Jumat, 09 Oktober 2009

Tak ada cinta yang lebih indah

Sang surya perlahan masuk ke peraduannya. Burung terbang melayang menuju cakrawala. Langit senja elok menghiasi lukisan Tuhan yang teramat indah ini. Warnanya orange semburat merah. Subhanallah. Gunung Merapi dan Gunung Merbabu bersanding mesra di ufuk barat. Sawah yang mulai menguning membentang luas seperti karpet yang digelar Tuhan dengan segala berkah dariNya. Sungai jernih yang membelah persawahan memantulkan warna sang surya yang mulai tenggelam. Angin menari-nari di antara pepohonan. Subhanallah. Tak ada cinta yang lebih indah daripada cinta Allah pada umatNya.
Sebuah gubug reot yang di depannya terdapat kolam ikan kecil, taman dengan berbagai bunga berwarna-warni, sungai kecil nan jernih di samping gubug, pancuran air yang suaranya menentramkan jiwa, dan sebuah jembatan bambu kecil yang menghubungkan gubug itu dengan dunia luar, berdiri tegak di depan lukisan Tuhan itu. Di teras gubug reot yang mungil dan sederhana, duduklah seorang bidadari cantik yang muram hatinya. Keasrian gubug yang menentramkan hati itu, ternyata tidak mempengaruhi suasana hati gadis itu. Pipinya yang putih perlahan basah oleh air mata. Hatinya tak kunjung tenang. Padahal niatnya datang ke tempat yang sangat indah itu adalah untuk menenangkan diri. Gadis itu memandang lukisan Tuhan itu dari gubugnya. Hampir tiap hari ia melihatnya. Tapi ternyata lukisan indah ini tak juga dapat membuatnya tenang.
Air matanya mengalir membentuk aliran sungai yang jernih di wajahnya yang ayu. Dia tetap dalam lamunannya. Dia tidak mempedulikan bahwa matahari tenggelam hari ini sebenarnya jauh lebih indah di antara senja-senja sebelumnya. Dia masih setia dengan lamunannya. Dia tak peduli lagi pada angin yang memainkan jilbabnya. Air matanya terus mengalir. Hampir tiap sore dia duduk memandangi lukisan Tuhan yang teramat indah. Tapi walaupun begitu, hatinya tak pernah tenang.
Sebenarnya gadis itu tak patut untuk menangis. Gadis itu hidupnya sudah sangat sempurna. Hidup di antara kedua orang tua dan seorang nenek yang baik. Hidupnya berkecukupan, malah terkadang berlebihan. Menjadi salah satu dari deretan nama mahasiswa terbaik di fakultas psikologi di salah satu universitas terbaik dan terkenal di negeri ini yang terletak di Jogjakarta itu. Dua minggu lagi, dia akan melangsungkan pendadarannya (tes final yang berupa presentasi dari skripsi). Untuk itu, dia datang ke sini. Di rumah neneknya. Yang tenang. Yang masih alami. Belum ada listrik. Tujuannya agar dia dapat menenangkan pikiran dan hatinya. tapi dia tak kunjung tenang.
Dia terdiam. Mematung. Meratapi sesuatu. ingatannya kembali ke masa lalunya. Tepatnya, ingatannya saat dia masih duduk di salah satu bangku di SMA negeri terbaik di kota Solo. Ya, ingatannya 4 tahun lalu.

Masa remajanya memang bisa dikatakan tidak menyenangkan. Masa yang paling indahnya hanya diisi dengan belajar. Aktivitasnya monoton. Sekolah, Belajar, Les. Tiap hari selalu seperti itu. Tapi kadang dia juga ikut rapat PMR, karena dia adalah salah satu anggota PMR di sekolahnya.
Tapi perlahan, masa remajanya berubah menjadi lebih berwarna ketika dia bertemu dengan Aji. Wakil Ketua PMR. Icha dipertemukan dengan Aji ketika tergabung dalam kepanitiaan diklat PMR.
