengan kemakmuran mereka, mereka melawan dan membantah dengan alasan yang bathil untuk menghilangkan kebenaran (QS. Al Mu’min: 4-5).
Hati Rifqi kembali ragu untuk meninggalkan agama tauhid. Tak lama, sebuah mobil mewah menghampirinya. Kacanya terbuka. Natasha. Dia mengajak Rifqi pergi. Lalu Rifqi pamit pada Ustadz Utsman. Pergi meninggalkan masjid. Melesat di jalanan kota yang ramai. Ustadz Utsman hanya berharap Rifqi dapat kembali menemukan hidayah.
Natasha dan Rifqi pergi ke sebuah gua maria yang ada di pinggir kota. Jalanan menuju gua maria tersebut mulai sepi. Dengan tenang, Natasha mengemudikan mobilnya. Sepanjang perjalanan, Rifqi melihat hal-hal aneh. Dia melihat ada bintang dengan formasi yang membentuk lafadz Allah. Ada orang gila yang menyerukan agar ia tetap dalam Islam. ada banyak lafadz Allah di sepanjang perjalanan.
Di satu sisi, dia merindukan kesejukan yang ia rasakan saat beribadah pada Allah. Dia merindukan ketenangan hati yang dulu ia rasakan saat Islam ada di hatinya. Di sisi lain, dia juga mencintai Natasha. Gadis yang selalu membujuknya untuk murtad. Sebuah dilemma besar yang sulit. Dia harus memilih agamanya atau urusan cintanya. Aku harus memilih yang mana? Pikir Rifqi.
Tiba-tiba mobil yang dikemudikan Natasha tidak stabil. Mobil jadi zig zag tak karuan di jalanan aspal yang sepi. Jantung Rifqi berdegup dengan kencang. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Ketakutan akan kematian seketika membayangi pikirannya. Mau kemana jiwaku saat aku mati nanti? Keyakinanku belum pasti. Aku akan ikut siapa? Islam atau nasrani? Pikir Rifqi. Bayangan kematian itu menghantuinya.
Mobil Natasha akhirnya menghantam pohon di pinggir jalan. Ringsek. Di persawahan yang luas. Jauh dari mana-mana. Kepala Natasha menghantam kemudi. Berdarah. Perdarahan hebat terjadi di kepalanya. Tak terselamatkan. Kepala Rifqi menghantam kaca mobil dengan keras. Hingga kacanya retak. Jalanan sepi.
Rifqi sempat pingsan sebentar. Tak lama, dia terbangun. Pusing. Sakit. Kepalanya berat. Darah segar mengucur pelan dari kening dan hidungnya. Dia masih belum seratus persen sadar. Tapi tak lama dia sadar. Dia sangat bersyukur dia dapat terlepas dari maut yang akan menjemputnya.
Saat keluar dari mobil itu, dia mendengar adzan isya’ yang sangat merdu. Jantungnya berdegup sangat kencang. Hatinya bergetar. Suara panggilan mulia itu meneduhkan hatinya. Dia seperti jatuh cinta kembali pada Islam. Air matanya menganak sungai di pipinya. Allah SWT telah memberikannya kesempatan untuk bertaubat nasuha. Allah masih mencintainya. Istigfar segera ia panjatkan. Tangis pecah dengan hebohnya. Penyesalan menyelimuti hatinya. Dia segera bersujud istigfar. Air matanya terus mengalir. Dia hanyut dalam sujud taubatnya. Hanyut dalam doa-doanya. Saat bersujud, dia seperti bedialog dengan Allah. Dia rindukan suasana seperti ini. Akhirnya dia dapatkan kembali ketenangan hati yang sempat hilang dulu. Beribu kali dia mohon maaf pada Allah dan berterima kasih kepadaNya karena telah diselamatkan dari maut dan telah memberinya kesempatan untuk bertaubat. Hidayah itu telah sampai padanya.
Tiba-tiba kepalanya sakit. Sakitnya menjalar ke seluruh tubuh. Pusing. Dunia serasa berputar. Nyawanya seperti ada yang menarik. Lalu tak sadarkan diri.
Seminggu setelah kejadian itu, Rifqi berjalan di antara nisan-nisan bisu di pemakaman nasrani. Di sebuah nisan bertuliskan ‘Natasha’, dia terhenti. Ia hanya terdiam. Tak perlu berdoa.
Rasa cinta yang dulu meliputi hatinya berubah menjadi rasa benci yang begitu besar. Karena gadis itu, dia hampir meninggalkan agamanya. Meninggalkan agama yang akan mengantarnya ke surga Allah. Dia tak pernah bersedih mengetahui bahwa gadis itu telah tiada. Dia sempat menyesal pernah mencintai Natasha. Tapi saat ia pulang ke rumah, dia menemukan surat dari Natasha, yang menyatakan bahwa Natasha mulai tertarik ada agama Islam. Rifqi hanya dapat menyesali bahwa ia tidak dapat membantu dan menuntun Natasha ke jalan Allah.
Tapi baginya yang penting sekarang adalah ia akan memeluk Islam hingga akhir hayatnya. Sampai malaikat menjemputnya. Dia menyerahkan segala urusan pada Allah. Termasuk mengenai jodoh. Karena Allah telah berfirman dalam QS Ar-Rum: 21, Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir. Dia yakin Allah telah menyiapkan seorang perempuan sholehah yang sepadan dengannya untuk menemaninya beribadah bersama pada Allah.
Sebuah kejadian tak patut untuk ditangisi. Tapi untuk dikenang dan untuk diambil pelajaran dan hikmah yang terkandung dalam kejadian tersebut. Baginya, Islam adalah satu-satunya agama yang dapat mengantarkannya ke surga Allah. Karena hanya Islam lah agama yang dimiliki oleh Allah (QS Ali Imran:19).

Hidayah Akan Kembali - Script Film

1. ESTABLISH SHOT
Hari masih gelap. Rifqi sudah menimba air dari sumur ke dalam sebuah kendi yang biasanya digunakan untuk mengambil air wudlu. Lalu ia berwudlu. Setelah berwudlu, ia mengambil sarung dan pecinya. Lalu melangkahkan kaki ke masjid. Di masjid, ia bertemu dengan Ustadz Utsman. Sebelum sholat shubuh dimulai, mereka sempat bersalaman dan berbincang-bincang. Tak lama sholat shubuh berjamaah dimulai. Setelah sholat selesai, Rifqi berjalan pulang, lalu bersiap-siap untuk bersekolah. Dari menyetrika baju sampai menyiapkan sarapannya sendiri. Pukul 06.00 WIB, dengan berjalan kaki ia berangkat ke sekolahnya yang berjarak tiga kilometer dari rumahnya.
Cut to cut. Saat jam bekernya berbunyi, Natasha bangun. Saat ia terbangun, pembantunya sudah siap di depan kamarnya untuk segera menyiapkan segala keperluan sekolahnya. Dari seragam hingga buku-buku pelajarannya. Setelah itu, Natasha berjalan menuju ruang makan untuk sarapan dan bertemu dengan kedua orangtuanya. Setelah mengambil sepotong roti tawar dan meminum susu, Natasha mencium pipi kedua orang tuanya untuk berpamitan berangkat sekolah. Pukul 06.30 WIB, Natasha berangkat sekolah diantar oleh sopirnya dengan mobil mewah orang tuanya. Natasha sampai di sekolah saat Rifqi juga baru saja tiba di sekolah.

