Jumat, 09 Oktober 2009

Rahasia Takdir Allah

Ketika mentari pagi ini mulai menembus tirai jendela kamarku, aku sudah siap untuk berangkat ke sekolah tercinta. Jarum jam baru saja menunjuk ke arah angka enam. Aku mulai melangkahkan kaki menuruni tangga rumahku. Dari tangga, aku sudah pada melihat mamaku yang tersayang yang tengah menyiapkan menu makan pagi kami sekeluarga. Mama tersenyum saat melihatku. Beliau tampak sangat cantik pagi ini. Usianya baru 44 tahun, tapi beliau tampak sepuluh tahun lebih muda dari umurnya.
“Pagi, Ma...”,sapaku sambil mencium pipi mama. Mama hanya tersenyum, tanpa membalas ciumanku.
“Duh, anak mama ini, tambah tinggi aja tiap hari.” canda mama.
“Ah, mama bisa aja.”,ucapku sambil menyambar setangkup roti buatan mama,”pagi ini mama berangkat sama aku nggak? Nanti biar adik sama papa.”
“Nggak usah, sayang. Jadwal mama ngajar hari ini juga masih nanti siang kok. Jadi berangkat nanti juga nggak apa-apa. Kamu sama adik aja ya.” Ucap mama. Aku hanya mengangguk. Mama memang salah satu guru di sekolahku.
“ADIK!!!!”, teriakku,”ayo, dik!! Kakak udah telat buat jam ke nol nih!” Tak lama dari tangga turun seorang gadis belia yang sudah rapi. Amel, adikku tersayang.
“Iya, kak.” Amel berjalan ke meja makan lalu menyambar roti serta melahapnya dengan terburu-buru. Mama hanya menggelengkan kepala. Setelah roti yang memenuhi mulutnya habis, dia mengambil gelas susu lalu meminumnya.
“Amel, anak perempuan makannya yang sopan dong, sayang.”ucap mama.
“Buru-buru, ma. Kalau aku makannya lama, nanti kakak marah-marah lagi!” Amel membela diri sambil melirik ke arahku. Aku hanya tersenyum mengejek padanya. “Ayo, kak!! Kita berangkat!”
“Ma, aku sama Amel berangkat dulu ya.”pamitku pada mama sambil mencium tangannya dan pipinya lembut. Begitu juga Amel. Mama tersenyum dan berjalan ke teras depan bersama Amel. Lalu aku berjalan menuju garasi untuk mengambil motor kesayanganku. Di gerbang depan, aku menyalakan mesinnya lalu mengajak Amel naik. “Ma, berangkat ya. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam.”ucap mama sambil melambaikan tangan.
Aku melarikan motorku di jalanan yang di kelilingi persawahan dengan kecepatan tinggi. Lima belas menit kemudian, kami tiba di sekolah. Saat di parkiran sekolah, aku bertemu dengan seorang gadis belia yang manis. Aku tersenyum padanya saat dia melihatku. Dia membalas dengan senyuman manis yang membuat wajahnya makin cantik. Aku berjalan menghampirinya.
“Pagi, Cha.” sapaku sambil tersenyum padanya. Icha membalas senyumanku lagi. Saat melihat senyum manisnya, hatiku serasa melayang. Detak jantungku tidak bisa diatur.
“Pagi, Arian.” balasnya. lalu kami berjalan menuju kelas kami masing-masing. Aku di XII IA B dan dia di XII IS C. Kelas kami hanya dibatasi dengan kelas XII IA A. Saat tiba di depan kelasnya, aku melambaikan tangan tanda pamit. Lalu dia berjalan masuk ke kelasnya. Sambil berjalan ke kelasku, aku memikirkan gadis itu. Gadis yang cantik, pintar, dan santun tingkah lakunya. Aku merasa sangat beruntung mendapat kesempatan untuk mengenalnya lebih dekat. Aku sangat beruntung bisa mendapatkan hatinya. Ya, Icha adalah pacarku. Di dalam hatiku, hanya ada tiga perempuan yang sangat aku cintai. Mama, Icha dan Amel. Aku tidak mau kehilangan mereka yang sangat berarti untuk hidupku. Icha itu cinta pertamaku. Dan aku berharap, dialah cinta terakhirku.