Awalnya Icha memang tidak pernah mempedulikan Aji. Tapi Aji yang berkepribadian menarik dan berkharisma dapat menarik hati Icha. Perlahan getaran indah mulai muncul di hatinya saat dia berpapasan atau berbicara pada Aji. Aji juga bersikap sangat baik padanya. Dia juga perhatian pada Icha. Semenjak rapat koordinasi pertama, mereka kerap mengobrol dan bercanda bersama.
Dalam suatu rapat diklat, Aji duduk memimpin forum berbentuk lingkaran itu. Kebetulan Icha duduk berhadapan dengannya. Jantung Icha berdetak kencang. Dia sulit menguasai dirinya. Akhirnya dia memilih untuk diam dan menunduk. Sambil sesekali melirik Aji. Saat dia melirik Aji, Tanpa sengaja pandangan mereka bertemu. Aji tersenyum pada Icha. Manis sekali. Icha membalas senyuman itu dengan malu. Tuhan, kenapa aku jadi seperti ini? Aku nggak boleh kayak begini, batin Icha.
Icha tak pernah tahu bahwa sebenarnya Aji juga mengalami hal yang sama. Saat memimpin rapat, dia diharuskan duduk berhadapaan dengan gadis yang ada di hatinya. Sesekali dia juga mencuri pandangan pada Icha. Saat itulah pandangan mereka bertemu. Dia tersenyum manis dengan harapan agar Icha dapat membaca arti senyumannya. Icha membalas senyumannya itu dengan manis. Tuhan, marahkah Engkau jika aku mencintai gadis yang ada di depanku ini? Tuhan, jagalah hati ini. Doa Aji.

Aji dan Icha mewarnai hari-hari mereka dengan ngobrol dan bercanda bersama. Keduanya tak pernah mengetahui bahwa sebenarnya mereka saling menyayangi. Tapi semua itu berubah saat Aji berusaha jujur dengan hatinya sendiri. Dia tak dapat membohongi dirinya sendiri bahwa dia mencintai Icha atas dasar cintanya kepada Allah.
Suatu sore, setelah rapat diklat selesai, Aji mengajak Icha membicarakan obrolan yng mereka gemari. Buku. Obrolan mereka kembali terjadi dengan asyik. Walaupun mereka kerap membicarakan hal tersebut, tapi mereka tak pernah bosan membahasnya.
“Cha, aku boleh ngomong sesuatu ya.” Tanya Aji pelan. Wajahnya was-was. Gugup.
“Ngomong apa?” jawab Icha dengan heran. Tak biasanya Aji segugup itu. Icha ikut was-was. Ada yang aneh dari Aji. jangan-jangan……
“Um…… Icha, boleh nggak aku sayang kamu?”
Icha kaget. Dia sedikit kurang percaya dengan apa yang dikatakan Aji. Tapi dia senang sekali dengan apa yang dikatakan oleh Aji. “Um…… sayang sebagai apa?”
“Sayang sebagai orang yang istimewa di hatiku.” Icha tersenyum dalam hati. Hatinya sungguh tak dapat dilukiskan. “Aku sayang sama kamu, Cha.”
Icha hanya terdiam. “Maaf, Ji…”
“Ya udah, nggak apa-apa kok, Cha.” Aji memotong. Wajahnya berubah menjadi sedih. Hatinya remuk. “Aku pamit pulang ya, Cha. Makasih atas jawabannya.” Aji bangkit dan berjalan menjauh.
Icha hanya menatap kepergiannya. Dia ikut bangkit dan mengejarnya. “Aji !! kok aku ditinggal sendiri sih? Aku kan belum selesai ngomong.” Icha berdiri di hadapannya. “Aji, kok kamu ninggalin aku sendirian sih? Kamu jahat!”
“Jahat kenapa, Cha?” Tanya Aji dengan wajah malas.
“Kamu jahat! Ninggalin aku sendirian! Potong omonganku tadi. Aku kan belum selesai ngomong. Kamu juga jahat! Nggak mau denger pengakuan terbesar dalam hidupku!” jawab Icha dengan tersenyum.