2. INT. SEKOLAH. RUANG KELAS-PAGI
Day 1. 10.00 WIB.

Natasha sedang berkumpul dengan teman-temannya. Mereka mengajak Natasha untuk pergi ke mall siang ini. Tapi Natasha menolak. Natasha akan menjenguk saudaranya yang sakit di rumah sakit sepulang sekolah nanti. Rifqi sedang mengobrol dengan teman sebangkunya. Dia mengajak Rifqi untuk belajar kelompok pulang sekolah nanti. Tapi Rifqi menolak karena ia harus menjaga ibu di rumah sakit.

Teman Natasha
Nat, nanti pulang sekolah ke mall yuk! Udah lama lho, kita nggak pergi ke mall bareng. Mau kan, Nat?

Natasha
Bukannya aku nggak mau pergi, tapi nanti pulang sekolah, aku udah janji buat jenguk saudaraku yang ada masuk rumah sakit. Maaf ya. Nggak apa-apa kan?

Teman Natasha
Nggak apa-apa kok. (Tersenyum)

Teman Rifqi
Qi, nanti belajar kelompok yuk! Ada pelajaran yang aku masih kurang mengerti. Gimana? Mau nggak?

Rifqi
Aduh, maaf banget ya. Sepertinya aku nggak bisa. Ibuku sakit. Aku harus jaga ibu. Maaf ya. Mungkin lain kali. Nggak apa-apa kan?

Teman Rifqi
Ya udah. Nggak apa-apa kok. Semoga ibu cepat sembuh ya.

Rifqi
Amin… (Tersenyum)

3. INT. RUMAH SAKIT. LOKET PEMBAYARAN-SIANG.
Day 1. 14.00 WIB.

Rifqi berdebat dengan petugas loket pembayaran rumah sakit. Memohon petugas tersebut agar mau memberi keringanan biaya rumah sakit ibunya. Saat itu Natasha berjalan masuk ke dalam ruang tunggu di dekat loket dan melihat Rifqi. Terheran. Petugasnya tetap bersikukuh untuk tidak memberikan keringanan. Lalu Rifqi pergi dari loket.

Rifqi
Pak, saya mohon, beri saya keringanan biaya. Saya ini orang nggak mampu, Pak. (Memelas)

Petugas Loket
Maaf, dik. Saya tidak bisa memberi keputusan. Ini di luar kewenangan kami. Lagipula biaya segitu sudah termasuk murah.
(Wajahnya judes)

Rifqi
Saya mohon, Pak. Saya butuh keringanan itu. Kalo tidak, ibu saya tidak bisa menjalani pengobatan.

Petugas loket
Sekali lagi maaf, dik. (Mencoba tetap ramah)


Rifqi

Ya sudah. Makasih ya, Pak.(Beranjak pergi)

4. EXT. RUMAH SAKIT. TAMAN-SIANG.
Day 1. 14.15 WIB.

Rifqi duduk di kursi taman (prop.) sambil menundukan kepala. Memikirkan biaya rumah sakit. Tiba-tiba Natasha yang baru saja menjenguk saudaranya datang dan duduk di sebelahnya. Dia penasaran dengan apa yang diperdebatkan oleh Rifqi dan petugas loket itu. Natasha mengajak Rifqi berbicara. Dan Rifqi menceritakan semuanya. Natasha mau membayar semua biaya.

Natasha
Rifqi, kamu kenapa? (Duduk di sebelah Rifqi)

Rifqi
Nggak apa-apa. (Menunduk)

Natasha
Nggak usah bohong sama aku. Aku bisa lihat kamu lagi ada masalah. Cerita aja.
(Sambil membetulkan posisi kalung salib di lehernya yang melenceng(prop.))

Rifqi
(Terdiam sebentar, matanya menerawang) Ibuku sakit. Kanker paru-paru. Butuh operasi. Tapi aku nggak punya uang. Aku sudah nggak tau harus cari uang kemana.

Natasha
(Terdiam, tersenyum misterius) Gimana kalo aku aja yang bayar? Kebetulan di tabunganku ada sedikit uang.

Rifqi
(Memalingkan wajah dan melihat Natasha) Nggak, Nat. Aku nggak mau punya hutang budi sama kamu.

Natasha
(Terdiam.memikirkan cara lain) Begini aja, kamu boleh anggap ini sebagai sebagai hutang. Kamu boleh bayar kapan aja kok.

(OS)
Rifqi

(Memikirkan ucapan Natasha)
Kalau aku menolak, aku nggak bisa melunasi. Tapi kalau aku menerima, dia kan agamanya nasrani. Seorang muslim nggak boleh akrab sama orang non muslim kan? Gimana ya? Apa aku terima aja? Um… Aku terima aja lah! Mau gimana lagi?
(Menghembuskan nafasnya)

Rifqi
(Mengganggukan kepala) Iya deh, Nat. Terima kasih ya.

Natasha
(Tersenyum) Ayo kita ke loket pembayaran. Kita bayar biaya operasi ibu kamu. (Beranjak terlebih dahulu dan Rifqi mengikutinya)

(Insert: lampu ruang operasi yang menyala)

5. INT. SEKOLAH. PERPUSTAKAAN-KORIDOR-KANTIN-SIANG
Day 8. 10.30 WIB.

Seminggu setelah itu…
Rifqi sedang asyik membaca buku. Natasha menghampirinya. Meminta diajarkan beberapa pelajaran yang kurang dimengertinya. Lalu mereka pergi menuju kantin. Membeli minuman lalu ngobrol. (memperlihatkan keakraban mereka)

6. INT.RUMAH NATASHA.RUANG TAMU-SORE.
Day 8. 15.00 WIB.
Rifqi mengajari Natasha mengenai pelajaran sekolah yang agak sulit. Natasha memperhatikannya. Setelah selesai, mereka ngobrol. Tanpa sengaja mereka membicarakan tentang agama.

Natasha
Rifqi, kamu tahu bagaimana cara beribadahnya umat hindu?

Rifqi
Aku nggak tahu. Aku belum pernah lihat ataupun dengar. Emang cara ibadahnya umat nasrani gimana?

Natasha
Dalam nasrani itu, beribadahnya dengan berdoa dengan rosario atau di gua maria gitu. Terus kalau hari minggu kebaktian di gereja. Kalau Islam bagaimana? (Bercerita dengan antusias dan meyakinkan)

Rifqi
Kalau Islam, sholat, puasa, ngaji dan masih banyak lagi. Semuanya bermanfaat lho. Selain bisa dapat pahala, sholat juga merupakan senam yang gratis dan sehat.

Natasha
Katanya kalau Islam itu nggak kenal pacaran ya? Wah, nggak nyenengin ya. Kalau perempuan harus pakai kerudung kan? Pasti gerah banget deh!

Rifqi
Yah, itulah Islam. Memang berat. Tapi kalau ikhlas menjalaninya malah jadi menyenangkan lho..

Natasha
Tapi berat ah! Enakan juga agamaku.

Rifqi
Agama kita kan beda. Tiap agama kan punya aturan sendiri-sendiri.(Tersenyum) Aku pamit pulang ya, Nat. Udah ngerti kan cara mengerjakan soal ini? (Berdiri lalu berjalan ke pintu)

Natasha
Udah kok. Makasih ya.(Rifqi berjalan keluar rumah, Natasha mengikutinya) Hati-hati ya, Qi. (Lalu menutup pintu)

7. EXT. RUMAH RIFQI. TERAS-MALAM.
Day 9. 20.00 WIB.

Rifqi sedang melamun. Mencoba jujur pada hatinya tentang perasaannya pada Natasha. Dia kembali mengingat saat mereka bersama. (insert. Saat di taman rumah sakit. Saat di perpus sekolah. Saat di kantin sekolah.) Dia teringat bahwa belum sholat isya’. Dia berjalan ke dalam rumah lalu mengambil air wudlu dan sholat. Selesai sholat, dia berdoa. Lalu hatinya tenang.