Saat tiba di kelasku, Dwiro sudah menyambutku dengan wajah sok innocent-nya. Aku hanya menatapnya aneh. Pagi ini, dia kelihatan lebih buruk dari hari sebelumnya. Pasti ada masalah lagi dengan Ila, mantan pacarnya.
“Hei, sob! Kenapa? Pagi-pagi muka udah dilipat sampai lima lipatan gitu!”sapaku bercanda sambil berharap dia akan lebih baik. Tapi dia tetap diam. “Hei, Dwiro??? Kamu kenapa sih??”
“Ila bikin aku broken heart lagi. Emang sih, dia udah anggap aku sebagai sahabatnya, tapi aku merasa dia nggak ikhlas.” Ucapnya lemas. Aku hanya dapat menghela nafas. Dwiro putus dengan Ila karena gadis itu pindah ke lain hati.
“Ya udahlah, Ro. Kamu harus bisa hapus perasaanmu ke dia. Kalo nggak, kamu bakal kayak gini terus. Come on, wake up, man! Kamu harus survive! Dia bisa kayak gituin kamu, kenapa kamu nggak bisa hapus perasaan itu?” hiburku.
“Kamu nggak tau apa-apa, Yan. Semenjak kamu jadian sama Icha, kalian jarang banget ada masalah. Kalaupun ada masalah, itu bukan masalah intern kalian. Tapi masalah sama mamamu.”ucapnya ketus,”kamu beruntung punya dia, Yan. Dari wajahnya aja, aku bisa liat, dia sayang banget sama kamu.”,dia lalu terdiam, “jaga dia baik-baik, Yan. Jarang ada perempuan kayak dia.”
Aku hanya terdiam mendengar ucapannya tentang Icha. “Makasih ya, Ro. Rasanya masih ada yang mengganjal di hatiku. Mungkin karena masalah Icha sama mamaku.” Aku menunduk. Pikiranku melayang-layang jauh.
Selama ini, mama memang belum menyetujui hubunganku dengan Icha. Karena mama adalah guru yang mengajar kelas Icha, terkadang beliau bersikap sinis pada Icha, terkadang juga bersikap seperti Icha tidak ada. Icha berusaha mendapatkan simpati mama dengan prestasinya. Nilai-nilainya sangat jauh di atas rata-rata kelas, mendekati sempurna. Tapi sepertinya mama tidak pernah mempedulikannya. Sudah berkali-kali aku memikirkan cara untuk membujuk mama. Tapi semua nihil. Kadang aku tidak tega melihat Icha menangis di hadapanku karena mama tidak pernah mempedulikannya. Aku tahu, mama seperti ini karena beliau sangat menyayangiku dan tidak mau kehilangan aku. Mungkin mama takut, perhatianku pada beliau akan berkurang setelah aku berpacaran dengan Icha. Padahal bagiku, walaupun perhatian dan kasih sayangku terbagi, aku tidak akan meninggalkan mama hanya karena aku perhatian dan sayang pada Icha. Aku sudah menjelaskan ini semua pada beliau. Tapi tetap saja, beliau keukeuh melarang hubungan kami. Tak lama bel pelajaran jam ke nol berbunyi. Teman-teman kelasku segera berhambur masuk kelas.
~ ~ ~
Bel istirahat pertama sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu. Aku berjalan menuju kelas Icha. Gadis itu duduk di pojok belakang di kelasnya yang kosong. Aku berjalan menuju Icha sambil tersenyum. Tapi gadis itu terlihat murung. Aku tau, apa sebab dia begitu. Sebelum istirahat, pelajarannya adalah pelajaran mama. Tiap kali setelah ibu mengajar, dia memang selalu begitu.