“Maaf, Cha. Hatiku lagi nggak bisa diatur. Pengakuan apa?”
“Itu akibatnya kalo kamu potong omonganku! Pengakuan mengenai hatiku.”
“Maksudnya?” aji masih belum mengerti.
“Aji, maafin aku. Aku juga nggak bisa ngebohongin hatiku sendiri.” Icha hanya tersenyum manis. “Kalo sebenarnya aku juga sayang kamu.”
Aji kaget tapi juga senang. Tak mempercayainya. “Bener, Cha?” Icha hanya tersenyum. Wajah Aji yang muram berubah menjadi cerah. “Makasih ya, Cha. Aku nggak nyangka kamu juga rasain yang sama kayak aku.” Icha kembali tersenyum. “Aku lega banget.”
“Makanya, kalo ada orang ngomong, dengerin sampai selesai.” Icha tersenyum dengan manis.
“Iya, Cha. Maafin ya. Tapi makasih banget ya.” Aji tersenyum manis. “Cha, udah sore, pulang yuk!” Icha mengganggukan kepala. Mereka berjalan keluar sekolah bersama.

Semenjak hari itu, hari-hari Icha mulai diwarnai dengan warna-warni cerah yang indah. Kini, dia juga dapat merasakan yang dimaksud masa remaja sebagai masa yang paling indah. Semenjak hari itu pula, mereka semakin akrab. Tapi tanpa status. Karena pada hari itu, Aji tidak pernah mengajak Icha berpacaran. Walaupun begitu, mereka selalu bersama. Layaknya sepasang kekasih.
Tapi hari-hari indah mereka harus berubah menjadi hari-hari yang kosong dan sepi saat Aji berkeputusan untuk menganggap Icha hanya sebagai sahabatnya. Dia tak ingin konsentrasi belajar Icha terganggu karena kedekatan mereka. Kejadian itu terjadi tepat setahun setelah Aji mengutarakan isi hatinya.
“Cha, maafin aku. Mungkin ini saatnya kita untuk memendam rasa sayang kita. Atau bahkan sebaiknya dilupakan aja.” Ucap Aji. Wajah Icha yang cerah berubah. Dia shock. Tak menyangka dengan apa yang dikatakan oleh Aji.
“Kok gitu, Ji?” Tanya Icha. Matanya panas. Wajahnya juga panas. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Aku nggak ingin konsentrasi belajar kamu jadi terganggu karena kedekatan kita ini. Sebentar lagi kan kita akan menghadapi ujian nasional. Ini yang nentuin masa depan kita selanjutnya. Lagipula, agama melarang laki-laki dan perempuan yang bukan mahram untuk memiliki hubungan di luar pernikahan. Maafin aku, Cha.” Jelas Aji.
“Tapi kenapa kamu baru bilang ini sekarang? Saat rasa sayangku ke kamu sudah begitu besar?” Tanya Icha.
“Maaf, Cha. Aku baru sadar, bahwa hubungan kita ini nggak boleh. Aku nggak mau, rasa sayangmu ke aku jadi melebihi cintamu pada Allah.”
“Kamu jahat, Ji. Kenapa kamu baru bilang sekarang. Tau kayak gitu, kita nggak usah mulai semua ini.” Icha menangis mendengar ucapan Aji tentang hubungan mereka yang sebenarnya dilarang agama itu.
“Maaf, Cha.” Aji terdiam. Hanya kata itu yang dapat dia ucapkan. “Tapi kamu mau terima semua ini kan?”
“Aku terima semua ini dengan ikhlas karena Allah. Aku yakin, Allah udah mengatur jodoh umatNya. Kalo emang Allah menjodohkan kita, kita pasti akan bersatu lagi. Aku yakin itu, Ji.” Ucap Icha dengan ikhlas. Aji cukup terkejut mendengar ucapan Icha yang begitu dewasa. Tapi dia lega.