(OS)
Rifqi

(Diam, kepala menengadah ke langit melihat bintang)
Apa iya aku suka sama Natasha? Aku nggak pernah ngerasain
yang kayak gini waktu sama cewek. Kalau iya, mending jangan deh. Dia kan orang nasrani. Masa’ aku suka sama orang yang ingkar dari Allah? (Terdiam tak mengerti harus bagaimana) Masya Allah! Aku belum sholat isya! (Dia segera melangkah masuk ke dalam rumah dan mengambil air wudlu

8. INT. RUMAH RIFQI. HALAMAN. KAMAR IBU-SIANG.
Day 16. 14.00 WIB.

Natasha memarkirkan mobilnya di pelataran rumah Rifqi. Lalu keluar dan melangkah menuju pintu rumah sambil membawa plastik berisi makanan. Rifqi membukakan pintu untuk Natasha. Rifqi mempersilahkan Natasha masuk ke dalam rumah. Mereka berjalan menuju kamar ibu. Ibu sedang terbaring sakit. Penyakitnya kambuh lagi. Natasha menyarankan agar ibu dibawa ke rumah sakit. Rifqi menolak dengan alasan tidak punya uang. Lagi-lagi Natasha menawarkan bantuan. Akhirnya ibu dibawa ke rumah sakit.

Natasha
(Mengetuk pintu rumah Rifqi) Permisi…

Rifqi
(Membukakan pintu) Eh, ada Natasha. Masuk, Nat.
(Mempersilahkan Natasha masuk dengan berjalan masuk rumah. Natasha mengikutinya) Ada perlu apa, Nat?

Natasha
Aku mau ketemu ibu. Udah lama nggak ketemu sih.
Kangen sama beliau. Ibu kamu baik banget sama aku. Ibu mana?

Rifqi
(Mengajak Natasha masuk ke kamar ibu) Ibu sakit lagi, Nat. Dari tadi batuk-batuk terus. Tadi malah batuk darah. (Wajahnya sedih)

Natasha
Ya Tuhan, ibu kenapa lagi? Apa penyakitnya kambuh? (Tiba di kamar ibu)
(Meletakkan tas plastik di kursi) (Rifqi hanya menggelengkan kepala)
Ibu, kenapa? Kata Rifqi, ibu sakit lagi ya?

Ibu Rifqi
Eh, ada Natasha. Ibu nggak kenap-kenapa kok, Nak. Cuma batuk aja.
uhuk…uhuk… uhuk…
(ibu menutup mulutnya dengan telapak tangan. Saat mulutnya dibuka, telapak tangan ibu sudah penuh dengan darah.)

Natasha
Ya Tuhan, ibu. Ibu ke rumah sakit lagi ya?
Rifqi, ayo bawa ibu ke rumah sakit.
(Natasha membersihkan tangan ibu dengan tisu, dia menoleh pada Rifqi yang ada di sebelahnya)

Rifqi
Aku nggak bisa bawa ibu ke rumah sakit. Aku nggak punya uang, Nat. (Dengan nada sedih)

Ibu Rifqi
Nggak usah, Nak. Ibu nggak kenapa-kenapa kok. (Pelan)

Natasha
Ibu, harus ke rumah sakit. Kalau nggak ke rumah sakit, nanti batuknya tambah parah.
Rifqi, ayo bawa ibu. Soal biaya biar aku yang urus.

Rifqi
Nggak bisa, Nat. Aku udah terlalu banyak berhutang sama kamu.

Natasha
Ya ampun, masih aja mikir kayak gitu. Aku kan udah pernah bilang, kamu bisa bayar kapan aja kok. Atau aku sendiri yang akan membawa ibu kamu ke rumah sakit?!
(Dengan nada keras sambil membangunkan badan ibu yang sudah lemas)

Rifqi
Iya, Nat. Iya! (Membantu Natasha memapah ibu sampai ke mobil, lalu mengunci pintu rumah, lalu masuk ke mobil dan Natasha membawa mobilnya ke RS)

7. INT. RUMAH SAKIT. UGD-SORE.
Day 16. 17.00 WIB.

Rifqi menemani ibu di ruangan kecil yang hanya bersekat gorden di UGD RS. Natasha datang dengan membawa plastik berisi makanan yang baru saja dibelinya. Memberikan Rifqi makanan. Rifqi memakannya. Ibu sedang tertidur.

Natasha
Rifqi, ini makan dulu. Kamu belum makan kan? (Sambil menyodorkan roti pada Rifqi)

Rifqi
Makasih ya, Nat. Kamu baik banget sama aku.
(Sambil menerima roti lalu membuka dan memakannya)


Natasha

Sama-sama. Agamaku selalu mengajarkan tentang kasih pada sesama manusia. Islam juga begitu kan?

(OS)
Rifqi

(Mengangguk)
Natasha sungguh gadis yang baik. Salah nggak ya kalau aku suka sama dia? Dia cantik dan baik. Tapi apakah, aku pantas berdampingan dengannya? Yaa Allah, salahkah jika aku mencintainya? (Sambil melihat wajah Natasha)

Ibu Rifqi
Uhuk… Uhuk… Uhuk…(Kali ini batuk ibu makin keras dan tak berhenti, darah segar keluar dari bibir ibu)

Rifqi
(Segera meletakkan rotinya, panik) Ibu, kenapa?

Natasha
(hanya diam, beranjak keluar untuk memanggil suster)

Ibu Rifqi
Natasha, nggak perlu panggil suster, Nak.

Natasha
(tidak jadi keluar)

Ibu Rifqi
Rifqi, anakku, ibu ingin istirahat. Ibu ingin tidur dulu. Kalau nanti ibu nggak bangun, ibu jangan dibangunin ya. Natasha, ibu titip Rifqi ya.

Natasha
(Menunduk)

Rifqi
Ibu, jangan bilang gitu.

Ibu Rifqi
Yakinlah, bahwa Allah selalu bersamamu. Tetaplah pada agamamu. Yang rajin sholat ya. Sholat itu tiangnya agama. Jaga diri baik-baik ya. Ibu sayang kamu. Laillahaillah muhammadarasullulah. (ibu meninggal)

Rifqi
Ibu!!! Jangan tinggalin Rifqi! (Histeris)

Natasha
Rifqi, sabar… Mungkin ini emang saatnya beliau pergi. Relakan, Qi.

Rifqi
Ibu… (Memeluk tubuh ibu) Aku belum sempat membahagiakan ibu, Nat.

Natasha
Relain, Qi. Aku yakin, ibu akan tenang di alam sana. (Suasana hening)

8. EXT. PEMAKAMAN UMUM-PAGI.
Day 17. 10.00 WIB.

Rifqi duduk di depan makam yang masih basah. Nisannya tertulis nama ibu. Rifqi menangis. Natasha terdiam di sebelahnya. Rifqi masih meraung-raung. Tidak terima dengan kepergian ibunya.

Rifqi
Ibu, Rifqi sudah nggak punya siapa-siapa.
(Menangis)
Yaa Allah, kenapa Engkau ambil ibuku dengan begitu cepat? Engkau tidak adil!!

Natasha
Rifqi, kamu nggak boleh ngomong seperti itu.

Rifqi
Nggak, Nat. Tuhan nggak adil sama aku. Tuhan nggak pernah sayang sama aku!

Natasha
Tuhan selalu sayang umat-Nya. Lebih baik kita pulang, Qi. Ini udah siang. Kamu perlu tenangin diri.