“Cha, jangan sedih dong. Aku tau gimana perasaan kamu. Tapi kita nggak boleh nyerah. Kita harus bisa dapat izin dari mama. Aku yakin kok. Kalau kita berusaha, lama-lama juga mama bakal luluh. Aku percaya itu.”hiburku.
“Tapi apa aku harus begini terus? Aku selalu berusaha jadi yang terbaik buat bisa dapat simpati dari mama kamu.”
“Udah ya… Jangan sedih lagi.”
“Aku selalu berusaha jadi yang terbaik. Tapi mama kamu nggak pernah peduli.” ucap Icha dengan tatapan menerawang,”nanti istirahat kedua, aku harus menghadap ke mama kamu di ruang multimedia. Aku nggak tau buat apa.”
Aku tertegun. Mama minta Icha untuk menemuinya. Untuk apa? Kenapa perasaan aku nggak enak ya?
“Perlu aku temenin nggak, Cha?”
“Nggak usah. Nanti aku sendirian aja nggak apa-apa kok.” kata Icha meyakinkanku,”nggak usah khawatir ya.”
Tak lama bel tanda istirahat berbunyi. Aku segera pamit pada Icha. Kemudian aku melangkahkan kaki ke kelas. Pelajaran ke empat segera di mulai.
Sepanjang pelajaran, pikiranku tidak dapat fokus pada pelajaran. Pikiranku dipenuhi dengan pertemuan mama dengan Icha saat istirahat kedua nanti. Ada apa? Pertanyaan itu yang terus memenuhi otakku sampai bel istirahat kedua berbunyi.
Aku segera berjalan ke kelas Icha. saat di depan kelasnya, Icha sudah berjalan keluar kelas. Aku tersenyum padanya. Seakan memberinya isyarat. Memberinya semangat. Meyakinkannya untuk menguatkan hati. Serta isyarat bahwa aku sangat menyayanginya. Rasanya seperti akan berpisah dengannya. Dia membalas dengan senyumannya yang lebih manis dari biasanya. Entah kenapa, aku merasa ini senyum perpisahan. Dari senyumnya, ia seakan memberi isyarat bahwa dia juga menyayangiku.
Lalu dalam sekejap, dia membalikan badan dan berjalan menjauh. Entah kenapa, rasanya sakit melihatnya pergi. Perasaanku tidak enak. Rasanya aku tidak ingin dia pergi. Tiba-tiba aku ingin mengikutinya dan mengintip pembicaraannya dengan ibu. Tapi Dwiro memanggilku dan mengajakku ke masjid untuk sholat dzuhur. Aku mengurungkan niatku untuk mengikuti Icha. lalu melangkahkan kaki menuju masjid bersama Dwiro. Aku yakin, dengan sholat, perasaanku akan lebih tenang. Seusai sholat, aku berdoa pada Allah SWT agar diberi ketenangan hati. Akhirnya, walaupun sebentar akhirnya aku bisa tenang.
Tiba-tiba dari luar masjid, terdengar suara teriakan yang memekikkan telinga. “KEBAKARAN!!!” Aku segera terbangun dari dudukku dan berjalan keluar masjid. Aku melihat ke sekeliling sekolah. Ada kepulan asap dari arah… ya Allah!! Ruang multimedia kebakaran!! Ya Allah, mama sama Icha di sana! Aku segera berlari menuju ruang multimedia yang ada di seberang halaman sekolah yang luas. Saat mendekati ruang multimedia, Pak Yanto, penjaga sekolahku menghentikan langkahku. Aku berusaha melepaskan pegangan Pak Yanto yang sangat erat. Api semakin membesar. Semua orang panik. Saking paniknya, tak ada satupun yang berusaha memadamkan api yang makin membesar. Api mulai menyebar. Sekali lagi, aku berusaha melepaskan pelukan Pak Yanto. Entah kenapa, aku merasa mama dan Icha masih terjebak di dalamnya. Karena pintu ruang multimedia masih tertutup rapat. Kali ini aku berhasil melepas pelukan Pak Yanto. Aku berlari dan berusaha membuka pintu ruang multimedia. Terkunci. Aku makin yakin, mereka berdua masih di dalam. Aku berusaha membuka pintu itu. Tapi gagal. Hawa panas menyambarku. Berulang kali, aku berusaha membuka pintu ruang multimedia. Tapi selalu gagal. Hawa panas tidak membuatku putus asa. Aku mengambil ancang-ancang untuk mendorong pintu. Kali ini aku terdiam. Ya Allah, aku mohon, tolong aku. Aku bersiap menghantamkan tubuhku ke pintu. Allahu Akbar! Entah apa itu, aku bisa merasakan ada dorongan yang keras saat aku mendobrak pintu. Tubuhku terdorong ke dalam ruangan itu saat pintu terbuka. Di dalamnya, aku melihat tubuh mama dan Icha tergeletak di deretan kursi yang terdekat dengan pintu.