“Alhamdulillah. Makasih, Cha. Aku emang nggak salah milih kamu buat ngisi sedikit tempat di hatiku yang selama ini hanya akan aku berikan pada seorang gadis yang berkepribadian baik, tegar dan sholehah.” Aji tersenyum. Icha hanya terdiam mendengar ucapan Aji. ucapan itu harusnya dapat menentramkan hatinya. walaupun begitu, ucapan itu tak akan pernah ia lupakan. Karena baginya ucapan itu adalah sebuah janji. “Cha, aku mau, kamu raih cita-cita kamu sebagai psikolog. Aku tau kamu sangat menginginkan impianmu itu.”
“Aku juga mau, kamu meraih cita-cita kamu sebagai dokter.” Ucap Icha. Ucapan Icha tersebut, ditanamkan dalam-dalam di hati Aji. karena baginya itu adalah sebuah suntikan semangat untuk meraih cita-citanya.
“Icha, aku janji. Saat kita sudah sama-sama mapan, yaitu saat aku udah jadi arsitek dan kamu udah jadi psikolog, aku akan kembali padamu. Dan saat itulah, aku ingin mengajak kamu untuk mencintai Allah bersama-sama dalam suatu ikatan pernikahan. Kamu mau nunggu aku kan?” ucap Aji. Icha hanya mengangguk.
“Aku akan tunggu kamu. Ingat, Ji. Janji adalah hutang. Dan janji kamu ini akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.” Ucap Icha mengingatkan. Icha tersenyum. Senyum yang penuh keikhlasan.
“Makasih, Cha. Aku emang nggak salah pilih kamu.” Aji terdiam. Icha terdiam. Angin menari-nari di antara mereka. Suara angin yang bergesekan dengan dedaunan menemani mereka di sore itu. Sore yang tak akan pernah Icha lupakan. karena di sore itu, ada seorang lelaki yang berjanji untuk melamarnya saat mereka telah mapan kelak.

Angin sore kembali memainkan jilbabnya. Suara adzan maghrib dari langgar terdekat mulai terdengar. Dia bangkit dari duduknya dan mulai melangkah ke pancuran air. Mengambil air wudhu. Air pegunungan yang dingin mulai menyentuh kulitnya. Air dingin itu siap meruntuhkan dosa-dosanya dalam tetesan terakhirnya. Tak lama, gadis itu masuk ke dalam gubug dan melaksanakan ibadah wajibnya. Neneknya menyusul di sampingnya untuk melaksanakan ibadah secara berjamaah.
Ketika shalatnya selesai, dia berdoa dan meminta pada Allah agar Dia memberinya ketenangan hati. Memberinya kejelasan akan janji Aji padanya empat tahun silam. Icha juga meminta agar Allah memberinya kejernihan otak saat pendadaran dua minggu lagi.
Ba’da shalat maghrib, Icha kembali duduk di beranda gubug itu. Dia memandangi bintang yang berkelap-kelip di langit malam ini. Walaupun matanya memandang bintang, tapi pikirannya melayang kembali ke masa remajanya. Dia kembali mengingat harapan Aji padanya. Dia kembali mengingat janji Aji padanya. Hal itulah yang selama ini membuat dia semangat. Dia menyadari cintanya pada Aji tak hanya cinta monyet belaka. Tapi sebuah cinta yang dilandaskan dengan cinta karena Allah. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari pada cinta yang didasarkan karena Allah. Dan dia juga yakin, bahwa Aji mencintainya juga karena Allah.
Dia menghirup udara malam ini dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Aku akan raih cita-citaku. Aku bisa lalui tes final ini dengan baik. Aku harus tenang. Aku bisa. Aku bisa. Batinnya. Dia membuka matanya. Tersenyum manis. Senyum yang jarang terlihat semenjak kejadian itu.

Seorang lelaki memasuki sebuah rumah mewah di kawasan elite di kota Solo. Badannya tegap. Berkharisma. Dia menekan tombol bel rumah tersebut. Tak lama, rumah itu dibukakan oleh seorang wanita paruh baya berpakaian abaya yang cantik dengan jilbab putihnya.