Rifqi
Nggak, Nat. Aku masih mau di sini.

Natasha
Rifqi, ayolah. Ibu kamu perlu ketenangan. Relain ibu pergi. Bukankah tiap manusia akan mati nantinya? (Dia berdiri)

Rifqi
(Terdiam, lalu mengikuti Natasha berdiri dan beranjak pergi dari pemakaman)

9. INT. SEKOLAH. RUANG KELAS-PAGI
DAY 19. 09.00 WIB.

Rifqi hanya terdiam di tempat duduknya. Ada salah seorang temannya yang mengucapkan bela sungkawa padanya. Dia hanya terdiam dan menunduk. Teman Rifqi itu mencoba mengajaknya berbicara, tapi Rifqi hanya terus diam. Dia tak putus asa, dia terus mengajak berbicara. Akhirnya Rifqi menatap temannya itu lalu memarahinya. Hal yang tak pernah ia lakukan pada orang lain. Karena kaget, temannya itu terjatuh, lalu bangkit dan melangkah menjauhi Rifqi. Teman-teman sekelas Rifqi terkejut dengan perubahan sikap Rifqi lalu menjauh dari Rifqi

10. INT. SEKOLAH. RUANG TATA USAHA-KORIDOR-RUANG AGAMA-KORIDOR-RUANG TATA USAHA-SIANG.
Day 19. 11.00 WIB

Dua hari sejak kepergian ibu…
Rifqi duduk di depan meja karyawan TU. Karyawan TU memberikan pengarahan pada Rifqi. Wajah Rifqi tampak resah. Shock. Karyawan TU itu memberitahukan bahwa Rifqi harus segera membayar uang SPP yang nunggak 6 bulan itu. Jika tidak, Rifqi tidak akan boleh mengikuti ujian semester minggu depan.

Karyawan TU
Rifqi, kamu harus segera melunasi uang SPPmu. Kalo belum bayar, kamu tidak boleh ikut tes semester minggu depan. (Sambil memegang kertas)

Rifqi
Tapi saya tidak punya uang, Pak. Tulang punggung keluarga saya adalah ibu saya. Dan Ibu saya baru saja meninggal. Dan sekarang Saya belum mendapat pekerjaan. (Wajahnya sedih)

Karyawan TU
Ini sudah jadi peraturan sekolah kita. Kalau SPP belum lunas, tidak boleh ikut tes. Jadi secepatnya harus kamu lunasi. Saya masih ada urusan. Kamu boleh kembali ke kelas. (Sambil berdiri lalu beranjak pergi)

(OS)
Rifqi

(Berdiri dan beranjak pergi, melangkahkan kaki menuju kelasnya)
Uang SPP? Aku dapat uang dari mana? Kerja aja nggak. Uang peninggalan ibu juga tinggal sedikit. Untuk hidup sehari-hari aja nggak cukup. Apalagi bayar uang SPP! Aku harus gimana? Apa yang harus aku lakukan?
(Saat berjalan melewati ruang agama nasrani, dia bertemu dengan Natasha)

Natasha
Rifqi? Dari mana? (Sambil tersenyum)

Rifqi
Nggak dari mana-mana kok. Cuma dari TU.

Natasha
Ah, bohong kamu!

Rifqi
Beneran kok. Tadi aku dari sana.

Natasha
Ngapain?

Rifqi
Nggak ngapa-ngapain kok. Eh, Nat, aku duluan ya. Mau ke kelas. (Lalu beranjak pergi)

(OS)
Natasha

(Memikirkan sesuatu)
Rifqi kenapa ya? Dari TU? Ngapain ya? Cari tau, ah! (Berjalan menuju TU, saat di TU dia langsung bertanya pada karyawan TU yang tadi)

Natasha
Permisi, Pak. Saya mau tanya. Apa benar tadi Rifqi Maulana ke sini?

Karyawan TU
Iya benar. Ada apa?

NatashaAda perlu apa dia ke sini, Pak?

Karyawan TU
Dia belum melunasi uang SPP 6 bulan. (Tanpa rasa curiga)

(OS)
Natasha

(Terdiam sambil menunduk)
Kesempatan bagus!

Natasha
(Kembali mengangkat kepalanya) Berapa jumlahnya, Pak?

Karyawan TU
900 ribu.

Natasha
Ouw… ya sudah. Makasih, Pak. Permisi. (Lalu beranjak pergi)

(OS)
Natasha

Ini kesempatan bagus buat aku.
Hm…Tuhan selalu kasih aku jalan yang lancar buat misi ini. Jadi aku bisa turutin apa kata papa dan mama. (Tersenyum)

11. INT. RUMAH NATASHA. RUANG KELUARGA-KAMAR ORTU-MALAM.
Day 19. 19.00 WIB.

Natasha dan keluarganya sedang ngobrol di ruang keluarganya. Orang tua Natasha menanyakan perkembangan usaha Natasha dalam memurtadkan Rifqi. Natasha kurang setuju dengan niat orang tuanya. Terjadi perdebatan antara mereka. Akhirnya orang tuanya meninggalkannya di ruang keluarga. Natasha kembali berpikir. Lalu menyusul orang tuanya dan menyatakan setuju dengan niat mereka.

Mama
Nat, gimana usaha kamu menyesatkan Rifqi? Jelas ada perkembangan kan? (Tersenyum)

Papa
Iya, sudah lama kamu nggak cerita sama papa mama tentang dia. Sudah sampai mana prosesnya?

Natasha
Sejauh ini udah ada kok, Pa, Ma. Rifqi mulai nyalahin Tuhannya karena kematian ibunya. Dan sekarang dia lagi butuh uang buat bayar SPP.

Mama
Wah, kesempatan bagus itu! Kita bayar aja, Nat. Dengan begitu, lama-lama dia akan bersimpatik terhadap kita. Lalu akhirnya mau mengikuti apapun yang kita katakan.

Natasha
Niatku juga begitu kok, Ma. Tapi kadang aku merasa nggak enak sama dia. Kadang aku nggak tega tiap dia bilang Tuhan tidak adil. (Wajahnya murung)

Mama
Biarin aja! Dengan begitu, dia bakalan mau pindah agama kan? Karena udah nggak percaya sama Tuhannya. (Wajahnya angkuh, sedikit cemberut)

Natasha
Tapi, Ma, bukannya ini perbuatan yang jahat ya? Bukan kah agama Islam juga agama yang baik?

Mama
Nggak! Biarin aja! Kenapa sih kamu bisa bilang kayak gitu?? (Natasha hanya diam) Atau jangan-jangan kamu mulai tertarik sama Islam?! (Masih diam) Jawab, Nat!! Tuhan kasih kamu mulut buat ngomong!

Papa
Ma, tenang… Biarkan Natasha jawab dulu.

Natasha
Aku nggak tertarik sama Islam kok. Tapi kadang aku mikir, kenapa sih kita harus benci sama mereka?

Mama
Asal kamu tahu, Nat. Islam itu agamanya orang bodoh, pemalas, biang kerok dari segala kerusuhan dan kekerasan! Bahkan dalam Islam sendiri, seorang suami boleh memukul istrinya! Kamu tau kan artinya apa? Itu kekerasan!

Natasha
Tapi kenapa aku lihatnya nggak kayak begitu ya, Ma. Mereka baik dan ramah kok. Mereka juga nggak pernah mendiskriminasi aku waktu aku lagi bareng sama mereka. Kenapa sih kita nggak bisa hidup berdampingan dengan mereka?