Api semakin membesar. Aku tak memiliki banyak waktu untuk menolong. Tiba-tiba aku bimbang. Siapa yang akan aku tolong terlebih dahulu. Waktuku sangat singkat. Aku harus memilih di antara mereka. Perasaanku campur aduk dan berkecamuk. Keduanya orang yang berarti untukku. Lalu aku segera membawa tubuh mama ke luar ruangan itu. Di luar, banyak orang yang berusaha memadamkan api. Setelah memindahkan mama ke bawah pohon, aku segera kembali ke ruangan itu. Aku sempat melihat, ada orang yang segera memberi pertolongan pada mamaku. Aku berlari menuju sumber kebakaran. Saat itu, aku melihat api yang berkobar di ruangan lain mulai padam. Tapi di ruang multimedia belum padam. Saat aku akan masuk ke dalam ruangan, tiba-tiba atap ruangan itu roboh. Aku panik. Aku berusaha mencari jalan agar aku bisa masuk dan menyelamatkan Icha. tapi aku segera dicegah oleh Pak Yanto. Tubuhku sudah lemas karena aku menyadari bahwa aku tidak bisa menyelamatkan Icha.
“ICHA!!!” pekikku. Aku sudah tidak dapat menahan air mataku. Tiba-tiba kepalaku sakit dan dunia serasa gelap. Aku tidak tahu dengan apa yang terjadi.
~ ~ ~
Aku berjalan di sebuah padang bunga warna-warni yang sangat indah. Di tengah-tengah padang bunga ini, ada sebuah pohon yang berdiri tegak. Aku berjalan menuju pohon itu. Di dekatnya ada sebuah kursi duduk yang nyaman. Di sana, ada seorang gadis yang sedang duduk. Aku menghampirinya. Dia tersenyum padaku. Aku membalas senyum itu. Ya, senyum terindah yang pernah aku lihat. Aku duduk di sebelahnya.
“Arian, kalau aku pergi nanti, jaga diri baik-baik ya.” pesannya.
“Icha, kamu mau kemana?” tanyaku dengan sejuta pertanyaan di pikiranku.
“Aku mau ke sebuah tempat yang tenang. Tempat yang akan didatangi semua orang kelak. Jaga diri kamu baik-baik ya. Walaupun aku pergi, percaya sama aku, aku akan selalu menyayangi kamu. Aku akan selalu di hatimu. Arian, Buat aku, kamu cinta pertama dan cinta terakhirku. Aku akan nunggu kamu di sana.”
“Jangan tinggalin aku, Cha. Aku nggak mau kehilangan kamu. Cha, please jangan tinggalin aku.”
“Ikhlas. Aku yakin, kamu bisa lanjutin hidup kamu tanpa aku, asal kamu bisa ikhlas. Ikhlas, Arian. Aku nggak mau kamu sedih.”
Aku terdiam. Mungkin ini memang saatnya kami berpisah. Kami bertemu karena takdir Tuhan, kami berpisah juga karena takdir Tuhan. Aku hanya mengangguk.