“Assalamu’alaikum, umi. Umi, masih inget sama saya?” sapa lelaki itu. Wanita paruh baya itu berpikir.
“Wa’alaikumsalam. Siapa ya?” umi berusaha mengingat. Tapi tak lama, umi tersenyum. Umi ingat. “Pasti kamu Aji kan? Umi nggak mungkin lupa sama kamu. Gimana kabarnya sekarang? Aji udah lama banget nggak ke sini. Ayo masuk dulu!” Umi mengajak Aji masuk ke dalam rumah.
“Alhamdulillah, Aji baik-baik aja kok, Mi. Maaf, Mi. Aji nggak pernah silaturahmi ke sini. Kan Aji kuliah di Bandung, Mi. itupun juga jarang pulang, Mi.” jawab Aji.
“O iya, umi baru ingat, Aji kan kuliah di ITB ya. Jurusan apa sih? Um… biar Umi tebak! Dulu, Icha pernah cerita kalo kamu pengin jadi ... Apa ya? Umi lupa! Tapi Umi inget fakultasnya! Pasti tehnik lingkungan ya?”
“Wah, umi bener banget!” Aji malah mengajak umi bercanda dan ngobrol sampai lupa tujuannya ke rumah itu. Setelah setengah jam, Aji baru sadar. “Masya Allah, Mi. Aji jadi lupa. Tadi Aji ke sini niatnya mau nyari Icha. Icha di mana, Mi? kabar Icha gimana, Mi?”
“Icha lagi nggak di Solo. Dia lagi ada di rumah nenek di lereng Merapi sana. Sebaiknya Aji jangan nyusul Icha ke sana. Kasihan Icha. Setelah kamu ngebuat keputusan saat itu, Icha jadi pemurung. Tapi walaupun gitu, Icha jadi mahasiswa terbaik di fakultasnya. Icha ke sana buat tenangin diri. Sebentar lagi, dia akan pendadaran untuk kelulusannya. Kalo Aji pengin ketemu sama Icha, datang aja ke acara wisudanya sebulan lagi. Di salah satu gedung pertemuan di Jogja.” Jelas Umi, ibu Icha. Beliau memang ramah pada semua orang. Dan beliau memang menyuruh semua teman Icha memanggilnya Umi. Sama seperti Icha memanggil ibunya. Supaya akrab.
“Ouw… gitu, Mi. ya udah, makasih ya, Mi. Aji pulang dulu.” Aji bangkit dan berjalan menuju pintu. “Umi, Aji pulang ya. Assalamu’alaikum.”
“Aji, kamu perlu tau, Icha nggak pernah sekalipun ngelupain kamu. Ati-ati ya. Wa’alaikumsalam.” Ucap Umi. Aji tersenyum pada Umi. Kemudian berbalik dan berjalan menuju mobilnya. Umi tersenyum melihat Aji. Sebentar lagi akan ada kebahagiaan dan cinta yang akan mewarnai rumah mewah itu. Sebentar lagi putri tercintanya yang selalu muram, akan kembali ceria seperti dulu lagi.

Aji keluar dari sebuah perusahaan terkenal di Solo. Dia keluar membawa sebuah map berisi berkas-berkasnya. Dia tersenyum melihat kantor itu. Minggu depan dia akan mulai duduk di salah satu kursi di kantor itu itu.

Seorang gadis mematut dirinya di depan cermin. Wajahnya yang ayu dihiasi dengan make up tipis yang menambah kecantikannya yang tak hanya terpancar dari luar, tapi kecantikan hatinya juga terpancar dari wajahnya. Baju kebaya warna kuning gading yang dipadukan dengan jilbab warna senada menambah kecantikannya. Kebahagiaan meliputi hatinya. Di sampingnya tergantung baju toga hitam. Hari ini dia akan melangsungkan wisudanya. Umi memasuki kamar gadis itu. Umi tersenyum melihat anak gadis sematawayangnya yang akan diwisuda.