Mama
(Marah) Natasha! Kamu kenapa sih?! Kayaknya anak miskin itu udah mencuci otak kamu dengan ajarannya ya!! Pokoknya, Nat, Mama nggak mau tau! Kamu harus bisa menyesatkan Rifqi! Mama nggak mau tau!! (Mama pergi meninggalkan ruang keluarga diikuti papa)

(OS)
Natasha

(Masih terdiam di ruang keluarga)
Kenapa sih mereka kayak gitu? Padahal kalo semua umat hidup berdampingan dan tenggang rasa, dunia akan damai kan? Lagipula, umat Islam juga baik-baik kok. Kenapa ya? Aku harus gimana? Satu sisi aku liat kalo Islam itu indah. Tapi di sisi lain, aku nggak mau ngecewain mama dan papa. Aku belum pernah membuat mereka bangga sama aku. Aku ingin mereka bangga sama aku. Apa iya, dengan menyesatkan Rifqi, bisa membuat mereka bangga?
(Mulai beranjak pergi dan melangkah ke kamar mama dan papa, mengetuk pintu lalu membukanya dan melangkah masuk)

Mama
Kenapa lagi?

Natasha
(Duduk di sebelah orang tuanya yang duduk di tempat tidur)
Pa, Ma, maafin aku ya. Aku akan menyesatkan Rifqi! Aku janji, Ma, Pa.

Papa
Bagus, Nat. Papa bangga kamu bisa bertekad kayak begitu. Terus apa langkah selanjutnya? (Mama tersenyum)

Natasha
Pertama, kita harus bayar SPP Rifqi dulu, Pa. Nanti saat dia makin goyah sama agamanya, Natasha akan cekokin dia dengan surat-surat dari Alkitab.

Mama
Bagus, Nat. Langkah yang bagus.

Natasha
Ya udah. Ma, Pa, aku ke kamar dulu ya, mau ambil jaket. Aku pengin ke taman. (bangkit lalu melangkah keluar kamar dan berjalan ke kamarnya)

(OS)
Natasha

Tuhan, aku serahkan semuanya padaMu.

12. EXT. TAMAN KOTA-MALAM.
Day 19. 20.00 WIB.

Rifqi duduk termenung memikirkan setiap kejadian menimpanya akhir-akhir ini. Ibunya sakit. Ibunya meninggal. biaya sekolah yang masih nunggak 6 bulan. Semuanya datang dengan cepat. Beruntun. Rifqi mulai menyalahkan Tuhan. Dia membuang gelang tasbih yang selalu terpasang manis di tangannya. Lalu pergi meninggalkan taman.

Rifqi
(Duduk di kursi taman, melamun)
Tuhan, kenapa Engkau tega padaku? Kau ambil semua orang yang kusayang! Engkau tega padaku! Aku salah apa padaMu? Aku selalu beribadah kepadaMu. NamaMu selalu kusebut di setiap waktuku. Aku selalu mencintaiMu. Tapi kenapa Engkau tak pernah mencintaiku? Sedangkan Natasha? Dia tak pernah beribadah padaMu. Jangankan beribadah padaMu, menyembahMu saja tidak! Dia malah menganggap utusanMu, nabi Isa sebagai Engkau. Tapi kenapa dia mendapat kenikmatan yang sangat banyak? Aku tak mengerti kenapa Engkau tak adil padaku! Aku selalu taat padaMu, tapi Engkau menyiksaku dengan ini semua! Natasha? Dia tak pernah taat, tapi Engkau memberinya kenikmatan! (Marah, berteriak, nafasnya tersengal-sengal. Mencoba untuk menenangkan diri)

(OS)
Rifqi

Apa mungkin dengan aku pindah agama nasrani, aku akan mendapatkan kebahagiaan yang aku cari? (Rifqi bangkit dari duduknya lalu melepas gelang tasbih yang selalu terpasang manis di tangannya lalu memandangi gelang itu) Mungkin Islam bukan jalanku. Aku udah nggak butuh gelang tasbih ini. Untuk apa aku harus berdzikir lagi? Toh Tuhan tak pernah mendengarkan doaku. (Rifqi melempar gelang tasbihnya) (Rifqi menunduk, lalu pergi meninggalkan taman)

Natasha memasuki kawasan taman kota saat Rifqi beranjak pergi dari taman. Natasha duduk di kursi taman yang tak jauh dari kursi taman tempat Rifqi duduk tadi. Kepalanya menengadah ke atas melihat bintang. Perlahan dia menangis. Merenungi niatnya untuk memurtadkan Rifqi. Hatinya kurang sreg dengan rencana itu. Dia menangis. Tiba-tiba terdengar suara orang membaca Al-Qur’an dari masjid dekat taman yang tadi ia lewati. Ada pengajian rutin. Hatinya merasakan sesuatu yang tak dapat ia lukiskan. Dia menemukan gelang tasbih milik Rifqi.

Natasha
Sekarang aku harus gimana? Aku nggak mau menyesatkan Rifqi. Entah kenapa, aku takut dalam menjalankan rencana ini. Tapi dengan cara apa lagi aku dapat membahagiakan orang tuaku? (Menangis)
(Tiba-tiba terdengar suara orang mengaji dari masjid)
Ya Tuhan (Terdiam lalu menangis) Mengapa hatiku selalu begini saat aku mendengar kalimat-kalimat itu? Lantunan ayat-ayat itu membuat hatiku tenang. Mengapa begini, Tuhan? Beri aku petunjukMu.(Menangis sambil memegang erat salib yang ada di kalungnya, tak lama suara itu menghilang)
(Menunduk, melihat gelang tasbih milik Rifqi, lalu memungutnya) Lho, ini kan punya Rifqi? Kok bisa di sini? Gelang ini kan nggak pernah lepas dari tangannya. (Memasukan gelang itu ke dalam saku
bajunya lalu beranjak pergi)

13. EXT. KORIDOR SEKOLAH. ISTIRAHAT-SIANG.
Day 20. 12.00 WIB

Natasha baru saja keluar dari ruang agama nasrani. Saat itu dia melihat Rifqi berjalan di koridor dengan lemas. Seperti tak memiliki semangat hidup. Seperti mayat hidup. Natasha merasa sedikit bersalah karena dia yang membuat Rifqi menjadi begini. Membuat jalan hidupnya tak jelas.

14. INT. SEKOLAH. RUANG TATA USAHA-SIANG.
Day 21. 11.00 WIB

Natasha berjalan menuju Ruang TU. Saat di TU, dia menemui karyawan TU. Dia akan membayar uang SPP Rifqi. Karyawan TU itu curiga pada Natasha. Lalu Natasha mengatakan bahwa Rifqi sedang ada urusan. Lalu pergi

Natasha
Permisi, Pak… Saya mau membayar uang SPP Rifqi Maulana siswa kelas XI IA 7.

Karyawan TU
Tunggu sebentar ya… (Mencari data) Kenapa kamu yang bayar? Rifqi di mana?

Natasha
(Dia bingung lalu memutuskan untuk berbohong) Kebetulan Rifqi sedang ada sedikit keperluan, Pak. Jadi saya yang dimintai tolong untuk membayarkannya.

Karyawan TU
Oh, begitu… Totalnya 900 ribu. (Natasha menyerahkan uangnya)

Natasha
Makasih ya, Pak. Saya permisi dulu. (Lalu meninggalkan ruang TU)

Tak lama berselang, Rifqi datang ke ruang TU untuk meminta keringanan. Dia terkejut saat mengetahui bahwa SPPnya sudah lunas. Lalu dia pergi mencari Natasha. Lalu mengucapkan terima kasih.

