Rabu, 22 September 2010

In My Reality Life

Hai semua !! Happy Idul Fitri Day !! Minal aidzin wal faidzin ya.

Assalamu’alaikum semuanyaa…

Kangen nih nggak buka blog hampir 2 minggu. Hufh. Banyak kejadian yang unpredictable. Mungkin postingan kali ini juga akan sedih lagi. Aku pernah cerita kan kalo aku udah bisa maafin dia? Walaupun susah, aku terus
mencoba. Saat itu aku benar-benar hampir bisa maafin dia. Tapi sore itu –aku lupa tepatnya hari apa, Alnia telpon aku. she’s tells me about her day and Yuda.

Inti dari obrolan kami sore itu adalah ketika seorang cewek marah sama pacarnya, dia selalu mengharapkan si cowok mau dateng ke rumahnya untuk menjelaskan duduk permasalahannya dan meminta maaf. Dan ketika si cowok itu nggak dateng, hal itu bukan karena si cowok nggak ngertiin si cewek, tapi karena nggak mau. See. Itu yang bikin aku bener-bener down. Jadi, selama ini aku nunggu dia ngomong langsung dan menjelaskan langsung semua masalah kami akhir-akhir ini, bukan karena nggak ngerti gimana perasaanku. Tapi karena dia nggak mau menjelaskan semuanya sama aku.

Satu lagi, Alnia bilang, dia nggak sepenuhnya salah. Karena mungkin dengan Rita, dia merasa jauh lebih nyaman. Dan aku nggak bisa memaksakan itu. seketika aku menyadari kalo selama ini dia emang nggak pernah merasa nyaman sama aku. yang aku sesalkan Cuma satu, kenapa dia nggak pernah ngomong itu semua sama aku? kenapa dia nggak pernah jujur sama aku? jadi selama ini aku ditipu sama dia? Aku bener-bener kecewa. Aku mencoba sabar. Dan akhirnya sakit itu semakin basah. Luka itu semakin melebar dan basah. Pernah kah kamu membayangkan gimana perasaanku, kawan? Cukup satu kata, SAKIT. Saat itu juga, perlahan tapi pasti, rasa sayang yang memenuhi hatiku langsung memudar dan tergantikan dengan rasa benci yang begitu besar.

Saat itu, aku baru aja selesai sholat, masih pake mukena. Secara reflek, aku langsung nangis dan menumpahkan semuanya sama Allah. Awalnya, sebelum Alnia telepon, aku berdoa jika memang dia adalah jodohku, kembalikan dia padaku, namun jika bukan dia jodohku, jauhkan dia sejauh-jauhnya dari aku. Tapi setelah aku tau semua kenyataan ini, aku berdoa, “Ya Allah, jauhkan dia sejauh-jauhnya dari hidupku. Aku sudah lelah dengan semua ini. aku sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya, namun inikah balasan yang pantas untukku? Berikan balasan yang pantasnya, Tuhan. Aku tak akan menyesal telah mencintainya dengan tulus. aku tidak ingin dia ada dalam benakku lagi. Hapuskan dia dari pikiran dan hatiku. Bantu aku menyembuhkan semua rasa sakit ini. jauhkan dia sejauh-jauhnya dari hidupku.”

Setelah hari itu, hatiku benar-benar berusaha menutup semua akses untuknya. Aku benar-benar akan menutup hati dan menghapus dia dari pikiranku. Nggak ada telepon, nggak ada wall di f b. hatiku telah dipenuhi dengan kebencian. Pernahkah kamu membayangkan gimana rasanya, kawan? Bagiku, dia mati. Mana ada manusia yang tega menyakiti orang yang katanya pernah dia sayang, kalo bukan karena hatinya telah mati? Dia udah mati.

Dan aku berhasil menjalani hidupku kembali dengan normal. Ya, nyaris normal. Nggak ada nangis lagi. Nggak ada lagi namanya di inbox handphoneku. Dan ini terjadi sampe hari raya. Di hari itu, dia sms aku buat ngucapin selamat lebaran dan minta maaf. Aku masih inget jelas kalimatnya. “setiap manusia pasti punya kesalahan. Hanya bedanya seberapa besar kesalahan yang dia lakuin. Setiap manusia juga membutuhkan kesempatan untuk membuktikan bahwa dia juga bisa berubah dan menjadi pribadi baik yang tidak mengulangi kesalahannya. setiap manusia punya rasa sakit bila disakiti. Hanya bedanya lama atau cepat dia memaafkan segalanya. Sulit memang tuk memaafkan. Tapi bila kita yakin dengan rasa maaf kita, percayalah sesuatu yang baik akan terjadi.”

Wow. Dia bilang apa? Membutuhkan kesempatan? Lucu banget deh. Inget kan, gimana aku kasih kesempatan dia? Aku udah pernah kasih dia kesempatan untuk berubah dan nggak ngulangin kesalahannya untuk kedua kali. Tapi liat gimana sekarang. He does it in twice. Dia (lagi-lagi) ninggalin aku dengan luka yang sangat menyakitkan. Cukup! Nggak akan ada lagi kesempatan yang berikutnya. Kali ini dia udah keterlaluan. Sangat keterlaluan.

Dan pada akhirnya aku nggak bales smsnya. Dan aku telah berkomitmen buat nggak sms apapun lagi sama dia kalo nggak bener-bener mendesak. Bukan berarti aku nggak maafin dia, kawan. Tapi lebih baik begini, daripada aku memaafkan dia saat ini tapi aku akan terus membencinya. Aku belum ikhlas.

Dan kemudian aku terus melalui hariku dengan tenang. Sampe suatu siang, tanggal 16 september, dia sms aku. dia bilang dia mau silaturahmi sama orang tuaku. Hah? Yang bener aja?? Tiba-tiba aku terdiam. Deg. Nangis lagi. Astagfirullah. Ini semua nggak bener. Aku nggak bisa ketemu dia, aku nggak mau. Tapi kan dia mau ketemu ortuku? Kenapa aku yang heboh. Aku nangis sedih lagi. Tuhaaan, kapan aku bisa bebas dari ini semua? Dia mau ngelakuin sesuatu yang dulu adalah hal yang membahagiakanku, tapi buat aku sekarang, ini semua bener-bener nyakitin. Aku tau, mama sama papa udah anggep dia sebagai anak sendiri. kali ini, aku nggak bisa egois. Akhirnya aku bilang ke dia, mama bisa. Tuhaaan. Selamatkan aku. untung, hari kedatangan dia bertepatan dengan hari aku bakal cari kado buat mbak Banar yang mau nikah. Alhamdulillah. thanks, God.

(to be continued)
*ketauan deh kalo belom selesai... :p

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan berkomentar, :)