“Ini waktunya aku pergi. Maafin aku ya.” Icha mulai beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menjauhiku. “Aku pergi ya. Aku sayang kamu”
~ ~ ~
Perlahan mataku terbuka. Pandanganku masih kabur. Aku melihat ke sekelilingku. Di pojok ruangan, ada Amel yang tertidur di sofa. “Amel…” panggilku. Perlahan adik perempuanku satu-satunya itu terbangun dan menghampiri tempat tidurku. Dia tersenyum padaku.”Amel, mama mana?”
“Kak, tenang aja ya. Mama nggak apa-apa kok. Mama di kamar sebelah. Untung aja kakak bisa selamatin mama.” ucap Amel. Aku hanya tersenyum pada Amel.
“Mel, Kak Icha gimana?” tanyaku perlahan.
Wajah cerah Amel berubah muram. “Kakak yang sabar ya. Kak Icha udah tenang di alam sana.” Tiba-tiba, aku benar-benar merasa separuh nyawaku melayang. Ternyata mimpi tadi, bukan hanya mimpi. Tapi suatu pertanda bahwa aku akan kehilangan dia. “Kak, tenang ya. Ikhlas, kak. Udah takdirnya Kak Icha buat menghadap Allah.”
Aku membalikkan tubuhku memunggungi Amel. Aku menangis. Aku belum siap kehilangan dia. Tapi kematian seseorang hanya Allah yang tahu dan tidak dapat diduga oleh manusia. Pintu ruang inapku terbuka dengan perlahan. Tak lama, aku merasa pundakku dibelai oleh seseorang. Aku melihat mama tersenyum padaku. Tapi dari wajahnya yang masih terlihat muda, perlahan air matanya mengalir. “Mama, kok mama nangis?”
“Mama nggak apa-apa kok, sayang. Arian, maafin mama ya. Sebenarnya waktu itu, mama pingin ngomong sama Icha, kalau mama udah merestui kalian. Mama sadar, dia benar-benar gadis yang baik, sholehah dan pintar. Tapi saat itu, mama mengunci pintu dan kunci itu mama taruh di atas almari dekat pintu. Tiba-tiba, listriknya konslet dan membakar sebagian ruangan. Saat kebakaran itu terjadi, mama sudah berusaha membuka pintu. Tapi karena mama dan Icha panik, kunci itu jatuh dan masuk ke bawah almari yang sempit. Maafin mama, Arian. Mama juga sedih mendengar kalau Icha nggak ada. Maafin mama.” ucap mama. Mama mulai menangis.
“Nggak apa-apa kok, Ma. Emang udah takdirnya Icha menghadap sama Allah. Aku berusaha ikhlas kok, Ma.”ucapku perlahan sambil menahan air mata.”ma, aku mau istirahat lagi. Tiba-tiba, kepalaku sakit lagi.” Mama tersenyum padaku lalu meninggalkan ruang inapku. Aku berusaha memejamkan mataku. Mencoba mengikhlaskan kepergian Icha.
~ ~ ~
Aku berjalan menyusuri jalan setapak di antara batu-batu bisu. Suasana yang sangat tenang. Di sebuah gundukan tanah merah yang masih basah, aku terhenti. Sebuah kayu penanda itu tertulis ‘KHAIRUNNISA’. Aku duduk di samping pusara Icha. Setelah berdoa untuknya, aku terdiam mengingat masa lalu kami yang mengesankan.
“Icha, aku janji, aku nggak akan sedih lagi. Aku akan berusaha menjalani jalan hidupku dengan senyuman walaupun tanpa kamu. Aku yakin, walaupun kamu udah nggak ada di sisiku, tapi kamu tetap hidup di hatiku.”ucapku.
Kemudian aku berjalan meninggalkan tanah kuburan yang masih basah itu. Aku bertemu dengan Icha karena takdir Allah dan kini aku berpisah dengannya juga karena takdir Allah.
~TAMAT~
06 Oktober 2009 – 21.38 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan berkomentar, :)