Rifqi
(Tak lama Rifqi datang) Permisi, Pak…

Karyawan TU
Ya? Ada apa?

Rifqi
Saya belum bisa bayar SPP, pak. Jadi saya mohon sekali lagi, beri saya keringanan biaya. Saya mohon, Pak

Karyawan TU
Atas nama siapa?

Rifqi
Rifqi Maulana kelas XI IA 7.

Karyawan TU
Sudah lunas kok. Baru saja dilunasi.

Rifqi
(Terkejut) Lho? Siapa yang melunasi, Pak?

Karyawan TU
Tadi ada seorang perempuan yang mengaku sebagai temanmu. Dia membayarkan SPPmu. Dia bilang, kamu sedang ada urusan.

(OS)
Rifqi

Natasha?

Rifqi
(Terkejut) Ya sudah, makasih ya, Pak. Permisi… (Berjalan meninggalkan TU, lalu berjalan mengitari sekolah mencari Natasha. Saat di kelas, dia melihat Natasha sedang bercanda dengan teman-temannya lalu mengajak Natasha berbicara) Natasha, bisa ngomong sebentar? (Rifqi mengajak Natasha ke depan kelas) Nat, apa benar kamu yang melunasi SPPku?

Natasha
(Bingung bercampur takut) Um… Iya, Qi. Maaf aku nggak bilang kamu dulu.

Rifqi
Nat, makasih ya. Aku janji aku bakal cari kerja secepatnya, gajinya buat bayar semua hutangku ke kamu. Aku janji, Nat. Maaf kalo aku ngerepotin kamu.

Natasha
(Tersenyum) Nggak perlu, Qi. Aku memang mau bantu kamu. Nggak usah diganti.

Rifqi
Tapi, Nat…

Natasha
Nggak apa-apa. (Tersenyum) Beneran nggak apa-apa kok. (Rifqi tersenyum pada Natasha, Natasha membalas senyumnya)

15. EXT. TAMAN SEKOLAH-SIANG.
Day 22. 14.30 WIB.

Bel pulang sekolah berbunyi. Natasha berjalan menuju bangku Rifqi yang ada di deretan kursi paling depan. Dia membawa Alkitabnya. Natasha mengajak Rifqi keluar bersama. Lalu mereka berjalan menuju taman sekolah. Di taman sekolah, mereka ngobrol. Natasha membuka Alkitabnya dan mencari halaman yang ia maksud. Menunjuk salah satu bagian dari halaman itu dan menunjukannya pada Rifqi. Setelah ditunjukkan, Rifqi tampak berpikir. Lalu Natasha mengajak Rifqi pulang.

16. INT. RUMAH NATASHA. KAMAR NATASHA-MALAM.
Day 22. 19.00 WIB.

Hati Natasha kembali tak tenang. Dia mengambil gelang tasbih Rifqi dari laci meja belajarnya. Dipandanginya gelang itu. Lalu dia menulis surat pada Rifqi. Ada sedikit rasa bersalah yang meliputi hatinya. lalu dia menulis sepucuk surat untuk Rifqi.

Natasha
Tuhan, salahkan apa yang kulakukan ini? (Mengambil gelang) Gelang ini, pasti dibuang karena Rifqi sudah tak yakin dengan agamanya. Ini semua karena aku. Aku membuat jalan hidup Rifqi menjadi tak terarah. Saat dia mempercayai Islam, hidupnya terarah. Tapi kini, yang ku lihat adalah Rifqi yang tak memiliki semangat hidup. (Dia mengambil kertas dan bolpen dari mejanya lalu menulis surat untuk Rifqi)

17. EXT. RUMAH RIFQI-SORE.
Day 23. 18.00 WIB.

Natasha turun dari mobilnya di pelataran rumah Rifqi. Dia ingin mengajak Rifqi ke sebuah gua maria di pinggir kota. ingin menunjukan pada Rifqi cara ibadahnya. Saat dia mengetuk rumah itu, ternyata rumahnya kosong. Rifqi sedang pergi. Dia meletakkan surat dan gelang tasbih milik Rifqi di kursi teras. Lalu pergi lagi dengan mobilnya.

18. EXT. HALAMAN MASJID-SORE.
Day 23. 18.15 WIB.

Adzan maghrib telah berkumandang dengan merdunya. Banyak muslim yang datang ke masjid untuk menunaikan sholat. Rifqi duduk di depan masjid. Saat adzan berkumandang, dia tidak bangkit untuk mengambil wudlu tapi malah nongkrong di depan masjid sambil meminum sekaleng kecil minuman keras. Saat sholat maghrib berjamaah selesai, seorang ustadz bernama ustadz Utsman datang menghampirinya.

Ustadz Utsman
Assalamu’alaikum, Rifqi. (Sambil tersenyum)

Rifqi
Eh, ada ustadz Utsman… Ada apa? (Malas)

Ustadz Utsman
Kamu sudah sholat maghrib?

Rifqi
Hah? Kenapa? Sholat? Belum.

U. Utsman
Kok belum? Tumben… Biasanya denger adzan langsung sholat. Ada keperluan apa?

Rifqi
Iya, saya emang rajin sholat. Tapi itu dulu…(Tersenyum sinis)

U. Utsman
Astagfirullah… Kamu ini kenapa, Rifqi? Sholat itu penting. Sholat itu tiangnya agama. Jadi harus selalu ditegakkan. Kalo tiangnya saja belum berdiri, bagaimana dengan amal-amal yang lain? Pasti kamu juga sudah tahu itu kan? (Masih sabar)

Rifqi
Halah… sudahlah!! Buat apa sholat? Buat apa puasa? Buat apa ngaji? (Mulai marah) nggak ada gunanya!

U. Utsman
Astagfirullah… Rifqi, beristigfar lah, nak. Sadarlah apa yang kamu katakan tadi salah, nak! Seorang muslim tidak patut berkata seperti itu.

Rifqi
Halah!! Istigfar, istigfar! Omong kosong! Sudah beribu-ribu kali saya istigfar dan selalu berdzikir, sudah beribu-ribu rakaat yang saya tunaikan saat sholat, saya sudah khatam Al-Qur’an berkali-kali, tapi Allah tak pernah sekalipun mendengar doa saya!! Saya selalu mencintaiNya! Tiap waktu namaNya selalu memenuhi hati saya. Saya selalu sabar dalam menghadapi cobaan dariNya! Tapi Allah tak pernah menyayangi saya! Jadi buat apa saya harus beribadah lagi?!

U. Ustman
Masya Allah… istigfar, nak. Allah selalu menyayangi setiap umatNya! Kalau tidak, bagaimana ada alam semesta?

Rifqi
Apa?! Allah menyayangi umatNya? Apakah dengan mengambil ayah saya saat saya butuh kasih sayang ayah, itu termasuk sayang? Apakah dengan tidak memberi kami rizki yang cukup, itu termasuk sayang? Apakah dengan mengambil ibu saya, satu-satunya keluarga saya di dunia ini, itu juga termasuk sayang? Dia tega mengambil semua yang saya miliki!

U. Utsman
Ya Allah… sadar, nak. Itu semua cobaan yang Allah beri untuk kamu. Agar kamu menjadi seorang hamba yang selalu bertaqwa padaNya. Dan cobaan itu pula yang menjadi ukuran keimanan seseorang. Allah berfirman dalam QS. Al’Ankabuut ayat 2-3, Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?(29:2) Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang dusta. (29:3). Jika seseorang memiliki iman yang kuat, maka ia melewati semua cobaan dengan kesabaran dan tawakal. Tapi sebaliknya, jika imannya lemah, maka ia melewati semua cobaan dengan hanya mengeluh dan menganggap cobaan sebagai kesialan.