“Udah siap buat wisuda?” Tanya Umi. Icha tersenyum. “Umi Bantu pakein baju toganya ya.” Umi meraih baju toga itu dan memakaikannya pada Icha.
“Siap, Mi.” jawab Icha mantap sambil memakai baju toga. Tak lama, baju toga telah mendarat dengan indah di tubuhnya. “Ayo, Mi.” Icha meraih tasnya dan mengajak Umi keluar kamar.
Sepanjang jalan ke Jogja, hari Icha berdetak kencang. Hari ini dia akan diwisuda sebagai sarjana psikologi. Selanjutnya akan mengambil keprofesian setahun untuk menjadi psikolog. Lalu membuka praktek sendiri. Tapi tiba-tiba dia kembali teringat. Dengan siapa di akan melalui semua itu? Icha tak pernah tau.

Kebahagiaan Icha hari ini hampir sempurna. Dia tak hanya diwisuda. Tapi dia juga dinobatkan sebagai mahasiswa terbaik. Dan lulus dengan predikat cumlaude. Hatinya sangat bahagia ketika dia berjalan menuju panggung untuk menerima penghargaan. Keluarganya sangat bangga padanya. Juga Seorang lelaki yang ada di belakang deretan kursi tamu. Kebanggaan meliputi hatinya.
Setelah acara formal berakhir, Icha dan keluarganya keluar gedung lalu berfoto bersama. Icha juga berfoto bersama teman-teman seperjuangannya. Senyum manis mewarnai wajah-wajah sarjana psikologi yang baru diwisuda itu. Saat asyik berfoto, tiba-tiba ada yang memanggil Icha.
“Assalamu’alaikum, Icha.” Sapa lelaki yang ada di belakang deretan kursi tamu tadi. Icha menoleh. Wajah cerianya berubah menjadi wajah terkejut. “Gimana kabarnya, Cha?” icha masih terdiam.
“Wa’alaikumsalam. Alhamdulillah aku baik. Kamu sendiri gimana?” ucap Icha dengan terbata-bata. Masih belum percaya dengan kehadirannya.
“Alhamdulillah aku juga baik. Selamat ya, atas keberhasilan kamu. Aku ikut bangga.” Ucap lelaki itu.
“Syukran. Kamu sendiri gimana? Pasti udah lulus dari ITB kan? Pasti juga cumlaude deh!” Tanya Icha yang mulai menguasai suasana.
“Alhamdulillah, aku udah lulus. Dan alhamdulillah, aku juga cumlaude. Dan aku bisa sukses juga karena dorongan semangat yang begitu besar setiap mengingat masa lalu kita. Tentang janji kita. Tentang harapan kamu. Itu menjadi sebuah energi yang mendorongku hingga aku bisa berhasil. Makasih, Cha.” Jawab Aji. Icha hanya tersenyum. Dia menatap mata Aji. tapi tak lama menunduk. “Cha, aku kesini untuk membayar janjiku. Aku kesini untuk kembali menawarkan padamu segenggam cinta yang didasarkan oleh cinta karena Allah. Aku akan menepati janjiku. Icha, maukah kamu menghabiskan hidupmu untuk beribadah pada Allah bersamaku?”
Icha terdiam. Dia tak menyangka akan mendapat banyak kejutan pada hari ini. “Lebih baik, kamu bilang sama Abi dulu.” Aji beralih mencari Abi, ayah Icha. Ternyata Abi ada di belakang Aji.
“Abi, gimana kabarnya?” sapa Aji. Abi tersenyum.
“Alhamdulillah, Abi baik kok, Ji. Kamu sendiri? Kejutan banget lho, kamu bisa di sini sekarang.” Kata Abi.
“Aji juga baik kok, Bi. Aji ke sini ada niat kok, Bi. Aji ingin melamar Icha buat jadi pendamping hidup Aji. boleh, Bi?” Tanya Aji to the point.
“Kamu udah kerja?” Tanya Abi.
