Sabtu, 17 April 2010

Review : Pameran Penyiaran Nasional (Review Terbaik II)

Tenang dan sejuk. Kesan pertama inilah yang akan dirasakan oleh setiap pengunjung yang datang pada Pameran Penyiaran di Monumen Pers Nasional, Jalan Gajah Mada 59 Surakarta ini. Pameran yang mengiringi Deklarasi Hari Penyiaran Nasional ini diadakan pada tanggal 31 Maret – 9 April 2010.

Puluhan bingkai berisi dokumen terbit media massa, yang terdiri dari majalah, tabloid, dan surat kabar yang terbit di Indonesia mulai dari zaman penjajahan Belanda, Jepang, Perjuangan Kemerdekaan, dan sepanjang Indonesia merdeka hingga era Reformasi saat ini, terpajang rapi di tempatnya masing-masing. Banyak peristiwa penting yang tak pernah kita bayangkan dimuat di dalamnya.

Pameran ini menampilkan berbagai macam tulisan yang berisi tentang peristiwa yang terjadi di Indonesia. Misalnya, mengenai para penyanyi pemenang kontes Bintang Radio di tahun 1952, disegelnya radio pada zaman penjajahan Jepang, serta cover majalah Merdeka yang banyak membahas mengenai RRI. Tak ketinggalan juga tulisan “Ramai-ramai jadi Wartawan” yang berisi mengenai jurnalisme warga atau yang lebih dikenal dengan nama Citizen Journalism yang kini mulai digandrungi warga masyarakat. Termasuk perkembangan tayangan televisi saat ini yang sudah tidak memikirkan mutu dan kualitas, tapi hanya memikirkan rating yang tinggi seperti yang ditulis dalam salah satu figura dokumen yang diambil dari surat kabar Solopos tanggal 13 Januari 2010 berjudul “Rating Tinggi Tidak Menjamin Mutu”.

Selain dokumen terbit media massa, dalam pameran ini juga terdapat berbagai macam barang-barang kuno seperti telepon, radio, kipas angin, televisi dan alat pencetak foto yang merupakan koleksi pedagang di Pasar Windudjenar. Tak mau kalah, musik asal Solo juga menampilkan beberapa sejarahnya di pameran ini seperti alat musik saxophone tua milik Cauman Band, foto-foto musisi Solo dan beberapa lembar notasi nada lagu-lagu perjuangan seperti Bamboe Roentjing. Dalam pameran tersebut juga terdapat studio mini RRI.

Dan tidak tertinggal, sejarah stasiun radio pertama kaum pribumi dengan semangat nasionalisme yang diberi nama Solosche Radio Vereeniging (SRV). Misalnya penyiaran secara langsung yang dilakukan oleh SRV saat Gusti Nurul menarikan Tari Bedaya Srimpi di Den Haag, Belanda. Hal ini menunjukkan bahwa SRV telah menjangkau Benua Eropa, terutama Belanda. Dalam Monumen Pers Nasional juga terdapat banyak patung-patung tokoh pers Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui media massa seperti DR. Ratulangie.

Pameran Penyiaran ini cukup memberikan banyak pengetahuan bagi masyarakat mengenai perjalanan naik-turunnya penyiaran media massa di Indonesia. Pameran ini juga dapat menjadikan masyarakat lebih mengenal Monumen Pers Nasional sebagai salah satu bangunan bersejarah yang ada di Kota Solo. (ams)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan berkomentar, :)