Rifqi
(Terdiam) Tapi kenapa Allah memberi cobaan yang berat pada saya? Padahal saya selalu beribadah dengan taat padaNya. Tapi Dia tak pernah memberikan kenikmatan pada saya. Sedangkan teman saya, dia beragama nasrani, tapi kehidupannya menyenangkan. Orang tua yang utuh, kekayaan yang melimpah. Padahal dia adalah orang yang mengingkari Allah. Apa itu yang namanya Allah Maha Adil?!

U. Utsman
Janganlah kamu terpedaya oleh kemakmuran orang musyrikin. Itu cobaan untuk mereka. Dengan kemakmuran itu, mereka melawan dan membantah dengan alasan yang bathil untuk menghilangkan kebenaran. Allah berfirman dalam QS. Al Mu’min ayat 4-5, Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdaya kamu.(40:4) sebelum mereka, kaum Nuh dan golongan-golongannya yang bersekutu sesudah mereka telah mendustakan (rasul) dan tiap-tiap umat telah merencanakan makar terhadap rasul mereka untuk membantah dengan (alasan) yang bathil untuk melenyapkan kebenaran dengan yang bathil itu; karena itu Aku azab mereka. Maka betapa (pedihnya) azabKu?(40:5)
Ingat satu hal lagi, nak. Kaum nasrani salah besar karena menuhankan Nabi Isa as yang biasa mereka sebut sebagai yesus. Karena seorang nabi tidak akan menyuruh manusia untuk menyembah dirinya. Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran ayat 79, Tidak wajar bagi seorang manusia yang Allah berikan kepadanya Alkitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia : “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang yang rabbani (sempurna ilmu dan taqwanya pada Allah), karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.

Rifqi
(Terdiam, tak lama mobil Natasha datang, kaca mobilnya terbuka, Natasha melambaikan tangannya) Saya permisi, Ustadz. (Lalu berjalan menjauh)

U. Utsman
Nak, (Rifqi berhenti) Ingat, Islam yang akan menuntunmu ke surga! Dan hanya Islam lah agama yang dimiliki oleh Allah!(Rifqi hanya tersenyum lalu pergi)

(OS)
U. Utsman

Semoga Allah kembali menuntunmu ke jalan yang lurus. Jalan yang Dia ridhoi. (Lalu berjalan masuk ke masjid)

19. EXT. MOBIL NATASHA-MALAM.
Day 23. 18.45 WIB.

Natasha mengemudikan mobilnya dengan tenang menuju gua maria di pinggir kota. rifqi hanya terdiam di sepanjang perjalanan. Saat di perjalanan itu, dia melihat gugusan bintang membentuk lafadz Allah, bertemu orang gila yang menyerukan nama Allah, melihat banyak lafadz Allah, dan mendengar suara orang mengaji dengan merdu.

Rifqi
Nat, kita mau kemana sih?

Natasha
Gua maria. Kenapa?

Rifqi
Nggak apa-apa. (Terdiam)

(OS)
Rifqi

Apa iya, ini jalan terbaik yang akan ku pilih untuk hidupku selanjutnya? Apakah jalan ini yang akan mengantarkanku ke surga Tuhan? Apakah jalan ini yang akan membuat hidupku lebih baik?

(insert: ada gugusan bintang yang bersinar dengan terang, membentuk nama Allah)

Rifqi
(Takjub melihatnya) Ya Tuhan, indah banget!

Natasha
Apa yang indah?

Rifqi
Itu… ada bintang yang terang banget! Membentuk lafadz Allah. (Sambil menunjuk ke luar jendela mobil)

Natasha
(Menoleh ke arah yang ditunjukan Rifqi) Mana? Nggak ada kok! Kamu ngaco, ah!

(OS)
Rifqi

(Heran) Kok dia nggak bisa lihat ya? Aneh!! (Rifqi kembali melihat ke luar jendela, bintang itu terus bersinar) (Saat di traffic light, mereka berhenti. Tiba-tiba ada orang gila di depan mobil mereka)

Orang gila
Wahai manusia! Tetaplah pada agamamu! (Berjalan ke sisi Rifqi) Karena agama yang kau peluk adalah agama yang terbaik untukmu! (Di luar jendela Rifqi)

Natasha
(Panik) Qi, gimana nih? (Takut)

Rifqi
Nggak apa-apa. Yang penting pintunya udah kamu kunci. (Berusaha tenang, dia tertarik pada ucapan orang gila itu)

Orang gila
Agamamu lah yang akan mengantarkanmu ke surga Allah! Tetaplah beriman pada Tuhanmu! Allahu akbar! (Sambil mengepalkan tangannya dan mengarahkan ke udara) Hahahaha…… (Tertawa keras lalu pergi)

Natasha
(Lega) Akhirnya… (Lampu hijau menyala, dia menjalankan mobilnya)

(OS)
Rifqi

Apa maksud orang gila tadi ya? Apa Islam adalah agama yang terbaik? Apakah Islam jalan yang akan menuntunku ke surga? (Rifqi kembali melihat ke lingkungan yang dilewatinya) (Banyak lafadz Allah yang terdapat di pinggir jalan, tak lama Rifqi baru tersadar) Kok ada banyak lafadz Allah di sepanjang jalan ini ya? (Dia berpikir, karena tidak menemukan jawabannya, dia melupakannya)

Natasha
Qi, kamu jadi mau pindah ke agamaku?

Rifqi
Nggak tau, Nat. Aku juga masih bingung.

Natasha
Pikirkan ya, Qi. Yakinkan lah hatimu.

Rifqi
(Hanya tersenyum, dia kembali melihat lingkungan yang dia lewati, saat di traffic light, mereka kembali berhenti) (Tiba-tiba terdengar suara orang mengaji dengan merdu, Rifqi mendengarkannya dengan seksama)

(OS)
Rifqi

Udah lama banget aku nggak denger orang ngaji. Ya Tuhan, indah banget! (Dia hanyut dalam lantunan ayat-ayat Al-Qur’an)

(OS)
Natasha

Ya Tuhan, kenapa hatiku jadi kayak gini lagi? Aku nggak boleh kayak gini! (Dia meraih kaset di dekat tongkat persnelingnya dan memasukkannnya ke tape mobil, suara lagu pujian mengalun di mobil itu, tak lama lampu hijau menyala, mereka melanjutkan perjalanan)

(OS)
Rifqi

Ya Tuhan, hatiku sedikit tenang saat mendengar ayat-ayat Tuhan tadi. Apakah Islam merupakan jalan yang terbaik? Kenapa saat mendengar lagu pujian, bukan ketenangan yang ku dapat? Kenapa ini?

Natasha
Qi, apa sih yang buat kamu nggak yakin buat masuk ke agamaku?

Rifqi
Aku juga nggak tau, Nat. Rasanya hatiku belum bisa yakin. Aku masih bingung.

Saat memasuki kawasan persawahan yang luas, tiba-tiba mobil Natasha oleng. Jalannya tidak stabil. Mobilnya zig-zag di jalanan yang sepi. Natasha tidak bisa mengendalikan mobilnya. Dia panic. Remnya blong. Karena panic, Natasha terus menginjak gasnya. Rifqi ketakutan. Natasha terus mencoba mengendalikan mobilnya. Akhirnya mobil menabrak pohon yang ada di pinggir jalan.

(OS)
Rifqi

Ya Tuhan? Apa yang harus aku lakukan? (Bayangan kematian menghantuinya) Kalau aku mati, jiwaku akan kemana? Keyakinanku belum pasti. Aku akan ikut siapa? Islam atau nasrani? Ya Tuhan, bagaimana ini?