“Udah, Bi. Kebetulan dua minggu yang lalu, Aji diterima kerja sebagai salah satu ahli lingkungan di salah satu perusahaan di Solo.” Jawab Aji.
“Bagus kalo begitu. Abi sudah kenal kamu dari dulu. Kamu lelaki yang sholeh. Kalo Abi sih, seneng banget kalo kamu jadi mantunya Abi. Sekarang keputusannya sama Icha. Gimana, Cha?” Tanya Abi pada Icha. Aji membalikan badannya.
“Gimana, Cha? Abi sama Umi udah kasih tiket untuk masuk ke keluargamu. Sekarang keputusan ada di kamu.” Ucap Aji pada Icha.
Icha terdiam. Dalam hati, ia tersenyum. Kebahagiaan meliputi hatinya. “Maaf, Ji…”
“Ya udah. Makasih, Cha. Nggak apa-apa kok. Yang penting aku udah nepati janjiku.” Ucap Aji lagi-lagi memotong ucapan Icha. Wajah Aji berubah sedih. “Ya udah, Aji pamit dulu. Mari Abi, Umi, Nenek, Cha. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.” Jawab semuanya. Aji selalu seperti itu.batin Icha. Nggak pernah berubah.
“Aji! kamu itu selalu kayak gitu ya! Sukanya memotong omongan orang! Kamu nggak pernah berubah!” teriak Icha yang membuat Aji berhenti. Icha berjalan menyusul Aji. “Aji, kamu jahat banget! Dulu kamu ninggalin aku! Sekarang kamu mau ninggalin aku lagi? Jahat kamu, Ji! Aku ngomong dipotong. Aku kan belum selesai ngomong. Kamu kenapa sih ninggalin aku tadi?”
“Maaf, Cha. Aku lagi kalut. Aku udah berusaha buat menepati janji, tapi kamu malah nolak aku.” Jawab Aji.
“Itu akibatnya kamu motong omonganku. Aku kan belum selesai ngomong.”
“Emang kamu mau ngomong apa lagi?”
“Aku mau ngomong. Maaf, Ji. Aku nggak bisa ngehancurin harapan keluargaku. Mereka semua berharap pendamping hidupku adalah kamu.” Icha tersenyum. Aji terkejut mendengar ucapan Icha.
“Serius, Cha?” Aji masih kurang percaya. Icha tersenyum. “Alhamdulillah…” Aji tersenyum manis pada Icha. Semua orang tersenyum. Bahagia.

Suasana masjid Fathimah Solo pagi ini begitu syahdu. Aroma kedamaian tercium hingga luar gerbang masjid tersebut. Sebuah acara sacral sedang berlangsung di dalam bangunan megah tersebut. Dari lantai dua masjid tersebut, ada seorang gadis cantik dengan kebaya dan jilbab putih yang ditemani oleh keluarga besarnya. Seorang pengantin perempuan. Wajahnya penuh dengan rona kebahagiaan. Suasana hatinya sungguh tak dapat dilukiskan. Ini yang diharapkannya sejak dulu.
Dilihatnya ke lantai satu. Seorang lelaki muda dengan jas putih sedang menjabat tangan seorang lelaki lainnya yang telah paruh baya. Lelaki muda tersebut sedang mengucapkan kalimat qabul. Lancar. Setelah dia selesai mengucapkan kalimat tersebut, seluruh hadirin yang hadir di pagi ini, mengucapkan rasa syukur pada Allah yang telah memberikan kelancaran untuk acara pagi ini.
Hati gadis itu sungguh bahagia. Kini, dia telah resmi menjadi istri dari Aji. Aji melihat ke lantai dua. Dilihatnya seorang gadis yang sedang menangis bahagia. Dia tersenyum melihat gadis yang baru saja dinikahinya. Icha membalas senyum itu. Kebahagiaan meliputi hati kedua umat Allah yang baru saja mengikat janji suci untuk selalu beribadah bersama kepada Allah. Rasa cinta yang begitu besar meliputi hati keduanya. Lega rasanya ketika mereka sama-sama menyadari bahwa mereka telah menjadi mahram.
Halaman masjid Fathimah tampak ramai dengan para tamu undangan. Kebahagiaan yang tak lagi dapat terlukis meliputi suasana ruang terbuka tersebut. Di salah satu sudut halaman, terdapat sebuah pelaminan yang cantik. Di sanalah, Aji dan Icha berdiri untuk menerima ucapan selamat dari para tamu. Saat semuanya sedang asyik dengan makanan yang disajikan, Aji dan Icha terdiam. Mereka masih belum mempercayai dengan yang terjadi.
“Aji, aku nggak lagi mimpi kan?” tanya Icha.
“Nggak kok, Cha.” jawab Aji. “Cha, aku cinta kamu. Aku sangat bersyukur sama Allah yang telah memberikan kita anugerah yang begitu indah ini.” Aji meraih tangan Icha dan mengenggamnya erat. “Mulai sekarang dan selamanya, aku akan selalu menggenggam tangan kamu. Aku janji, Cha, aku akan jadi imam yang baik untuk kamu dan anak kita nantinya.”
“Aku percaya kamu.” ucap Icha. Aji menatap Icha lekat-lekat. Menatap bidadari cantik yang kini telah dimilikinya. Aji mencium dahi Icha dengan lembut. Sebuah kecupan pertama yang hangat. Yang tak akan pernah terlupakan.
Aji begitu mencintai Icha karena Allah. Karena Allah sendiri yang telah menjodohkan mereka. Aji sangat bersyukur. Begitu juga dengan Icha. Usaha mereka untuk terus menjaga hati masing-masing telah berbuah manis. Akhirnya Allah sendiri yang menyatukan mereka. Dulu ketika mereka masih remaja, mereka berusaha mengenal pribadi masing-masing. Lalu Allah menguji cinta mereka dengan memisahkan keduanya. Saat itulah mereka saling menjaga hati. Dan saat ujian itu hampir berakhir, mereka berhasil melalui semuanya dengan lancar. Dan kini, Allah benar-benarnya menyatukan mereka. Kesabaran memang selalu berbuah manis. Manis sekali. Dan kini, cinta mereka telah cukup kuat untuk kembali diuji. Mereka sadar, ini bukan akhir ujian, tapi ini adalah awal ujian yang berat berikutnya.

Kebahagiaan akan selalu meliputi umat Allah yang selalu beribadah dan taat padaNya. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta umat kepada Allah. Karena hanya Allah yang patut dicintai lebih dari apapun. Hanya Dia yang patut untuk disembah. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta antara umat Allah yang selalu betaqwa pada Allah. Dari mu’adz, Rasulullah saw bersabda, “Allah berfirman, ‘Orang-orang yang saling mencintai karena keagunganKu, baginya adalah mimbar (tempat duduk yang terbuat dari cahaya), sehingga para nabi dan syuhada merasa iri terhadap mereka.’”1. Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta yang didasarkan pada cinta karena Allah. Rasulullah saw bersabda, “Seseorang akan merasakan kelezatan iman apabila lebih mencintai Allah da Rasul-rasulNya serta mencintai seseorang karena Allah dan tak mau kembali pada kekafiran.”2 Dan tak ada cinta yang lebih indah dari cinta seorang lelaki dan seorang perempuan yang saling mencintai karena Allah. Tak ada cinta yang lebih indah dari cinta umat Allah yang meyakini bahwa Allah kan memberikan jodoh yang baik untuknya. Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah telah Dia ciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikanNya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”3. Tak ada cinta yang lebih indah bagi Aji dan Icha dari cinta mereka yang akan abadi selama cinta mereka pada Allah terus bercahaya. Tak ada cinta yang lebih indah dari cinta yang didasarkan cinta pada Allah.

~Selesai~
21-22 desember 2008 22.10 WIB


1.HR Tirmidzi
2.HR Bukhari Muslim
3.QS. Ar-Rum :21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan berkomentar, :)