Rifqi
Nat, ini gimana?

Natasha
Aku juga nggak tau! (Natasha membelokan mobilnya ke pinggir jalan, lalu menabrak pohon) AAAAA!!!!!

Mobilnya ringsek. Kepala Natasha menghantam kemudi mobil. Darah segar mengalir dari kepalanya. Terjadi pendarahan hebat di kepalanya. Dia tak lagi bernyawa. Mati. Kepala Rifqi menghantam kaca mobil dengan keras. Rifqi pingsan. Tak lama dia terbangun. Kepalanya sakit. Darah segar mengalir pelan dari keningnya. Dia segera keluar mobil. Dia sangat bersyukur karena Tuhan masih menyelamatkannya dari maut. Saat di luar mobil, dia melihat sekitaenya. Sepi. Tiba-tiba dia mendengar suara adzan yang sangat merdu.

Rifqi
(Baru tersadar) Ya Tuhan, terima kasih! Engkau masih memberiku waktu. (Keluar dari mobil, lalu melihat ke sekitar, tiba-tiba terdengar adzan yang merdu, dia menangis)
Subhanallah… Astagfirullah… Ya Allah, maafkan aku. Aku telah khilaf. Karena aku hampir menyekutukanMu. Terima kasih, Ya Allah, Engkau masih mau memberiku waktu untuk bertaubat. Engkau telah menyadarkan hambaMu yang khilaf ini. (Dia menangis lalu bersujud memohon ampun) Ya Allah, maafkan aku. Aku hampir melakukan dosa yang sangat besar. Aku hampir murtad, ya Allah! Maafkan aku. aku hampir menduakanMu! Terima kasih, Engkau telah menyelamatkan aku dari maut yang hampir merengut nyawaku. Aku sadar, Engkau memang selalu mencintai umatMu. (Terus menangis, hatinya tenang) Ya Allah, sudah lama aku merindukan ketenangan hati ini. Aku merindukan saat seperti ini.

Tiba-tiba kepalanya sakit. Sakitnya menjalar ke seluruh tubuhnya. Pusing. Dunia serasa berputar. Dia memegang kepalanya. Lalu tak sadarkan diri.

20. EXT. PEMAKAMAN. MAKAM NATASHA-SIANG.
Day 30. 14.00 WIB.

Rifqi baru saja pulang dari rumah sakit. Dia di rawat selama seminggu. Rifqi berjalan pelan di antara nisan-nisan bisu. Di makam yang bertuliskan nama Natasha, dia berhenti. Hanya memandangi. Tak berdoa.

Rifqi
Natasha, gara-gara kamu, aku hampir menyekutukan Tuhanku! Kalau aja kamu nggak menceritakan tentang nasrani dan membantuku saat ibuku sakit dulu, mungkin aku masih menjadi Rifqi yang selalu taat pada Allah. Aku hampir kehilangan jalan hidup terbaik yang kumiliki. (Marah) Aku benci kamu, Nat. Aku pikir kamu orang yang baik. (Lalu pergi)

21. INT. TERAS RUMAH RIFQI-SIANG.
Day 30. 14.30 WIB

Sepulang dari pemakaman, Rifqi kembali ke rumah. Saat akan membuka pintu rumahnya, dia melihat gelang tasbihnya tergeletak di kursi terasnya. Dia mengambil gelang itu lalu memakainya. Saat melihat surat itu, dia mengambilnya dan duduk di kursi teras, lalu membacanya.

Rifqi
(Melihat gelang) Lho, tasbihku! Akhirnya kembali! Alhamdulillah… (Melihat surat) kok ada surat? (Melihat namanya) Untuk Rifqi Maulana? Dari siapa ya? (Lalu membukanya)

(Insert: Natasha nulis surat)

(OS)
Natasha

Teruntuk Rifqi Maulana, maafkan aku. sebenarnya selama ini aku baik sama kamu karena aku ingin menyesatkan kamu. Maafkan aku. Aku yakin, kamu langsung marah sama aku karena ini. Aku melakukannya juga terpaksa. Aku dipaksa orang tuaku. Aku ingin membahagiakan mereka. Aku terlahir dari keluarga nasrani yang taat. Hampir semua keluargaku adalah aktifis gereja. Ibuku, dia aktifis gereja yang sangat membenci Islam. Dia selalu memiliki niat untuk menyesatkan umat muslim. Sampai akhirnya, dia menyesatkan ayahku yang seorang ketua pengurus pengajian di suatu masjid. Cinta yang membutakannya. Sejujurnya, aku tak ingin melakukan ini. Jujur aku sangat tertarik pada Islam. Buatku Islam itu indah. Islam mengajarkan banyak sekali pelajaran tentang hidup, bagaimana pergaulan yang baik, bagaimana cara berhubungan antar manusia. Aku benar-benar kagum. Tiap kali mendengar suara orang mengaji, hatiku hanyut dalam tiap kalimatnya. Hatiku bergetar. Aku seperti jatuh cinta pada Islam. Sekali lagi maafkan aku. Setelah membaca surat ini kamu boleh marah sama aku. Aku rela kok. Satu hal lagi, aku sangat menyukai kepribadianmu saat imanmu pada Islam masih sangat kuat. Sekali lagi, maafkan aku. dengan balutan maaf, Natasha.

Rifqi
(Dia terdiam)Ya Allah, Nat. Nggak seharusnya aku menyalahkan kamu. Kamu nggak salah. Bahkan harusnya aku yang menuntunmu. Maaf, Nat. (Dia masuk ke dalam rumahnya dengan kesedihan, lalu duduk di kursi dalam rumah) Nat, maafin aku. Aku nggak bisa membawamu ke jalan yang benar. Harusnya aku bisa. Aku egois. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri. Maaf, Nat. (Menunduk)

22. EXT. PERJALANAN MENUJU MASJID-SORE.
Day 31. 18.00 WIB

Rifqi berjalan kaki menuju masjid. Dia tersenyum. Sudah lama, dia tak melakukan rutinitasnya itu. Dia sangat bersyukur masih diberi kesempatan untuk melakukannya. Langkahnya tenang. Gelang tasbihnya sudah terpasang manis di tangan kanannya. Tasbih itu yang menemaninya saat dia berdzikir.

(OS)
Rifqi

Masa-masa sulit selama sebulan ini tak akan pernah kulupakan. Karena dari peristiwa yang menimpaku sebulan ini, memberikan aku banyak pelajaran. Bersabar dalam menghadapi cobaan, memperkuat iman pada Allah, menjaga hubungan dengan orang non muslim. Aku mencintai Natasha, walaupun kini dia telah pergi. Menghadap Tuhan. Walaupun begitu, aku tak ingin menyesali semuanya. Karena suatu peristiwa tidak pantas untuk disesali. Tapi untuk diambil hikmahnya. Aku tak ingin bersedih atas kepergiannya. Karena aku yakin, Allah sudah menyiapkan seorang gadis yang sholehah yang sepadan denganku untuk selalu menemaniku dalam beribadah pada Allah. Karena Allah telah berfirman pada QS. Ar-Ruum:21, Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir. (Tak lama, ia sampai di masjid dan bertemu dengan Ustadz Utsman, dia memeluk erat lelaki itu) Dan agama yang akan aku peluk sampai tarikan nafasku yang terakhir hanyalah Islam. Karena hanya Islam agama yang diridhoi Allah. Allah berfirman dalam QS. Ali ‘Imran:19, Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisabNya. Dan sekarang, hidayah itu telah kembali padaku.